Kisah Sang Penulis [10]
Penulis: Barokah Ruziati
Keesokan harinya, Dea menemukan alat perekam Alena tergeletak di meja
teras, menindih selembar kertas bertuliskan: Aku lelah sekali, Dea. Semalam aku
tidak tidur lagi. Kamu punya laptop, kan? Tolong kerjakan di tempat kosmu saja,
ya. Peluk cium, Alena.
Peluk cium? Sejak kapan Alena jadi mesra begini? Tapi, Dea sudah belajar
untuk tidak heran lagi dengan kelakuannya yang aneh-aneh. Maka, dia hanya mengangkat
bahu dan pergi meninggalkan rumah Alena.
Terima kasih, Alam. Kini aku tahu Lingga memang tak bisa kembali. Akulah
yang harus menjemputnya. Dia pasti telah menungguku di istana kami. Sudah tidak
ada orang lain lagi di sana. Hanya kami berdua yang tak akan pernah
dewasa.
Deg! Entah mengapa kalimat terakhir itu membuat jantung Dea berdebar. Tapi,
dibuangnya jauh-jauh pikiran buruknya dan dia kembali memusatkan perhatian pada
kata-kata Alena yang masih mengalir di telinganya.
“Dea, hidup sudah berkali-kali mencurangi aku. Sekarang aku punya
kesempatan untuk membalasnya. Aku tidak ingin dicurangi lagi. Sebelum hidup
memaksaku pergi dengan kesakitan, aku akan pergi lebih dulu. Dengan damai,
tenang, tanpa sakit, dan indah seperti saat aku dilahirkan. Jangan kaget
begitu, Dea. Percayalah, aku akan lebih bahagia. Karena, dia sudah menungguku,
dan aku akan menyesal jika tidak segera mendatanginya.”
Alena tertawa kecil, lalu melanjutkan, “Untunglah, wanita itu sekali lagi
melakukan perbuatan bodoh dengan memamerkan lukisan-lukisan paling pribadi
milik Lintang. Baru kali ini aku mengagumi dan mensyukuri kebodohannya. Aku
jadi tahu Lintang tak pernah melupakan aku. Seumur hidupnya. Oh, aku masih tak
percaya, betapa mudah hidup bisa diperdaya.”
Alena terdiam sebentar, kemudian berkata, “Aku harap kau tidak menangisi
aku, Sayang. Aku bersyukur bisa mengenalmu di saat-saat terakhirku. Kau teman
terbaik yang telah lama tak kumiliki.”
Dan begitu saja, kata-kata Alena terhenti. Dea memutar kaset hingga habis,
tapi tidak ada pesan apa-apa lagi. Dia terdiam, dan perlahan-lahan semua mulai
jelas baginya. Lingga dan Ana, Lintang dan Alena. Lukisan itu. Gadis berpakaian
putih. Putri Ana.
Saat kesadaran menghantamnya dengan kuat, Dea hanya bisa menutup wajah dengan
kedua tangan, lalu terisak. Dengan tangan gemetar dia menekan nomor ponsel
Rani. Dengan tegar dia berkata, “Rani, bisakah kau ke rumah Alena sekarang?
Penting sekali, aku rasa kau harus ke sana sekarang juga.”
Lalu, dia menutup telepon.
Dea duduk berhadapan dengan Rani di ruang kerjanya yang sempit dan
berantakan. Dalam beberapa hari terakhir, kedua wanita yang baru kehilangan
sahabat itu disibukkan oleh urusan pemakaman, pemberitahuan kepada pers dan
semua pihak yang terkait, pengumuman resmi kepada penggemar, dan adalah
penyusunan laporan oleh polisi tentang dugaan bunuh diri. Mereka harus
berkali-kali memberikan keterangan kepada pihak berwajib.
Kini setelah semua berlalu, mereka punya waktu untuk duduk berdua dan
bicara dari hati ke hati. Alena mewariskan rumah beserta seluruh isinya kepada
Dea, dan Rani sama sekali tidak mau mendengar penolakan Dea. Dia meyakinkan Dea
bahwa Alena pasti akan terluka, jika Dea menolak.
Mereka juga membicarakan kemungkinan diterbitkannya cerita Dea, yang dengan
diam-diam ditunjukkan Alena kepada Rani. Dan untuk itu, Dea sangat berterima
kasih kepada Alena.
Hampir tiga jam lamanya mereka mengobrol, sebelum akhirnya Dea
berpamitan.
“Tunggu dulu. Dea,” kata Rani menghentikan langkah Dea. “Aku sangat tertarik
pada ceritamu. Tapi, sebelum itu, bisakah aku meminta sesuatu kepadamu? Dari
tadi aku merasa ragu untuk membicarakan ini, tapi aku benar-benar harus menanyakannya.”
“Tentu saja, silakan,” sahut Dea sedikit terkejut, seraya duduk kembali di
kursinya.
“Kau orang terdekat yang mendampingi Alena di saat-saat terakhirnya.
Banyak sekali orang yang ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa
tiba-tiba Alena memutuskan untuk... kau tahu... minum obat tidur dan berbaring
tenang di ranjangnya dengan setangkai mawar di tangan. Harus diakui, itu memang
agak... ya, agak sensasional dan... banyak yang menanyakannya, termasuk
atasanku. Jadi...,” Rani terlihat sulit mengutarakan maksudnya, “Maukah kau
menuliskan kesaksianmu? Semua yang kau tahu? Kami yakin tulisanmu akan laris
dan... langsung melambungkan namamu. Setelah itu, pasti tak akan sulit
mempromosikan novel pertamamu karena kau sudah dikenal. Bagaimana?” tanya Rani,
menatap Dea lekat.
Dea terdiam sejenak. Laris, novel pertama, terkenal. Kata-kata itu
berputar-putar di kepala Dea. Hanya sejenak, sebelum dia menjawab dengan tegas,
“Maaf Rani, aku terpaksa menolaknya. Itu sama saja aku mengkhianati Alena. Dan
ketenaran sedahsyat apa pun akan terlalu murah untuk membayarnya.”
Rani tidak bertanya lagi.
Dalam perjalanan pulang, Dea bertanya-tanya apakah Rani serius dengan
permintaannya tadi. Dia bersahabat baik dengan Alena, dan dia sudah membaca
tulisan terakhir Alena. Seharusnya dia juga bisa menarik kesimpulan yang sama
dengan Dea. Masa dia tega menjadikan sahabatnya sendiri sebagai komoditas?
Kemudian terlintas di benak Dea bahwa mungkin Rani hanya mengujinya. Dia
ingin tahu serendah apa moral calon penulis yang akan ditanganinya ini. Pikiran
itu mau tidak mau membuat Dea tertawa. Rani dan Alena memang sama saja, senang
menguji orang-orang yang lugu seperti aku, katanya dalam hati. Tidak
dipedulikannya tatapan orang-orang di dalam bus yang memandangnya dengan
aneh.
Mungkin, hidup tidak benar-benar curang pada mereka. Mungkin hidup punya
cara ajaib untuk menunjukkan jalan. Dan, di siang yang panas itu, di dalam bus
yang sesak, di tengah suara cempreng pengamen, Dea berjanji pada dirinya dengan
sepenuh hati.
“Aku akan sekolah lagi. Akan kulakukan apa pun untuk menambah ilmu. Setelah
itu aku akan menulis dan terus menulis hingga usiaku menembus hitungan jari,
sampai aku tak kuat lagi berlama-lama menatap layar komputer, sampai aku tak
sanggup lagi mengetikkan kata-kata yang aku rangkai, dan harus minta tolong
pada editorku yang lebih muda, untuk memasang iklan di surat kabar, yang
berbunyi: ‘Dicari asisten penulis’.” (Tamat)
0 comments:
Post a Comment