Malingo melangkah ke
tengah hujan yang hangat. Finnega sedang berdiri beberapa meter dari rumah,
wajahnya tengadah menentang hujan lebat. Sejenak dia menoleh pada malingo,
kemudian meneruskan mandi hujan.
“kau
tahu legenda tentang jam ini?” tanyanya.
“tidak,
rasanya tidak,” sahut malingo.
“konon
di suatu tempat di Nonce (meski aku belum pernah melihat mereka) ada sebuah
suku makhluk bersayap, namanya fathathai. Mereka bangsa yang lembut dan pemalu:
hampir-hampir seperti malaikat. Jumlah mereka di pulau ini sedikit sekali,
sebab” –dia menunduk memandangi kakinya—“sebab mereka tidak mudah cinta, jadi
jarang sekali makhluk fathathai melangsungkan pernikahan. Tapi, menurut
legenda, ada salah satu makhluk ini, namanya numa child, yang mengalami jatuh
cinta.”
“beruntung
sekali dia.”
“yah,
ya dan tidak. begini, dia jatuh cinta pada seorang wanita yang dijumpainya di
Nonce ini, namanya elathuria. Di matanya, wanita itu adalah yang tercantik yang
pernah dilihatnya. Hanya saja ada satu masalah.”
“apa
itu?”
“wanita
itu bukan darah dan daging seperti dia.”
“lalu
dia itu apa?”
“seperti
kau ketahui, pulau ini dihuni beberapa makhluk hidup yang sangat aneh. Dan elathuria
adalah salah satu keanehan itu.” finnegan diam sejenak, kemudian menatap
malingo dan berkata, “dia tanaman.”
Malingo
ingin tertawa, tapi berhasil menahan diri karena melihat mimik sangat serius di
wajah lelah si pembunuh naga. Dan meski ia berhasil menahan tawa, tetap saja
finnegan berkata, “kau pikir aku bercanda.”
“tidak...”
“aku
Cuma belajar dua hal dalam hidupku. Satu, cinta adalah awal dan akhir dari
segala makna. Dan dua, perwujudan apapun yang diambil jiwa kita dalam perjalanan
ini, intinya tetap sama. Cinta adalah cinta. Adalah cinta.”
“malingo
mengangguk. “aku tidak punya... pengalaman pribadi tentang ini,” katanya pada
finnegan. “tapi... aku sudah membaca banyak buku. Dan semua buku yang bagus itu
menyatakan hal yang sama denganmu.” Finnegan mengangguk, dan untuk pertama kali
sejak mereka bertemu, malingo melihat seulas senyum samar di wajah laki-laki
itu. “tolong lanjutkan kisahnya,” kata si geshrat.
“nah,
waktu numa child pertama kali bertemu elathuria, dia sedang mekar sempurna. Dia
tak bercacat cela. Tak ada kata lain untuk menggambarkannya.”
“luar
biasa.”
“situasinya
semakin aneh, percayalah. Sudahkah kuceritakan bahwa numa child jatuh cinta
dalam sekali debar jantung? Maksudku, secara harfiah, memang secepat itu. dia
melihat elathuria, dan terjadilah. Nasibnya telah ditentukan.”
“cinta
pada pandangan pertama.”
“tepat sekali.”
“kau percaya itu bisa
terjadi?”
“oh tentu. Aku sendiri
mengalaminya. Begitu melihat putri boa, aku tahu aku takkan pernah bisa
mencintai orang lain. tak ada, hingga akhir jam-jam.” Finnegan menegadah
memandang hujan yang mulai reda. Dia menjilat beberapa tetes air hujan dari
bibirnya, kemudian meneruskan ceritanya.
“maka pada saat itu juga
numa child berkata pada elathuria. ‘lady’
katanya. ‘aku takkan pernah mencintai
siapapun seperti aku mencintaimu.’ Dan dia sangat heran ketika elathuria
meminta dia mengecupnya.
“’cepatlah,’ kata elathuria. ‘sebab
matahari begitu panas dan jam ini akan berlalu.’
“numa tidak memikirkan
maksud perkataan itu. dia sudah cukup senang diminta mencium kekasihnya. Dan sementara
mereka berciuman dan bercakap-cakap dan berciuman lagi, jam di Nonce berdetak
berlalu...”
“akhir kisahnya tidak
bahagia ya?” kata malingo.
Finnegan tidak
menjawab. Dia melanjutkan ceritanya. “ketika numa menciumnya lagi, bibirnya
terasa agak pahit.”
“’apa yang terjadi’ tanya numa padanya.
“dia memberitahukan, ‘waktunya telah berlalu, kasihku.’
“dan dengan terperanjat
numa melihat bahwa bunga-bunganya yang tadi begitu cerah dan cantik ketika dia
pertama melihatnya, kini mulai memudar, daun-daunnya yang hijau mulai berubah
kuning dan coklat.”
Ketika menceritakan
bagian ini, mata finnegan menjadi lembut dan penuh kesedihan.
“akhirnya elathuria
berkata padanya,’jangan tinggalkan aku,
sayang. Berjanjilah kau takkan pernah meninggalkanku. Temukan aku lagi, kemanapun
aku pergi. Temukan aku.’
“tentu saja numa tidak
mengerti maksud ucapan itu. ‘apa
maksudmu?’ tanyanya.
“tapi dengan segera
maksudnya menjadi jelas. Elathuria akan meninggalkannya. Angin bertiup semakin kencang,
mengguncang-guncangnya, seperti mengguncang-guncang pohon, sehingga bunga-bunga
hingga daun-daunnya berguguran, dan keindahannya tersapu pergi. Itulah yang
terjadi pada elathuria. Dia mulai kehilangan eksistensinya di depan mata numa. Menyedihkan.”
Malingo mendengar nada tercekat
dalam suara finnegan, dan ketika dia memerhatikan, tampak air mata mengalir di
kedua pipi finnegan.
“elathuria masih cukup
kuat untuk berbicara pada numa. ‘carilah
dimanapun angin bertiup,’ katanya, suaranya makin lama makin sayup. ‘aku akan tumbuh kembali dari biji yang
terbawa angin dari tempat ini.’
“numa tentu saja
bahagia mendengarnya, tapi pikirannya dipenuhi tanda tanya dan keraguan.
“’apakah yang akan tumbuh lagi itu benar-benar dirimu?’ tanyanya.
“’ya’ sahut elathuria. ‘yang
akan tumbuh lagi itu benar-benar diriku, dalam setiap detailnya. Kecuali satu.’
“’apa itu?’ tanya numa.
“’aku takkan ingat padamu,’ sahutnya.
“Sementara dia berkata
demikian, angin kencang berembus dan mengguncangnya dengan keras, sehingga dia
terkoyak-koyak sepenuhnya...”
“oh,” kata malingo. “Apakah
dia lenyap?”
“hmmm.... ya dan tidak.
angin telah menyebarkan biji-bijinya hingga jarak yang cukup jauh, tapi numa
bertekad menemukan jejaknya—jejak apapun—maka dia mencari seperti orang kalap,
tak mau beristirahat sampai pecariannya membuahkan hasil.
“akhirnya, setelah lama
mencari-cari, dia menemukannya, tumbuh di tempat baru. Dia belum tumbuh
sempurna, tapi numa mengenalinya, dan jatuh cinta lagi padanya, persis seperti
waktu pertama kali.”
“Dan dia dengan numa?”
“ya, tentu saja.”
“meskipun dia tidak mengingat
numa?”
“ya. Bagaimanapun,
jiwanya tetap sama. Begitu pula numa...”
Kini malingo mulai
memahami maksud cerita tersebut. bukan suatu kebetulan bahwa finneganlah yang
menceritakan kisah itu padanya, bagaimanapun, finnegan berada di pulau ini karena
ia telah kehilangan jantung hatinya. Bisa dimengerti kalau legenda ini sangat
mengena bagi imajinasinya.
“jadi, sejarah berulang
kembali?” kata malingo.
“benar sekali. Bukan hanya
satu kali, tapi berulang-ulang. Meski numa bersumpah setia selamanya pada
elathuria, jam itu akan tetap berlalu, angin akan selalu datang dan diapun
dibawa terbang ke tempat lain. kadang-kadang numa berhasil menemukannya dengan
cepat, kadang-kadang tidak.”
“dan kau benar-benar
percaya mereka masih ada di luar sana, saling mencintai, lalu terpisah lagi,
dan saling menemukan lagi, namun kemudian berpisah lagi?”
“ya, aku percaya,”
sahut finnegan.
“betapa menyedihkannya
hidup seperti itu.”
Finnegan menimbang-nimbang
ucapan itu sejenak. “cinta mempunyai tuntutan-tuntutannya sendiri, dan kita
mendengarkan. Kau tidak bisa tawar menawar dengannya. Kau tak bisa melawannya. Tidak
bisa, kalau cintamu cinta sejati.”
“apakah yang kau
bicarakan ini masih tentang numa child dan elathuria?” tanya malingo.
Finnnegan menatapnya. “
aku bicara tentang semua kekasih,” katanya.
sponsored by
gilaa.....>.< keren banget ini cerita, pengen punya bukunya, eh kunjungi jg dong blogku ^_^, tentang buku juga postingannya...
ReplyDeleteberesss......... :) :)
Deletelangsung meluncur...>>>>>
Delete