Ketika Pengarang Bunuh Diri
Kurt Cobain, Jimi Hendrix, Jim Morrison, Janis Joplin, Brian Jones, Layne Staley, Shannon Hoon, dan Sid Vicious adalah sederet nama artis musik rock yang mati bunuh diri. Kita tidak terlalu kaget mendengar para seniman ugal-ugalan itu mencabut nyawa mereka sendiri karena sehari-hari pun mereka selalu tampil sebagai orang yang depresif. Namun, bagaimana jika ada pengarang yang bunuh diri? Tentu kita bertanya-tanya mengapa hal itu bisa terjadi. Bukankah tampaknya pengarang menjalani hidup yang lebih tenang?
Baru-baru ini, saya mendengar kabar bahwa pengarang Amerika, Hunter S. Thompson, menghabisi hidupnya sendiri. Pengarang yang terkenal dengan karyanya Fear and Loathing in Las Vegas--filmnya diperankan oleh Johnny Depp--ini menembak dirinya sendiri. Saya jadi teringat Virginia Woolf, Ernest Hemingway, Yukio Mishima, dan Yasunari Kawabata.
Pada 1941, di puncak depresi yang mencengkeram dirinya, Virginia Woolf menenggelamkan diri di Sungai Ouse. Pengarang Inggris yang berjasa dalam menciptakan novel modern ini menamatkan riwayat hidupnya pada usia 59 tahun. Sebenarnya sejak 1895, setelah kematian ibunya, Woolf telah menderita gangguan bipolar. Sebelum bunuh diri, dia meninggalkan sepucuk catatan kepada suaminya yang menjelaskan bahwa dia merasa akan menjadi gila dan tidak akan bisa sembuh.
Gangguan bipolar (bipolar disorder/manic depressive) juga mendorong Ernest Hemingway mengakhiri hidupnya sendiri. Sesungguhnya telah berkali-kali maut mengintai Hemingway akibat gaya hidupnya yang avonturir: pada Perang Saudara di Spanyol saat sebuah mortir meledak di kamar hotelnya; pada Perang Dunia II ketika dia ditabrak mobil; dan pada 1954 ketika pesawat yang ditumpanginya jatuh di Afrika. Namun, ironisnya, kematiannya baru tiba saat dia melakukan bunuh diri di Ketchum, Idaho pada 1961.
Uniknya, bunuh diri seolah menjadi tradisi dalam keluarga Hemingway. Ayah, abang, dan saudara perempuannya juga mati bunuh diri. Dan pada 1996, cucunya, aktris Margaux Hemingway juga bunuh diri. Fenomena ini seolah menegaskan faktor genetik dalam tindakan bunuh diri.
Hemingway menjalani masa kecil yang kelabu akibat ketidakharmonisan rumah tangga orangtuanya. Setelah dewasa, Hemingway sendiri berkali-kali mengalami kegagalan dalam pernikahannya. Ketika menginjak usia paruh baya, Hemingway menjadi penduduk Kuba. Di sini dia sempat merasakan kebahagiaan. Di masa ini pula, dia menerbitkan The Old Man and the Sea yang kemudian mengantarkannya meraih Hadiah Nobel Sastra pada 1954.
Kejayaannya berbalik ketika Fidel Castro naik ke tampuk kekuasaan dan mengusir orang Amerika keluar dari Kuba. Hemingway mulai depresi dan kreativitasnya menurun. Setelah berusaha melakukan bunuh diri dua kali, dia masuk rumah sakit dan dirawat untuk masalah psikologisnya. Dan akhirnya, setelah beberapa bulan didera depresi, gelisah, dan ketakutan, dia menembak dirinya sendiri.
Pada 25 November 1970, pengarang Jepang yang menakjubkan, Yukio Mishima, bunuh diri secara spektakuler di sebuah markas militer di Tokyo. Usianya baru 45. Tubuhnya, yang dia rawat dengan olahraga yang tekun--hingga otot-ototnya bergelombang bagus--masih nampak sempurna ketika dia merobek isi perutnya sendiri. Beberapa detik kemudian, seorang pengikutnya yang setia, yang siap di belakangnya, memenggal leher penulis novel Kinkakuji itu, putus empat kali pancung.
Kematian Mishima bagaikan sebuah teater. Mishima, bersama sejumlah anak buahnya yang terlatih secara militer--anggota Tatenokai yang didirikannya--pagi itu menyerbu sebuah markas tentara di Tokyo. Dia lalu berpidato di ketinggian, tentang Jepang yang kehilangan keagungan klasik. Tak lama kemudian, di hadapan perwira tinggi yang dia tawan di markas itu, Mishima menjalankan seppuku (ritual memburaikan isi perut) secara tuntas. Dia roboh dalam baju seragam yang gagah dan berlumur darah.
Mishima mati dalam sebuah protes, dengan rasa masygul yang telah tampak dalam novel empat jilidnya, Laut Kesuburan. Karena Jepang telah tenggelam dalam rutinitas politik dan ekonomi modern, tanpa keberanian, kesetiaan, dan pengorbanan.
Bunuh diri Mishima memancing pengarang Jepang lainnya melakukan tindakan serupa. Yasunari Kawabata adalah teman sekaligus mentor Mishima. Persahabatan mereka berawal sejak Mishima mengunjungi Kawabata pada 1946 sambil mendiskusikan karya-karyanya. Melalui rekomendasi Kawabata, Mishima memasuki pergaulan sastra. Setelah kematian Mishima, Kawabata menjadi depresi dan pada 1972 dia melakukan harakiri dalam usia 73 tahun.
Kawabata adalah orang Jepang pertama yang meraih Hadiah Nobel Sastra. Karya-karyanya yang terkenal antara lain Yukiguni, Sembazuru, dan Yama no oto. Nuansa kesepian dan pikiran tentang kematian yang meresap dalam sebagian besar tulisannya barangkali bersumber dari masa kecilnya yang lara--dia telah kehilangan hampir semua kerabatnya ketika masih muda. Ketika Kawabata menerima Hadiah Nobel pada 1968, dia mengatakan bahwa dalam karyanya, dia berusaha menampilkan indahnya kematian dan harmoni antara manusia, alam, dan kehampaan.
Menurut Émile Durkheim, tindakan bunuh diri terkait dengan tingkat keterikatan seseorang dengan masyarakat. Durkheim menemukan bahwa bunuh diri biasanya terjadi ketika seseorang tidak memiliki ikatan sosial atau hubungan dekat. Kita tahu bahwa menulis adalah pekerjaan yang asketik. Dalam proses kreatifnya, pengarang sering menarik diri dari masyarakat. Sebagai akibatnya, ia akan merasa kesepian. Dalam kondisi seperti itu, ia perlu mengakrabi Tuhan. Bahkan semestinya ia bisa menemukan Tuhan dalam tulisan-tulisannya. Saya yakin pengarang yang seperti itu tidak akan terpikir untuk membunuh dirinya sendiri.
[]oleh: Haris Priyatna
sumber : http://titikbalic.blogspot.com/2006/07/ketika-pengarang-bunuh-diri.html
sponsored by
0 comments:
Post a Comment