Ahok, Prostitusi, dan Mimpi yang Setengah Progresif

by 9:05 PM 0 comments
Ahok, Prostitusi, dan Mimpi yang Setengah Progresif



Setelah rusuh dengan Fahira Idris dalam perkara
pengaturan miras, baru-baru ini Ahok
menantang lebih banyak orang dengan
mengeluarkan pernyataan tentang legalisasi
prostitusi. Ini seakan menjadi sekuel dari perang
abadi antara orang progresif dan orang moralis.

Ahok yang logis mengerti bahwa lokalisasi
prostitusi (dalam bentuk apartemen) akan
mendatangkan keuntungan lebih besar, baik
dalam bentuk pemasukan ke dalam kas Pemda,
pun kemudahan untuk mengakses dan mengelola
para PSK. Akan tetapi, kita pun patut mencatat
bahwa andai prostitusi tidak menjadi kendaraan
HIV, Ahok pasti tidak akan mau berpusing-pusing
mengurusi pasar seks, merecoki kaum kimcil
onlen dan variannya. Di pihak lain, para moralis,
yang cara berpikirnya niscaya berkutat pada soal
label, yang tekstual, das sollen , sekalipun jauh
dari aktualitas dan sudut pandang yang solutif,
tidak akan pernah mau mempercayai keberadaan
niat baik dalam diri seorang kafir seperti
Ahok.
Apesnya Ahok, di negeri demokrasi seperti
Indonesia, tidaklah krusial siapa yang benar dan
siapa yang salah, sebab yang banyak dalam
jumlah dan mampu menekanlah yang akan
menang atau dimenangkan. Akhir dari wacana
Ahok ini bisa ditebak: terganjal di meja dewan,
atau porak-poranda oleh geng bersurban.
***
Mari sedikit mundur untuk menyigi sejarah
prostitusi dan untuk lebih memahami cara
berpikir Ahok. Praktik jual beli seks sudah
muncul sejak zaman Babilonia. Dalam kiprahnya
yang kerap diasosiasikan dengan perempuan,
prostitusi pernah dipandang sebagai ancaman
oleh orang Amerika; pernah dipandang sebagai
potensi oleh orang-orang Jepang; dan sampai saat
ini masih menjadi penenang mental para atlet
entah di olimpiade, sea games, atau piala dunia.
Untuk para atlet lelaki, signifikansi keberadaan
PSK justru lebih penting ketimbang tepuk tangan
dari para penonton layar kaca.
Berdasar pada fakta itulah, para fatalis di era
postmodern berfatwa bahwa prostitusi tidak akan
pernah bisa dihapuskan. Ia merupakan efek dari
kebutuhan dasar mamalia, terutama yang
berkelamin jantan, yang kerap uring-uringan,
ngamukan, lupa arah, andai kebutuhan seksnya
tidak terpenuhi dengan baik, yang tidak
semuanya mau atau mampu meniduri pacarnya,
apalagi menikah, hanya untuk melepaskan
libidonya selama lima belas menit. Maka, yang
mampu kita lakukan terhadap prostitusi
hanyalah mengelolanya.
Kemudian, mari maju ke masa depan. Anggaplah
wacana ini jadi diresmikan. Dua persoalan lain
yang akan dihadapi Ahok ialah: pertama,
kepatuhan orang-orang yang punya andil di
dalamnya. Ambil contoh soal miras.
Permendag Nomor 6 Tahun 2015 tidak perlu ada
andai peraturan sebelumnya, yakni Permendag
Nomor 20 Tahun 2014, terlaksana dengan baik.
Dalam hal ini, Ahok pernah nyeletuk tentang
sertifikasi pelacur, plang larangan masuk untuk
muslim (di depan apartemen prostitusi), dan
pengiriman dai, pendeta, atau pastor, dalam
jangka waktu tertentu, untuk berusaha memberi
cara pandang dan atau jalan hidup yang lebih
baik pada pelacur tersebut.
Bisakah semua itu terlaksana?
Ini selalu menjadi pertanyaan besar, bukan saja
untuk Ahok, melainkan untuk seluruh manusia
waras di DKI, di Indonesia. Kita sudah punya
Pancasila selama enam puluh tahun lebih,
memujinya jutaan kali, tapi toh tidak pernah
terlaksana dengan kaffah. Di bagian ini, mari
mengheningkan cipta sejenak. Jangan-jangan kita
ini bangsa yang rajin menelurkan gagasan yang
brilian, tapi miskin implementasi, lemah
konsistensi.
Kemudian, kedua, perkara masyarakat
kita yang tertutup dan kaum moralis tingkat
lanjut. Andai apartemen itu telah berdiri,
gunjingan-gunjingan mereka tentu tidak akan
lagi setabah Hujan Bulan Juni -nya Sapardi.
Orang-orang yang mampu berjuang mendirikan
agama dengan tangannya, semisal geng
bersurban itu, akan ikut turun gelanggang.
Mereka memang bisa diselesaikan dengan
sejumlah setoran. Tetapi suasana, gosip yang hilir
mudik, hujatan demi hujatan, akan membuat
calon konsumen tidak nyaman. Siapa lelaki yang
kemudian mau memarkir mobilnya, motornya,
atau berjalan masuk ke dalam apartemen yang
selalu diintip banyak orang yang merasa suci?
Kita ini bangsa yang lebih terbiasa main
judi di kandang ayam, minum miras di warung
jamu, dan ngeseks di semak-semak. Kita lebih
terbiasa menonton geng bersurban yang merazia
warung makan ketimbang menyaksikan orang
berciuman di pinggir jalan. Lebih memilih untuk
menyensor belahan dada ketimbang senyuman
para koruptor yang keluar dari pintu pengadilan.
Ini permasalahan kita bersama. Sebab di negeri
kita yang demokratis, tidak penting mana yang
benar, mana yang salah; pada akhirnya, nilai
yang paling banyak dipercayalah yang menang,
atau dimenangkan.
***
Saya ingin memberi sedikit bocoran: di
Swedia, mulai tahun 1999, pengaturan prostitusi
dilakukan dengan dua poin kebijakan. Satu,
mengkriminalisasi lelaki yang membeli seks. Dua,
menolong perempuan yang menjual diri agar
mampu mencari penghidupan yang lebih layak.
Kebijakan ini berdasar pada prinsip bahwa jual
beli seks adalah bentuk perlakuan kasar lelaki
terhadap perempuan dan anak-anak, dan
kesetaraan gender tidak akan pernah tercapai jika
jual beli seks tetap dilakukandengan
kecenderungan lelaki lebih banyak sebagai
pembeli.
Hasilnya? Kebijakan itu mampu mengurangi dua
per tiga pekerja seks di Stockholm, berhasil
menghapuskan prostitusi di kota-kota lain, dan
berhasil menurunkan aktivitas human trafficking .
Hasil kajian University of Londonatas
permintaan pemerintah Skotlandia yang tertarik
pada kebijakan Swedia dan ingin
membandingkannya dengan negara yang
melegalkan prostitusimenghasilkan kesimpulan
unik tentang efek pengaturan dan legalisasi
prostitusi di Australia, Belanda, dan Irlandia.
Pertama , terjadi peningkatan yang signifikan
dalam industri seks. Kedua, terjadi peningkatan
yang signifikan dalam pengorganisasian
kejahatan di dalam industri seks. Ketiga , terjadi
peningkatan signifikan dalam prostitusi anak-
anak. Dan, keempat , terjadi peningkatan jumlah
perempuan dan anak-anak yang dikirim ke dalam
wilayah prostitusi, dan terindikasi adanya
peningkatan kekerasan terhadap perempuan.
Satu langkah di depan Skotlandia, saat ini
Finlandia dan Norwegia sedang menjiplak
kebijakan Swedia. Mereka mengamini bahwa
pandangan tentang prostitusi terlalu banyak
diambil dari sudut pandang para lelaki, dan
persepsi mustahil untuk menghapuskan
prostitusi adalah peningggalan budaya patriarki.
Di titik ini saya merasa dikadali oleh tulisan saya
yang ada di bagian depan. Ternyata saya masih
tidak cukup progresif. Saya masih selevel sama
Ahok yang melihat kebijakan pengaturan
prostitusi dari Jerman dan Filipina.
Barangkali, jika boleh saya berbaik
sangka, perang antara Ahok dan kaum moralis
itu bisa ditengahi oleh orang Swedia. Titik
temunya: persoalan prostitusi bukan soal
ancaman atau peluang; bukan semata soal halal
haram atau bisnis; ini perkara yang begitu
mendasar, yakni adanya ketidakadilan dalam
memperlakukan perempuan. Tapi entah. Kalau
bicara politik, orang logis seperti Ahok pun
kadang lebih keras kepala dari moralis yang
paling lebam jidatnya.

Reza Nufa













sponsored by
  

 

Pak Lurah

Developer

apa saja selain hidup

0 comments:

Post a Comment