Kanakar
Ucu Agustin
koran Tempo, Edisi 12/28/2003
Kanakar adalah bisik lirih seumpama bujuk pagi yang
menyelusup lembut di hitam malam untuk pelan-pelan
menguasai dan mengambil alih tahta dengan bantuan sinar
fajar. Kanakar adalah saat bening embun di pagi bulan
Januari yang berseri kehilangan pamor dan menjadi malu
saat melihat cara kerja benih yang tumbuh begitu ajaib.
Mulanya tidur dalam kerahasiaan tanah, lalu salah satu dari
mereka tiba-tiba memutuskan untuk bangun. Menggeliat
dan malu-malu menjulurkan tunas kecil indahnya ke arah
matahari lantas mereka menjadi begitu bergairah untuk
tumbuh, memasak khorofil dengan sibuk dan memekarkan
bunga-bunga indah sebelum akhirnya menggelembungkan
buah yang beraroma manis di tiap sela batang di antara
daun-daunnya.
Kanakar adalah saat semua kejadian yang pertama
kali dilihat Dmitri dua tahun silam akan tampak kembali
sebagai mimpi nyata yang menjelma. Hutan bersinar,
bintang kerdipnya lembut, malam seperti diperkosa
malaikat. Heningnya sangat pekat tapi terangnya lebih pijar
ketimbang ratusan lampu bohlam.
Pada dini hari pembuka di bulan pertama setiap
pergantian tahun itulah, saat orang-orang di kota ramai
merayakan berlalunya waktu dan menyambut datangnya
satu fase putaran baru dengan kemeriahan kerlip kembang
api dan keriaan sumbat-sumbat minuman yang dibuka
dengan paksa, lelaki itu cukup mengenang saat yang
seperti itu sebagai saat Kanakar saja.
Kanakar?
Dmitri melihat mereka dari sela-sela antara akar-akar.
Tujuh puteri bersaudara… Seven sisters, begitu orang-
orang berkulit putih menyebut mereka dalam bahasanya.
Bagai laluby panjang yang menyobek malam hening di
suatu kampung. Seperti kisah dalam cerita kanak-kanak
tentang seseorang yang dikejar mahluk raksasa hijau.
Seperti fabel-fabel yang dituturkan lewat lisan tapi kini
menjelma dengan nyata di depan mata. Itulah yang terjadi
pada saat itu. Waktu kanakar…
Gelap menggelayuti hutan. Pohon-pohon seperti
raksasa berbulu kaki lebat yang siap membuat siapa saja
tersasar di antara bulu kakinya. Angin seperti meniupkan
nafas salju yang bisa menyumbat laju peredaran darah.
Lelaki itu memeluk tubuhnya. Hanya sebuah jaket kain
biasa yang melapisi baju denimnya. Ia sendirian. Dua
orang temannya akan segera kembali begitu mendapatkan
cigaret dan minuman hangat dari kampung terdekat.
Begitu kata mereka. Padahal itu alasan pembungkusnya
saja. Dmitri tahu hal itu. Alasan sebenarnya mereka ingin
menyapa kekasih-kekasihnya meski sebentar saja.
Tak ada sinyal yang bisa diterima telepon selular di
dalam hutan lebat tersebut. Salah seorang dari mereka
pernah bercanda, hutan ini pasti banyak perinya, bahkan
sinyal saja tak diizinkan untuk menyentuh daerah
kekuasannya. Dan Dmitri tertawa. Dari buku cerita anak
yang pernah dibacanya, ia masih ingat salah satu
keterangan yang tertera di salah satu halaman dalamnya.
Begitulah biasanya cara kerja para peri hutan atau mahluk
apapun yang sifatnya supranatural. Begitu seorang
manusia memasuki kawasannya, maka manusia tersebut
tidak akan bisa melakukan komunikasi dengan sesuatu
atau seseorangpun dalam jarak jangkau yang jauh. Mereka
akan mengurung daerahnya dengan kekuatan,
memisahkan semakin jauh manusia-manusia yang tersesat
dari lingkungan yang ditinggali manusia kebanyakan. Para
mahluk itu akan menggiring orang tersebut untuk sampai di
jantung kerajaannya dan tanpa disadari membuat orang itu
putus asa. Dan saat putus asa, para mahluk itu akan
menampakkan diri mereka. Entah sebagai gadis jelita
yang muncul begitu saja dari balik semak-semak seperti
dalam film-film klasik silat mandarin saat sang jagoan
tersesat di daerah tak dikenal, atau seperti cerita tentang
seorang anak yang bertemu kakek berjanggut pada malam
di saat ia mencuri kubis dan berputar-putar terus di sebuah
kebun tepi hutan tanpa menemukan jalan pulang.
Adalah sebuah kebiasaan yang seolah telah menjadi
hal ritual. Tiga orang lelaki. Dmitri, Elias dan Firdaus.
Bersahabat sejak pertama kali bertemu di kantin SMP
mereka yang berdebu. Sejak saat itu tak pernah berpisah.
Melakukan perjalanan merambah kaki-kaki hutan yang
belum dijamah. Menyusur pinggir-pinggir pantai yang sepi
dan tak biasa disinggahi para peselancar pecandu
gulungan ombak. Mengenali aneka tumbuhan dan berpisah
saat mereka mulai memasuki bangku kuliahan. Tapi ada
satu janji: saat waktu berada pada pertengahan antara
yang lalu dan yang akan datang. Pada setiap pergantian
tahun, mereka akan selalu pergi bersama untuk
mengenang masa remaja dan mempersiapkan banyak
rencana di tahun-tahun mendatang. Mencoret beberapa
daftar rencana yang telah dibuat tahun lalu bila rencana itu
berhasil dan menulis ulang yang harus dilakukan bila ada
beberapa target yang belum tercapai.
Tapi itu lima tahun yang lampau. Saat mereka masih
mahasiswa dan tertawa-tawa membicarakan perempuan
yang mereka kejar, di sela merah api unggun kecil yang
dibakar dari kumpulan kayu-kayuan yang ditemukan
bergeletakan di tanah hutan. Dua teman Dmitri kini telah
punya kekasih tetap. Dari catatan tahun depan yang
sempat diintip Dmitri sebelum mereka berangkat ke
Gunung Salak, Elias bahkan menuliskan pernikahan
sebagai salah satu target yang akan dilakukannya di tahun
depan. Begitulah… Jadi andai pada saat tahun baru kali
itu, dua temannya lebih serius mengurusi perempuan-
perempuannya dari pada berembuk tentang rencana-
rencana masa depannya, Dmitri bisa maklum.
Dan pada malam pergantian tahun ketika kedua
temannya pergi ke kampung terdekat itulah, Dmitri
menemukan waktu yang hilang. Saat yang kemudian
dikenang Dmitri sebagai saat Kanakar…* * *
Dua tahun yang lalu, di tengah kelebatan hutan, saat
gigil mulai menggigit, ketika satu persatu Dmitri
mengumpulkan dahan-dahan pohon tua untuk tambahan
kayu bakar, ia melihat mereka dari antara gelantungan
akar-akar yang bersuluran dari badan pepohonan. Mereka
melayang, terbang. Mengambang dan berkeliaran dengan
udara sebagai pijakan, mungkin itu kalimat yang paling
tepat untuk menggambarkan cara berjalan tujuh
perempuan yang dilihatnya dari antara akar-akar. Tubuh
mereka bersinar seperti kunang-kunang. Rambut mereka
tergerai berwarna emas dan api. Mereka tak bersuara tapi
tampak mereka tertawa-tawa. Roman muka bahagia
terpancar dari wajah mereka yang seterang siang.
Dmitri membeku. Dia hanya bisa menatapi gadis-gadis
cahaya itu dari jauh tanpa bisa melakukan apa-apa. Gigil
dingin tak lagi dirasakannya. Ia begitu terpesona. Dari
antara akar-akar ia melihat perempuan-perempuan
seumpama peri itu mengambil tanah dan lantas
meniupinya dengan nafasnya. Saat tanah-tanah itu ditabur
kembali dari tempat mereka berdiri mengambang, tanah-
tanah itu tampak seperti debu yang berpijar. Itukah debu
sihir yang ditaburkan Peter Pan dan membuat teman-
temannya manusia biasa jadi pada bisa terbang?
Lelaki itu ingin berlari menuju hujan debu yang berpijar,
tapi keadaan saat itu terasa begitu misterius dan
menakjubkan. Dan saat suatu peristiwa berjalan begitu
misterius dan menakjubkan, seseorang biasanya tidak
bisa berbuat apa-apa selain membiarkannya terjadi saja.
Dan Dmitri, lelaki itu, hanya bisa berdiri mematung saat
ketujuh perempuan tersebut melayang kembali ke langit
setelah menjumput setumpuk kecil tanah yang berpijar.
Tanah yang sebelumnya mereka hembusi dengan nafas
mereka sendiri.
Sejak kejadian yang dilihatnya di tengah hutan dua
tahun lalu itu, Dmitri mengalami imsomnia. Serangan
bayangan ketujuh puteri yang mengambang itu terus
menari di matanya. Membuatnya selalu kembali ke hutan
itu setiap tahun baru datang, saat waktu yang lama dan
yang baru hendak berpagut mengalami pertukaran yang
saling bertaut.
Di kepala Dmitri, bayangan itu terus mengambang.
Bayang tubuh ketujuh perempuan berambut emas dan api
yang semakin jauh membumbung ke angkasa,
membuatnya tak bisa menutup mata. Dmitri ingat benar,
saat rambut para puteri yang berkilauan seterang fajar
menembus angkasa malam dan bersentuhan dengan
cahaya bintang, sesuatu terjadi. Mereka tampak berubah
menjadi merpati. Terbang berpencar membumbung ke
langit dan saat jejaknya hilang, di atas masing-masing
tempat di mana ketujuh burung dara itu lenyap, tampak
dengan sangat terang tujuh bintang yang tertawan di awan-
awan. * * *
Hanya hujan yang bisa menidurkanku. Ketik Dmitri
pada keypad Handphone-nya. Ia membaca sekilas pesan
yang telah dibuatnya. Jam digital di atas meja kerjanya
menunjukkan angka dua tiga dua. Suara riuh jalanan yang
tadi pecah dengan bunyi terompet dan aneka bunyi
petasan kini tak lagi ia dengar. Para pemakai jalan itu
pasti sedang bermimpi sekarang. Ia mengirimkan sms-
nya.
Tentu saja, karena mungkin seperti yang kerap kau
ceritakan, saat purnama bintang-bintang selalu
memanggilimu. Pasti itu yang membuat kau tak bisa
menutup matamu. Maia.
Dmitri baru mengenalnya satu bulan yang lalu. Kejadian
tak sengaja; berebut sebuah buku yang sama di sebuah
toko buku. Sebuah sore di akhir November. Entah kenapa
Dmitri merasa seolah perempuan itu bisa memahaminya.
Balasan sms itu adalah jawaban paling masuk akal yang
pernah diterimanya sejak ia mengalami masalah sulit tidur.
Sejak ia menemukan saat Kanakar.
Dmitri memang merasa selalu dikerdipi bintang-
bintang. Mungkin benar, itulah kenapa ia jarang sekali
menutup matanya bila datang waktu malam. Ia hapal
dengan pasti letak rasi-rasi; Lira, Lepus, Taurus. Juga
bintang-bintang besar Casiopea, Al Nath, Borea, dan yang
paling sering membuatnya gemetar adalah Pleiades.
Posisi bintang itu dan cara mereka mengerdipinya.
Adalah seorang putri cantik yang sangat suka berlayar,
Pleione. Menikah dengan Atlas dan dikarunia tujuh puteri
cantik yang rupawan. Dan tersebutlah seorang dewa, Orion
sang pemburu. Jatuh hati kepada pleione dan ketujuh
puterinya. Waktu berlalu dan sang pemburu semakin
marah karena penolakan Isteri dan puteri-puteri Atlas. Dan
ketika mereka tak bisa lagi menghindar, Penguasa
Olympus turut campur. Zeus mengubah ketujuh bersaudari
itu menjadi burung merpati dan mereka pun bisa lari dari
kejaran Orion yang tak kenal henti. Pleione menjadi sebuah
kluster bintang, kini dikenal dengan Pleiades. Tempat
sekumpulan bintang bertahta di antara ribuan galaksi yang
tergantung di ruang semesta. Di Pleiades itulah ketujuh
puteri Pleione bermukim. Menjadi tujuh bintang paling
terang yang pernah ada di semsta. Di kluster itulah pula,
terdapat sebuah sungai cahaya yang mengalir abadi tiada
berujung pun tak berpangkal. Yang bila manusia beruntung
bisa menatapnya, akan bisa menatap salah satu puteri
tercantik dari tujuh puteri Atlas…
Dmitri selalu tersenyum bila kebetulan membaca cerita
tentang asal-mula munculnya kluster itu di angkasa. Mitos!
Siapa juga yang sudi percaya? Terlebih mitologi Yunani
untuk pengantar tidur bocah-bocah yang perlu terus digiring
para orangtua untuk terus berimajinasi, supaya daya kreatif
mereka tidak mati. Tapi entah kenapa, semua itu begitu
tepatnya. Ketujuh puteri di dalam hutan, meniupi tanah
hingga menjadi debu pijar. Melayang ke awan-awan,
berubah menjadi merpati dan saat semuanya hilang yang
tinggal adalah pleaides yang maha terang…
Dmitri menarik nafas panjang. Tahun telah berganti lagi
dini hari tadi. Tapi sayang, saat waktu bertautan, saat tahun
baru datang dan tahun lama undur pergi bergantian, saat
seharusnya ia berada lagi di tengah hutan melihat ketujuh
puteri itu lagi dari antara akar-akar, ia tak bisa berada di
sana. Radang usus menghambat kepergiannya. Lagi pula
kali ini tak ada lagi yang bisa menemaninya untuk
membuat daftar rencana di tahun depan, menjelajah hutan
itu lagi dan menemui ketujuh puteri yang selalu menghilang
tepat jam dua malam. Elias dan Firdaus telah menikah.
Elias tengah menunggu kelahiran anak pertamanya,
Firdaus sedang di Lombok menikmati bulan madunya. Dan
Dmitri hanya sendiri, menahan sakit di perutnya, teronggok
di kamarnya dengan hanya ditemani Maia melalui Sms-
smsnya.
Jam digital menampakkan angka dua empat lima.
Hipnos dewa tidur mulai melemparkan jaring kantuknya.
Lelaki itu terperangkap, ia menguap, perlahan kedua
pelupuk matanya mulai mengatup…
"Tapi kau telah melihat sungai itu… Dan di sanalah kau
akan menikmati segarnya, bersamaku." Sebuah suara
muncul dari antara ambang tidurnya. Sangat dekat dan
begitu dikenalnya. Maia berdiri tepat di hadapannya. Di
antara pijar bohlam dua watt warna hijau pekat, Maia
tampak seperti salah satu dari mereka. Ini pasti mimpi.
Ucap Dmitri dalam hati.
"Tapi semuanya begitu nyata, dan kita telah sangat
terlambat. Dmitri… Bersegeralah!" Begitu saja Maia
menggapai tangan Dmitri. Dan keadaan menjadi demikian
menakjubkan. Ketika sesuatu berjalan begitu
menakjubkan, biasanya orang hanya bisa membiarkannya
terjadi begitu saja, tanpa mempertanyakan. Pun ketika
perempuan serupa salah satu dari puteri yang dilihat Dmitri
pada saat kanakar di tengah hutan itu menggapai
tangannya, mengusapkan debu pijar pada setiap garis
tangan yang bertebar di telapak sebelah dalam.
"Maia," Dmitri memanggil nama perempuan itu.
"Ya aku Maia, " Perempuan itu menjawab.
Dan Maia? Dmitri teringat cerita kanak-kanak itu.
Bukankah ia memang salah seorang dari tujuh puteri yang
tak henti di kejar Sang Pemburu? Electra, Taygete,
Alkyone, Asterope, Merope, Celeone, Maia….
Malam seperti diperkosa malaikat. Heningnya sangat
pekat tapi terangnya lebih pijar ketimbang ratusan lampu
bohlam. Bila saja ada yang tidak terlelap setelah pesta
tahun baru itu usai, pasti mereka akan menganggap yang
di lihatnya sebagai ilusi pada sebuah dini hari. Dua
manusia, lelaki dan perempuan. Bercahaya dan penuh
keanggunan, melayang menorobos langit dini hari yang
hangat dan rimbun dengan kerdip bintang yang lembut.
Saat keduanya menghilang, sebuah sungai tampak
terbentang di langit. Sekejap mengalir mengeriap,
menabur cahaya perak yang mengkilap untuk kemudian
menghilang dan lenyap.
Yah, lenyap untuk muncul kembali suatu saat. Saat yang
dinamai Seseorang bernama Dmitri sebagai saat
Kanakar***
sponsored by
0 comments:
Post a Comment