Tuhan Memberkatimu (2011)
penulis : Hiromi Kawakami
BERUANG itu mengajakku berjalan-jalan menuju sungai, yang jaraknya dari
apartemen kira-kira 20 menit jika ditempuh dengan berjalan kaki. Aku pernah
sekali mencoba berjalan-jalan di sana di awal musim semi untuk melihat burung-burung,
di mana saat itu aku mengenakan pakaian pelindung. Sekarang, hari begitu panas,
dan sejak “kecelakaan” itu ini adalah untuk pertama kalinya aku mengenakan
pakaian normal yang membuat sebagian kulitku tak tertutupi seperti ini, dan aku
membawa bekal makan siang juga sepatu boot. Ini akan menjadi sebuah aktivitas
di antara berjalan-jalan dan mencari angin.
Ia seekor beruang jantan besar yang baru saja pindah ke kamar 305, tiga
pintu di bawah kamarku. Sebagai upaya untuk berbaur, ia memperlakukan tiga
orang yang masih tersisa di apartemen ini—termasuk aku—dengan baik, seperti
dengan memberi mie dan mengirim paket atau kartu pos, sebuah tindakan yang
sudah jarang sekali kautemukan di kehidupan sekarang ini. Ia benar-benar
berusaha membuat orang-orang di sekitarnya menyukainya, pikirku. Tapi kemudian
aku juga berpikir: mungkin kau memang harus bersikap seperti itu jika kau
seekor beruang.
Ketika tempo hari ia mampir ke apartemen ini dengan membawa mie-mie itu,
kami menyadari bahwa kami tampaknya tidak benar-benar asing satu sama lain.
“Kau pernah berada di kota X?” tanyanya saat dilihatnya namaku di pintu.
Ya, jawabku. Aku memang pernah berada di sana. Rupanya seseorang yang pernah
sangat membantunya ketika ia di tempat penampungan selama “kecelakaan” itu
memiliki seorang paman, salah satu pegawai kota, yang nama keluarganya sama
dengan nama keluargaku. Ketika kami mencoba menelusurinya lebih jauh, kami tiba
pada kesimpulan bahwa si pegawai kota dan ayahku mungkin saja sepupuan. Suatu
kekerabatan yang tipis, sebenarnya, tapi si beruang tampak benar-benar
memikirkannya, dan ia kemudian berkata tentang “ikatan karma” yang ada di
antara kami. Dilihat dari cara ia bertutur dan cara ia menunjukkan sikap dan
pandangannya, ia pastilah tipe beruang kuno.
DAN begitulah aku dan si beruang berjalan kaki menuju sungai. Aku tak tahu banyak tentang dunia binatang sehingga aku tak bisa memastikan apakah ia beruang hitam dari kawasan Asia ataukah beruang cokelat ataukah beruang madu dari Melayu. Tadinya aku berniat menanyainya tentang hal ini, tetapi aku takut itu bukan tindakan yang sopan, dan ia mungkin akan tersinggung. Aku juga tak tahu namanya. Ketika kutanyakan padanya aku harus memanggilnya apa ia berpikir sejenak lantas, setelah memastikan di sekitar kami tak ada beruang lain, ia berkata: “Untuk saat ini aku tak punya nama, dan karena tidak ada beruang lain di sekitar sini maka aku tak merasa perlu memiliki nama. Kau bisa menggunakan “kau” ketika bicara padaku, tapi tolong bayangkan kata itu ditulis dalam huruf China. Sejujurnya, kau bisa memanggilku dengan sebutan apa pun. Aku tak akan keberatan.”
Ya, ia tipe beruang kuno. Dan sejujurnya ia sedikit cerewet.
Jalan menuju sungai melewati sebuah lahan yang dulunya adalah area
pesawahan. Hampir semua padi dipotong selama proses dekontaminasi, dan kini
yang tersisa di tanah adalah onggokan yang berkilauan. Meski hari begitu panas,
para pekerja kami lihat mengenakan pakaian pelindung dan juga masker, dengan
sepatu boot yang tersambung dengan celana hingga ke pinggang. Selama beberapa
tahun setelah “kecelakaan” itu, kunjungan ke kawasan ini dilarang, dan
lubang-lubang di jalan dibiarkan begitu saja. Tetapi kemudian belakangan ini
jalan sudah diaspal. Meskipun Tanah Nol tidak jauh dari sini, beberapa mobil
terlihat melewati kami. Laju mereka melambat ketika mendekati kami dan membuat
gerakan melingkar sebelum akhirnya melewati kami. Tak satu pun dari orang-orang
yang melewati kami itu berjalan kaki.
“Mungkin mereka menjaga jarak dari kita sebab kita tak mengenakan pakaian
pelindung,” cetusku. Si beruang merespons dengan semacam dengkuran yang
menandakan ia tidak sependapat. “Aku menempuh perawatan khusus selama setengah
tahun ini untuk mencegah tubuhku terkena radiasi terlalu banyak, jadi total
akumulasi radiasiku menandakan aku masih bisa berpakaian terbuka seperti ini.
Dan SPEEDI (the System for Prediction of Environmental Dose Information)
mengatakan tak akan ada banyak angin di kawasan ini.”
Si beruang merespons penjelasanku itu dengan mengangkat bahu. Satu-satunya
suara yang terdengar darinya adalah bunyi ritmis benturan kuku-kukunya pada
jalan beraspal.
Aku tanyakan padanya apakah ia kepanasan.
“Tidak. Aku baik-baik saja. Berjalan di atas aspal memang cukup melelahkan,
tapi aku baik-baik saja. Sungai tujuan kita tak begitu jauh. Terima kasih sudah
mencemaskanku. Kau baik sekali… Tentu saja kalau kau kepanasan kita bisa pindah
ke bahu jalan. Tubuhku jauh lebih besar dari tubuhmu yang berarti dosis
maksimal yang dibolehkan untukku juga jauh lebih tinggi, yang artinya tak apa-apa
bagiku bepergian tanpa mengenakan sepatu yang mana level radiasinya sangatlah
tinggi. Akan lebih sejuk bagimu ketimbang berjalan di atas aspal. Kita pindah
ke sana?”
Dari nada bicaranya, ia terdengar cemas. Aku mengenakan topi yang besar dan
karenanya aku bisa mengatasi panas yang terik ini, jadi kukatakan “Tak usah”.
Tapi setelah aku memikirkannya, bisa jadi sesungguhnya ialah yang ingin
beranjak dari jalan beraspal ini. Kami selanjutnya melangkah tanpa mengucapkan
apa pun lagi.
Dari jauh kami dengar suara air mengalir. Semakin kami berjalan, suara itu
semakin jelas dan semakin jelas. Hingga akhirnya, kami sampai juga di sungai
itu. Tadinya kupikir tak akan ada siapa pun di sana tetapi rupanya aku melihat
dua orang lelaki berdiri di tepi sungai. Sebelum “kecelakaan” itu, sungai ini
begitu ramai didatangi orang-orang, entah untuk memancing atau berenang, dan
mereka biasanya membawa anggota keluarga mereka, anak-anak mereka. Sekarang,
tak ada lagi anak yang tersisa di kawasan ini.
Kuturunkan tasku dan mulai kubersihkan wajahku dengan handuk. Lidah si
beruang menjulur, dan ia sedikit terengah-engah. Sementara kami berdiri di
sana, dua laki-laki itu mendekat. Yang satu mengenakan sarung tangan panjang
hingga ke siku, sementara yang satu lagi mengenakan kacamata hitam.
“Itu beruang, kan?” kata si Kacamata Hitam.
“Aku iri pada beruang,”ujar si Sarung Tangan Panjang.
“Beruang-beruang tahan terhadap Strontium. Plutonium juga.”
“Memangnya apa yang kauharapkan? Mereka itu beruang.”
“Ah, benar juga. Karena mereka itu beruang.”
“Ya, karena mereka itu beruang.”
Mereka terus membahas hal ini beberapa lama. Si Kacamata Hitam menoleh
sebentar menatapku, tapi ia menghindari menatap si beruang secara langsung. Si
Sarung Tangan Panjang menyentuhkan tangannya pada perut si beruang, kemudian
mencabuti bulunya. Akhirnya mereka berkata, “Karena mereka itu beruang,” lantas
berbalik, dan pergi.
“Ya Tuhan,” ujar si beruang setelah mereka pergi. “Tapi mungkin maksud
mereka baik.”
Aku tak mengatakan apa pun.
“Kau tahu, dosis maksimal yang diperbolehkan untukku mungkin memang lebih
tinggi daripada yang diperbolehkan untuk manusia, tapi itu tidak berarti aku
tahan terhadap Strontium dan Plutonium. Oh, baiklah. Bagaimana mungkin juga aku
berharap mereka mengerti?”
Sebelum aku sempat mengatakan sesuatu untuk merespons, si beruang sudah
bergerak ke tepi sungai.
Ikan-ikan kecil muncul dan lenyap di permukaan sungai. Air sungai yang
dingin terasa sejuk di wajahku. Setelah kuamati baik-baik, aku bisa melihat
bahwa masing-masing ikan berenang di bagian sungai yang itu-itu saja. Pertama
ke hulu, kemudian ke hilir, seolah-olah terikat pada sebuah ruang persegi empat
yang panjang. Dan ikatan itu menjadi titik lemah mereka. Si beruang pun
mengamati sungai. Tetapi, apakah sama apa yang ia lihat dengan apa yang
kulihat? Bisa jadi dunia di balik air tampak berbeda di mata seekor beruang.
Tiba-tiba, sebuah percikan yang besar tercipta saat si beruang meloncat ke
sungai. Setelah bergerak-gerak sebentar ia berhenti, mengangkat tangannya (atau
kakinya?), dan tampaklah seekor ikan. Ukurannya sekitar tiga kali lipat
ikan-ikan kecil yang sebelumnya kami lihat itu.
“Kau pasti terkejut,” ujar si beruang setelah ia kembali. “Kaki-kakiku
bergerak begitu saja. Cukup besar, kan?”
Si beruang menunjukkan ikan tangkapannya itu padaku. Sirip-siripnya
berkilauan terkena sinar matahari. Dua laki-laki tadi menunjuk ke arah kami dan
mengatakan sesuatu satu sama lain. Si beruang tampak berseri-seri dan bahagia.
“Ikan-ikan ini memakan lumut yang tumbuh di dasar sungai,” ujar si beruang.
“Sayangnya, banyak Cesium ditemukan juga di sana.”
Si beruang membuka tasnya, mengeluarkan bundelan baju dan mengambil sebuah
pisau kecil dan sebuah talenan. Dengan cekatan ia memotong ikan itu dan
mengeluarkan isi perutnya, dan mencucinya dengan air dari botol plastik yang ia
bawa untuk perjalanan kami ini. Selanjutnya ia menaburkan di atas ikan itu
sejumlah garam dan menaruh ikan tersebut di atas daun yang lebar.
“Kalau kita sesekali membolak-baliknya, ikan ini akan siap disantap
setibanya kita di apartemen,” ujar si beruang. “Tapi kalaupun kau tidak akan
memakannya, setidaknya ini bisa jadi semacam pengingat bagimu akan perjalanan
kita ini.”
Beruang ini benar-benar memikirkan segalanya, pikirku, terkagum-kagum.
Kami membentangkan pakaian di bangku dan duduk di sana mengamati sungai dan
menyantap makan siang yang telah kami siapkan. Si beruang memulai dengan roti
Prancis yang ke dalamnya ia masukkan pasta daging ala Prancis dan juga lobak,
sementara aku dengan onigiri dengan plum di dalamnya. Untuk
makanan penutup, masing-masing kami punya sebutir jeruk. Itu sebuah makan siang
yang benar-benar kami nikmati.
“Boleh kuminta kulit jeruk punyamu?” tanya si beruang setelah kami selesai
makan. Kuberikan kulit jeruk itu padanya. Ia berbalik memunggungiku dan
memakannya.
Si beruang membalikkan ikan tadi. Kemudian, dengan hati-hati, ia mencuci
pisau, talenan, dan cangkir-cangkir dengan air dari botol plastik itu. Setelah
mengeringkannya, ia mengeluarkan sebuah handuk besar dari tasnya dan
menawarkannya padaku.
“Pakailah ini saat kau tidur. Memang baru sekitar dua jam sejak kita di
sini dan tingkat radioaktivitas masih rendah, tapi tetap saja… Aku mau
berjalan-jalan sebentar. Kau mau aku menyanyikan untukmu sebuah lagu pengantar
tidur?” tanyanya.
Kukatakan padanya bahwa aku bisa cepat tertidur tanpa perlu mendengarkan
lagu pengantar tidur. Ia terlihat kecewa, teapi sejenak kemudian ia bangkit dan
berjalan pergi.
Ketika aku terbangun, bayangan pepohonan telah memanjang, dan si beruang
sedang tidur di bangku di sampingku. Tak ada handuk menutupi tubuhnya, dan ia
mendengkur halus. Terlepas dari kehadiran kami berdua, tempat ini tampak
ditinggalkan. Dua laki-laki tadi tak terlihat lagi. Kutaruh handuk itu di tubuh
si beruang dan kubalikkan ikan yang sudah digarami tadi. Ikan yang semula satu
itu telah ada tiga.
“PERJALANAN yang menyenangkan!” ujar si beruang, ketika kami tiba di depan pintu kamarnya. Ia mengeluarkan alat pendeteksi dari tasnya dan mengarahkannya ke tubuhku lantas ke tubuhnya. Aku mendengar bunyi beep yang kukenal. “Kuharap lain kali kita melakukannya lagi.”
Aku mengangguk. Saat aku mencoba berterimakasih padanya atas ikan yang
digarami itu dan segala hal lainnya, ia menolaknya dengan melambaikan
tangannya.
“Itu bukan apa-apa kok,” ujarnya.
“Baiklah…” kataku, lalu berbalik meninggalkannya.
“Eh,” ujarnya tiba-tiba.
Aku menunggu ia mengatakan sesuatu, tapi ia hanya berdiri di sana dan
tampak gelisah. Ia sungguh seekor beruang yang besar. Bunyi berdeguk terdengar
dari kerongkongannya. Ketika ia bicara, suaranya benar-benar seperti suara
manusia. Tapi ketika ia berdehem ragu-ragu seperti ini, atau ketika ia tertawa,
ia terdengar seperti beruang betulan.
“Bisakah kita berpelukan?” ujarnya akhirnya. “Di tempatku berasal, itulah
yang kami lakukan saat mengucapkan selamat tinggal kepada seseorang yang dekat
dengan kami. Kalau kau keberatan, tentu saja, kita tak perlu melakukannya.”
Aku mengangguk memberikan persetujuan. Fakta bahwa beruang tidak mandi
menandakan ada lebih banyak radiasi lagi yang akan kuterima, dari tubuhnya.
Tapi sedari awal aku sudah memutuskan untuk tetap bertahan di kota ini. Jadi,
untuk apa juga aku begitu memikirkannya.
Si beruang melangkah ke depan, merenggangkan tangannya, dan merengkuh
pundakku. Ia lalu menekankan dadanya ke dadaku. Bisa kucium bau seekor beruang.
Ia tempelkan pipinya ke pipiku dan dipeluknya aku lagi. Suhu tubuhnya ternyata
lebih rendah dari yang kuperkirakan.
“Aku benar-benar senang hari ini. Rasanya aku seperti telah kembali dari
melakukan perjalanan ke suatu tempat yang jauh. Semoga Tuhan Para Beruang
melimpahkan rahmat-Nya kepadamu. Oh ya, soal ikan yang digarami itu, ia tak
akan tahan lama. Jadi jika kau tak akan memakannya, pastikan kau membuangnya
besok.”
Setelah memasuki kamar, kuletakkan bungkusan ikan yang telah digarami itu
itu di atas rak sepatu di dekat pintu, dan aku meluncur ke kamar mandi. Dengan
hati-hati aku menyabuni dan membasuh rambut dan tubuhku. Selepas itu, aku duduk
di kursi kerjaku dan menulis sesuatu di buku harian. Seperti yang kulakukan
setiap malamnya, aku mencatat peritunganku akan radiasi yang kuterima selama
seharian itu: tiga puluh mikro-sievert di permukaan tubuh, dan sembilan belas
mikro-sievert di dalam tubuh. Jika semuanya dijumlahkan, sudah 2900
mikro-sievert untuk radiasi di permukaan tubuh, dan 1780 mikro-sievert untuk
radiasi di dalam tubuh. Aku mencoba membayangkan seperti apa tuhannya para
beruang, tapi agaknya itu di luar yang bisa kupikirkan. Tapi sungguh, aku telah
menjalani sebuah hari yang sangat baik.(*)
Cerpen ini, yang terbit di tahun 2011, adalah versi kedua—atau versi revisi—dari si penulis, Hiromi Kawakami, atas cerpennya yang terbit di tahun 1994, sebagai semacam respons atas bocornya PLTN Fukushima setelah Jepang dihantam gempa hebat dan tsunami di tahun 2011; diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ardy Kresna Crenatadari terjemahan bahasa Inggris oleh Ted Goossen dan Motoyuki Shibata.
sponsored by
0 comments:
Post a Comment