Pertemuan Kesekian
MEREKA kembali berada di meja yang sama, dan tengah
saling bertukar minuman yang mereka pesan. Milo
dingin milik perempuan itu terasa segar, sedangkan
capuccino panas miliknya tak seenak yang ia bayangkan. Perem-
puan itu tersenyum, menawarinya lagi Milo dingin miliknya itu,
namun ia menggeleng. “Kenapa?” tanya perempuan itu. Ia berdiri,
beranjak memasuki Alfamidi lagi, dan tak lama kembali dengan
segelas Milo dingin di tangannya. Perempuan itu tertawa lalu
bertanya siapa yang akan menghabiskan capuccino panas yang
sebelumnya dipesannya itu. “Malaikat maut,” jawabnya. Perem-
puan itu kembali tertawa.
Malam itu hujan tak turun, meski suhu tetap dingin.
Perempuan itu tak memakai blazer hitam yang dibawanya,
sehingga ia jadi punya alasan untuk meletakkan tangannya di
pundak perempuan itu, dan sedikit mendekatkan tubuh perem-
puan itu ke tubuhnya. Perempuan itu sempat mengingatkannya
pada tatapan tak nyaman orang-orang di meja lain, tapi ia tak pe-
duli. “Biar saja mereka iri,” bisiknya, tepat di telinga perempuan
itu. Perempuan itu selalu mengernyit. Seperti biasa perempuan itu
selalu merasa geli setiap kali ia melakukannya. Dan seperti biasa, ia
selalu tak kuasa menahan diri untuk tak mencium pipi perempuan
itu setiap kali mereka sudah nyaris tak berjarak seperti itu. Perem-
puan itu menatapnya. Entah senang, atau terganggu.
Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, malam itu pun mereka
adalah pengunjung terlama yang berada di sana. Mereka menjadi
saksi dari perubahan suasana Bara pada masa-masa ujian tengah
semester ketika orang-orang yang mereka duga mahasiswa hanya
akan ramai berlalu-lalang hingga jam sembilan. Mereka di sana,
dua orang yang bukan lagi mahasiswa, dua orang yang tak lagi tinggal di kawasan itu sejak lama, dua orang yang baru saja menempuh perjalanan berjam-jam yang bagi orang lain mungkin tak masuk akal. “Kamu lelah?” tanya perempuan itu. Ia tersenyum. Ia menduga perempuan itulah yang sesungguhnya lelah. Kelopak mata perempuan itu terlihat berat. Ia menduga kepergian perempuan itu kali itu tak semudah yang sebelum-sebelumnya. Ia menduga, suami perempuan itu mulai curiga.
Kadang ia memikirkan apa yang mereka lakukan ini,
bagaimana mereka bisa sampai menyepakati sebuah pertemuan
singkat setiap tahunnya di tempat itu, juga bagaimana mereka bisa
terus menjaga kesepakatan tersebut padahal perempuan itu sudah
menikah tiga tahun yang lalu dan ia sendiri sesungguhnya sedang
menjalin hubungan yang sungguh-sungguh dengan seseorang.
Cinta memang rumit, pikirnya. Orang-orang yang ia duga mahasis-
wa itu tentu mengira ia dan perempuan itu adalah sepasang keka-
sih, dua orang yang telah menunggu sekian lama untuk akhirnya
bertemu dan berdekatan, saling menukar senyum dan cerita. “Aku
tak semuda dulu,” kata perempuan itu, satu tahun yang lalu. Me-
mang. Di ujung-ujung mata perempuan itu telah ia temukan
beberapa kerutan yang sebelumnya tak ada. Tapi dikatakannya
pada perempuan itu, bahwa di matanya perempuan itu masih
secantik empat tahun sebelumnya, masih seindah yang ia ingat.
Perempuan itu menjulurkan lidah, tak percaya dan menganggap
apa yang ia katakan itu bualan semata.
Di dalam hatinya ia bertanya-tanya sejauh mana perempuan
itu mengingat pertemuan mereka satu tahun yang lalu itu. Ia ber-
harap ingatan perempuan itu memuaskannya. Atau paling tidak,
tak membuatnya kecewa. Ia tahu perempuan itu memiliki daya
ingat yang baik, dan karenanya tak akan mungkin ia melupakan
peristiwa sepenting itu. Jika ternyata perempuan itu tak meng-
ingat detail peristiwa malam itu dengan baik, maka bisa jadi pe-
rempuan itu sedang memikirkan suatu hal, sesuatu yang semesti-
nya tak dipikirkannya saat itu. Begitulah ia berpikir, dan seketika ia
cemas. Ia tak nyaman memikirkan suami perempuan itu telah be-
nar-benar mengetahui apa yang terjadi di antara mereka, pertemu-
an-pertemuan mereka. Apa yang semestinya kukatakan nanti?
pikirnya, membayangkan wajah garang suami perempuan itu seko-
nyong-konyong muncul di antara orang-orang yang tak dikenalnya.
“Ada apa? Ada yang mengganggumu?” tanya perempuan itu. Ia hanya menanggapinya dengan tersenyum.
PADA kali pertama mereka melakukan hal ini, lima tahun yang lalu, ia tak bisa duduk tenang dan berkali-kali masuk-keluar Alfamidi untuk membeli satu-dua hal saja. Cokelat, biskuit, susu bantal.
Permen, wafer, kopi dingin. Tanpa terasa lembar-lembar uang di dompetnya habis. Ia pun berkali-kali merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponsel yang pada layarnya tertera foto perempuan itu. Ia kecewa, juga cemas. Ia menyesali keputusannya untuk menunggu perempuan itu di meja itu, bukannya di pintu kedatangan di Bandara Soekarno-Hatta. Berkali-kali ia mengutuki ketololannya, dan melontarkan kata-kata makian yang ditujukannya
kepada dirinya sendiri. Ketika perempuan itu akhirnya membalas
SMS-nya, mengabarkan bahwa dirinya sudah berada di angkot jurusan Kampus Dalam namun terjebak macet di sekitar pabrik, ia sedikit lega, dan mulai mencoba memaafkan ketololannya itu.
Dan ketika perempuan itu akhirnya tiba, menyeberang jalan
dan berjalan anggun ke arahnya, barulah sepenuhnya ia lega. Ia
berdiri dan menyambut perempuan itu. Tangan perempuan itu
lembut seperti yang diingatnya. Parfum perempuan itu masih sa-
ma. Mereka kemudian bercakap-cakap di meja itu dan sesekali ter-
tawa. Di ujung percakapan, ia mengatakan bahwa tahun depannya
ia akan menunggu perempuan itu di bandara saja, juga tahun-ta-
hun berikutnya. Perempuan itu tersenyum, dan mengatakan bah-
wa itu tak perlu. “Ongkos pulang-pergi Bogor-Cengkareng itu lu-
mayan,” kata perempuan itu. Ia saat itu memang masih belum
memiliki pekerjaan tetap, dan dimuat-tidaknya cerita pendeknya di
koran Minggu benar-benar tak bisa dipastikan.
Ia mengerti kekhawatiran perempuan itu, namun tetap me-
ngatakan hal yang sama. Perempuan itu menyerah, tersenyum,
dan tiba-tiba memberinya sebuah ciuman singkat di pipi. Ia sempat
terdiam kaget dan kemudian bertanya, “Kenapa tidak di bibir sa-
ja?” Giliran perempuan itu yang terdiam. Ia tertawa. Perempuan itu
tersenyum. Ketika malam telah sangat larut dan meja-meja di se-
kitar mereka telah kosong, perempuan itu menciumnya juga, tepat
di bibirnya. Pada ciuman kedua perempuan itu, ia memejamkan
mata.
MALAM mulai larut dan ia melihat toko-toko di seberang jalan itu satu per satu tutup. Lalu-lalang orang berkurang. Motor-motor yang semula memenuhi pelataran parkir telah dibawa para pemiliknya. Tersisa tiga. Entah kenapa, ia merasa sedih.
Ia menatap perempuan itu dan perempuan itu tersenyum.
Jari-jemari mereka yang sedari tadi saling bersentuhan kini seperti
dua anak yang tengah asyik saling menggelitik. Ia membalas se-
nyum perempuan itu, lalu mengalihkan matanya kembali ke jalan
yang lengang.
Tak seperti pada pertemuan-pertemuan sebelumnya, kali ini
mereka tak banyak bicara. Memang, mereka masih saling bertukar
senyum, dan perempuan itu sesekali tertawa, sesekali bicara.
Namun apa yang terlontar dari mulut perempuan itu hanyalah hal-
hal biasa, pertanyaan dan pernyataan remeh-temeh yang akan
selalu diartikan sebagai basa-basi yang basi, sebuah upaya memulai
percakapan yang gagal. Dan ia sendiri lebih buruk. Sejak berjumpa
perempuan itu di bandara, ia tak sekalipun mengatakan sesuatu
untuk menyegarkan suasana, mencairkan kebekuan yang tak
terduga itu. Dua jam perjalanan di bis, ia dan perempuan itu hanya
saling mendekatkan tubuh dan merapatkan jemari. Tak ada ung-
kapan cinta. Tak ada pengakuan rindu. Ia dan perempuan itu
seperti bersepakat untuk menunda apa yang semestinya mereka
katakan. Ada yang berbeda dengan perempuan itu. Ia tahu. Ia
sendiri entah mengapa jadi begitu diam dan seperti takut apa yang
akan ia ucapkan malah memperburuk suasana. Hingga bis yang
mereka tumpangi tiba di terminal Damri Baranangsiang, tak sedikit
pun mereka bicara.
Dan kini tiba-tiba ia merasa lelah. Ia bertanya-tanya apakah
perempuan itu juga merasakan hal yang sama.
Enam tahun yang lalu di meja itu, beberapa jam setelah pe-
rempuan itu menempuh sidang skripsinya, percakapan itu terjadi.
Ia dan perempuan itu. Tangan mereka saling menggenggam dan
mereka bertukar senyum. Namun, yang terasa adalah kesedihan.
Tak lama lagi perempuan itu akan pulang ke kampung halamannya. Ia dan perempuan itu tak akan bisa lagi menghabiskan waktu bersama. Perempuan itu di sana mungkin akan bertemu seseorang, yang seiman dengannya. Dan ia pun begitu. Berpisah adalah satu satunya hal yang bisa mereka lakukan.
“Aku akan selalu mencintaimu,” kata perempuan itu.
Ia ingin membalas perkataan perempuan itu, namun tak sang-
gup. Ia hanya memejamkan mata, sambil menekankan bibirnya di
jari-jemari perempuan itu. Seandainya kita bisa bertemu lagi setiap
tahunnya, gumamnya. Ia yakin hanya menggumamkan keinginan-
nya itu di dalam benaknya saja, dan karenanya perempuan itu tak
akan mungkin mendengarnya.
Akan tetapi pada malam terakhir perempuan itu berada di
Dramaga, saat itu percakapan terjadi lewat telepon, perempuan itu
mengatakan padanya bahwa mereka akan bertemu lagi. “Aku akan
mencari cara agar kita bisa bertemu setiap tahunnya, meski sing-
kat,” kata perempuan itu. Ia tak percaya perempuan itu mengata-
kannya, dan ia lebih tak percaya lagi ketika suatu hari saat perem-
puan itu di Medan sana, ia di Dramaga tengah sibuk menyiapkan
diri untuk menyambut kedatangan perempuan itu.
DAN pertemuan itu pun terjadi. Begitu pula pertemuan-pertemuan setelahnya. Ia dan perempuan itu masih sepasang kekasih. Begitulah yang ia rasakan. Hingga suatu hari perempuan itu mengungkapkan rencana pernikahannya. Ia terpukul. Ia mengira pertemuan mereka beberapa bulan sebelumnya adalah yang terakhir. Tak akan ada lagi pertemuan lain. Mereka tak akan lagi sepasang kekasih.
Namun rupanya, perkiraannya itu pun salah. Pada hari yang
sama perempuan itu tetap datang. Ia menjemput perempuan itu
seperti biasa. Mereka berpelukan. Di sepanjang perjalanan ke
Bogor tangan mereka saling menggenggam dan ia selalu bertanya-
tanya apa yang dikatakan perempuan itu kepada suaminya
sehingga lelaki itu memberikannya izin. Di meja itu, mereka duduk, bercakap-cakap hingga malam begitu larut, dan seperti pada
pertemuan-pertemuan sebelumnya, mereka menghabiskan sisa
malam di sebuah ruang yang sangat pribadi. Ia dan perempuan itu.
Tubuh mereka yang menyatu.
Dan kini memikirkannya ia merasa kesedihannya bertambah.
Baru saja perempuan itu mengatakan apa yang sedari tadi ditahan-
tahannya, “Aku sedang hamil. Dalam beberapa bulan ke depan pe-
rutku akan membesar.” Ia tahu ia semestinya tak terkejut men-
dengar hal itu. Perempuan itu sudah bersuami sejak tiga tahun
yang lalu dan jika benih yang tertanam di rahim perempuan itu bu-
kanlah benihnya itu adalah sesuatu yang wajar. Benar-benar se-
suatu yang wajar. Tapi entahlah. Ia justru merasa perempuan itu
mengkhianatinya. Ia justru kecewa karena anak yang kelak akan
dilahirkan perempuan itu bukanlah anaknya! Bukanlah anaknya!
“Kamu jangan bersedih,” kata perempuan itu.
Ia mencoba tersenyum, berusaha menunjukkan kepada pe-
rempuan itu bahwa ia tak apa-apa, bahwa ia memang tak bersedih,
bahwa ia bisa mengerti dan sepenuhnya menerimanya.
“Apakah tahun depan kita akan bertemu lagi?” tanyanya.
Perempuan itu tersenyum, dan mengangguk pelan. Dan ia
merasa kesedihannya kembali bertambah. Entah kenapa.
Barangkali sesungguhnya yang ia harapkan adalah kata
“tidak”. Barangkali sesungguhnya yang ia harapkan saat itu: pe-
rempuan itu mengatakan padanya bahwa mereka tak akan pernah
bertemu lagi. Tak akan pernah… bertemu lagi.
Ia tahu, jika perempuan itu datang lagi, ia tak mungkin tak
menyambutnya. Sedangkan pada saat itu, perempuan itu telah
seorang ibu, dan itu membuat semuanya tak lagi sama. Akankah saat itu ia bisa memperlakukan perempuan itu seperti biasanya, seperti pada pertemuan-pertemuan mereka sebelumnya? Entah kenapa, ia ragu. Dan memikirkannya semakin membuatnya ragu.
Tiba-tiba saja ia ingin benar-benar berpisah dari perempuan itu, namun di saat yang sama ia begitu menginginkan perempuan itu tetap berada di dekatnya, di mana ia bisa merangkulnya, menciumnya, mendekapnya…
Ia benar-benar bimbang. Ia menatap mata perempuan itu,
lekat-lekat, seperti berusaha menemukan kebimbangan yang sama
di dalam diri perempuan itu. Tapi perempuan itu justru berkata,
“Kita akan bertemu lagi. Itu pasti. Tapi mungkin, tidak tahun
depan.”
Ia berhasil memaksakan diri untuk tersenyum. Tangan perempuan itu begitu hangat di tangannya, dan ia memperkuat genggamannya. Di dalam benaknya ia membayangkan ia dan perempuan itu bertemu lagi dua tahun setelah malam itu, menanti dini hari lagi di tempat yang sama, menghabiskan sisa pertemuan mereka di sebuah ruang yang sangat pribadi. Ia dan perempuan itu. Tubuh mereka yang menyatu. Dan ia merasa, lagi-lagi, kesedihannya bertambah.
Barangkali mencintai seseorang adalah juga melepaskannya
(dan melupakannya) di saat yang tepat. Dan pertemuan-pertemu-
an mereka itu, barangkali, hanya mampu menunda saat yang tepat
itu datang. Begitulah akhirnya ia memikirkannya.
Dan ia pun berdiri. Sesungguhnya ia ingin sekali mencium
perempuan itu, tepat di bibirnya, berkali-kali. Tapi yang dilakukan-
nya kemudian hanyalah menatap mata perempuan itu. Lama. Lama
sekali. Dan ia merasa malam tiba-tiba begitu dingin saat perem-
puan itu dengan pelannya berkata, “Aku… mencintaimu.”
- Crenata
sponsored by
0 comments:
Post a Comment