Hantu Perempuan dan Hotel Berarsitektur Kiri
Dedy Tri Riyadi
SAMBIL melambaikan tangan, Tinuk bertanya padaku,
“Apakah kau suka dengan tulisan-tulisan George Orwell?”
Yang membingungkanku, Tinuk menanyakan hal itu
tepat setelah aku bertanya kepadanya apakah di kota ini ada
gedung yang dibangun dengan arsitektur beraliran kiri. “Kenapa
kau bertanya seperti itu?” Aku menimpali pertanyaannya dengan
pertanyaan juga sebab aku memang bingung dituduh begitu.
Tinuk tertawa. Hal itu seolah membuat aku tampak begitu
bodoh. Tapi aku benar-benar tidak paham apa hubungan
pertanyaanku dengan pertanyaannya, atau lebih tepatnya apa
hubungannya gedung berarsitektur kiri dengan George Orwell.
“Sudahlah, jangan cemberut begitu. Kalau kau penggemar
George Orwell tentu pernah membaca esainya yang berjudul
‘Dapatkah Orang-orang Sosialis Hidup Bahagia?’. Dalam esai itu dia menyebutkan salah satu yang bisa dianggap kesalahan dari paham yang dianggap Kiri itu adalah membangun gedung dengan AC tersentral dengan lampu-lampu berderet yang bersinar terang,”
katanya dengan nada membujukku agar tidak bingung dan terlihat
sedih karena kebodohanku.
Aku melongo. Sebab yang aku tahu Orwell hanya menulis novel Animal Farm dan 1984 saja. Ketika aku berkata bahwa aku hanya tahu novel-novel Orwell, Tinuk kembali tertawa. “Orwell juga menulis puisi,” katanya.
Kali ini aku melihat wajahnya dengan sangat jelas. Beberapa
hari sebelum hari ini, aku tak pernah mau untuk menatapnya
karena takut. Tinuk adalah hantu perempuan yang kutemui di
apartemen, tempat aku menginap selama mendapat beasiswa
utuk melanjutkan pendidikanku di sebuah kota kecil di benua
Eropa ini. Dia suka muncul dari kamar mandi secara tiba-tiba. Lalu, jika kamar tidurku terbuka, dia akan segera masuk dan duduk di atas meja kerjaku. Duduk di antara tumpukan buku-buku.
Pertama kali aku bertemu dengannya, adalah ketika aku
duduk menghadap ke arah pintu kamarku yang terbuka. Saat itu
aku tengah membaca sebuah kumpulan sajak Rendra tepat pada
sajak “Nyanyian Angsa”. Tiba-tiba aku mendengar suara gagang
pintu kamar mandi seperti hendak dibuka. Aku berhenti membaca.
Kuperhatikan dengan seksama gagang pintu kamar mandi
yang letaknya memang berhadapan dengan kamarku. Tidak.
Gagang pintu itu tidak bergerak.
Belum lama aku pandangi gagang pintu itu dari jauh, tiba-tiba
sesosok perempuan bergaun merah sudah berdiri di hadapanku.
Tentu aku tidak berpikir perempuan itu keluar dari buku Blues
untuk Bonnie itu. Tapi lucunya, aku sempat berpikir jangan-jangan
dia bernama Maria Zaitun! Sebab dia tak berperawakan Eropa,
tetapi lebih mirip dengan orang dari Asia. Mungkin juga orang
Indonesia.
Belum sempat aku melihat wajahnya yang tertutup rambut
panjang hitam, aku melihat gaun merahnya semakin dekat dengan wajahku. Selanjutnya, aku tak tahu apa yang terjadi. Hanya gelap belaka.
“Aku senang jika ada teman. Di sini, aku sangat kesepian.
Kota ini dingin dan seolah tenggelam dalam sepi. Itu sebabnya aku menampakkan diri padamu.” Hantu perempuan itu bicara tanpa henti begitu aku membuka mata. Dia seolah tahu aku telah siuman. Suaranya terdengar seperti dari belakang punggungku.
Aku masih ketakutan dan tak berani menoleh atau
memalingkan wajahku ke arah suaranya. Kudengar lamat-lamat dia bercerita tentang seorang tentara yang mencintainya dan
membawanya ke kota ini. Aku jadi tertarik untuk mendengar
ceritanya lebih lanjut.
Dengan memberanikan diri, aku bangkit dan menghadapkan
tubuhku ke arah suara hantu itu berada, tapi wajah kutundukkan
ke lantai. Takut jika penampilannya memang menyeramkan seperti
gambaran hantu-hantu dalam film Jepang atau Indonesia.
“Ah, kau rupanya tertarik dengan cerita percintaanku ya?”
godanya.
Dengan rasa ragu karena malu mendengar perkataannya dan
terbersit keberanian untuk menganggap hantu itu seolah
khayalanku saja, aku mencoba mengangkat wajahku.
“Bagaimana tadi ceritanya kau bisa meninggal di kota ini?”
“Kau rupanya lebih tertarik dengan cerita daripada
berkenalan denganku. Pantas kau masih sendiri sampai saat ini.”
Dia, tanpa diminta, memperkenalkan dirinya. “Aie Thin Noe
namaku. Aku lahir di Burma, atau Myanmar saat ini. Perang telah
membuat keluargaku berantakan. Dan kau pasti tahu gadis
sepertiku akan mudah jatuh ke tangan yang salah dalam kondisi
seperti itu. Singkatnya, aku menjadi budak nafsu para tentara.
Untunglah seorang tentara dari kota ini datang dan
menyelamatkanku. Meski awalnya tetap sama saja, sebagai laki-
laki yang jauh dari rumah, lalu bertemu dengan pelacur seperti aku, dia hanya menginginkan aku sebagai pemuas nafsu belaka. Tapi cinta lama-lama tumbuh di hatinya, dan sampailah aku di sini.”
Aku mencoba mencari tahu seperti apa wajahnya yang
tersembunyi di balik helaian-helaian rambut hitam panjang. Dan
seperti tahu maksudku, tangannya bergerak menyibak rambutnya.
Aku gugup. Alih-alih melihat wajah yang kini terbuka, aku kembali menunduk.
“Namamu susah kusebut. Bagaimana jika aku panggil kau Tinuk?”
Dia tertawa. Berbeda dengan suara tawa kuntilanak yang
cenderung mirip ringkik kuda, tawanya terdengar renyah seperti
seorang gadis remaja.
HARI-HARI selanjutnya, aku makin akrab dengan kehadiran Tinuk. Justru, Tinuk entah bagaimana caranya bisa membuatku betah tinggal di kota ini. Tak jarang, dia ikut dalam perjalananku dari apartemen ke kampus. Dia juga sering mengejutkanku dengan
membisikkan judul buku yang bagus ketika aku berada di toko
buku. Setelah aku membayar di kasir untuk saru seri buku 1Q84
karya Haruki Murakami, dia tiba-tiba menyeletuk.
“Kamu paling suka cerpen Murakami yang mana?” tanyanya.
Tentu pertanyaannya tak segera kujawab. Takut dikira orang
aku mengalami gangguan jiwa. Tapi dia mengulangi kembali
pertanyaannya. Dengan langkah cepat, aku keluar dari toko buku.
Memotong jalur sepeda dan menuju sebuah jalan kecil yang
mengarah ke taman kota. Tepat di pagar taman kota yang di sana
terdapat sebatang pohon yang tengah berbunga, lagi-lagi dia
bertanya hal yang sama.
“Kau aneh. Aku baru membeli novel, kau malah bertanya soal
cerpen,” jawabku ketus karena merasa terganggu.
“Aku yakin kau mau menjawab pertanyaanku. Benar, bukan?” godanya lagi.
Kulemparkan pantatku di atas bangku yang tersedia di
trotoar. Meletakkan novel baru itu. Dan sambil melihat matanya
yang hitam seperti dalam lukisan Jeihan, aku berusaha mengingat
beberapa judul cerpen Murakami. “Aku suka ‘Second Bakery
Attack’,” kataku setelah lama terdiam.
“Aku menduga kau punya otak kapitalis!” rutuknya.
Kapitalis? Apa hubungannya pilihanku akan cerpen Murakami
dengan idelogi ekonomi itu? Aku jadi bertanya-tanya, apakah hantu itu memang punya kemampuan untuk menggabungkan beberapa hal dalam sebuah percakapan? Rasanya, aku tak mau bertanya atau menjawab pertanyaannya lagi.
“Berikan aku alasan mengapa kau beranggapan demikian?”
“Rasa lapar,” katanya, “dalam cerpen pilihanmu itu teramat
menakjubkan bukan? Nah, aku hanya menghubungkan jika kau
suka dengan cerpen itu tentunya kau juga beranggapan ada
banyak hal yang bisa dieksplorasi menjadi cerita. Artinya, dalam
hidupmu, kau pun akan menganggap begitu.”
“Ah. Kau terlalu cepat menyimpulkan sesuatu,” sanggahku,
“Aku justru seseorang yang memimpikan semua orang dalam
dunia ini hidup dalam harmoni. Boleh saja jika kau menganggapku
seorang utopis.”
“Utopis?” selidiknya. Bola matanya yang hitam itu seakan-
akan membesar memandangiku dengan lekat. “Semua orang yang
dianggap pelopor suatu gerakan biasanya seorang yang utopis.”
Dia kemudian bercerita bahwa di masa pergerakan besar
menentang kaum borjuis di kota ini, beberapa bangunan indahnya
pernah beralih fungsi.
“Gedung di sebelah sana dulunya sebuah arena pertunjukan.
Saat mereka berkuasa, gedung itu menjadi semacam laboratorium
atau pusat pengkajian ilmiah. Dan gedung-gedung yang berderet
di jalan utama itu, dulunya dibangun sebagai apartemen milik
rakyat. Atau untuk rakyat yang mau dipimpin dengan ideologi
mereka.” Ketika dia menjelaskan demikian, aku merasa sedang
dibawa bertamasya dengan dipandu oleh seorang tour guide. Aku
lantas teringat sebuah pencarian jati diri bangsa melalui arsitektur
bangunan yang sering disebut sebagai post-constructivism. Maka
selesai dia bercerita, aku bertanya kepadanya apakah di kota ini
ada gedung yang berarsitektur kiri kepadanya.
“Dalam hidup ini, semua itu dapat dihubung-hubungkan,
termasuk pertanyaanmu itu dengan tulisan-tulisan George Orwell. Kau pasti belum tahu bahwa dia juga menulis puisi yang mirip dengan kisah hidupku, bukan?”
Kali ini aku tertarik dengan perkataannya. Aku menduga pasti puisi George Orwell yang dimaksud masuk dalam kategori puisi cinta, tetapi dia berkata puisi ini berjudul ‘Ironic Poem about
Prostitution’.
Ah. Aku lupa bahwa latar belakang hidupnya adalah seorang
pelacur. Tak berapa lama, dari bibirnya – atau setidaknya demikian meluncurlah puisi tersebut:
When I was young and had no sense
In far-off Mandalay
I lost my heart to a Burmese girl
As lovely as the day.
Her skin was gold, her hair was jet,
Her teeth were ivory;
I said, “For twenty silver pieces,
Maiden, sleep with me.”
She looked at me, so pure, so sad,
The loveliest thing alive,
And in her lisping, virgin voice,
Stood out for twenty-five.
SELESAI dia membaca puisi itu, giliran aku yang tertawa getir. Pelacur berkebangsaan Burma. Mirip sekali dengan kisah Tinuk. Lalu, ironi pada soal sikap sedih pelacur itu dengan permintaan naiknya harga penawaran sungguh terasa meneydihkan. Tawaku cepat berganti dengan diam begitu aku melihat dia seperti
termenung.
“Kenapa?” aku memberanikan diri bertanya kepadanya.
“Tak apa. Aku hanya ingin menjawab pertanyaanmu tadi soal
gedung berarsitektur kiri yang ingin kau ketahui di kota ini. Kau
lihat gedung di sebelah sana? Tepat di perempatan di seberang
taman ini. Yang warnanya kuning tua dengan atap seperti
berpagar dan ada semacam tugu kecil di empat sudutnya itu?”
Aku melempar pandangan searah dengan tangannya
menunjuk. Memang ada bangunan besar berwarna kuning dengan
banyak jendela berbingkai putih. Gedung itu seolah dibagi menjadi
beberapa bagian. Lantai pertama dihiasi beberapa pintu besar
yang melengkung seperti pintu gereja. Tiga lantai di atasnya
berjendela dengan bentuk kotak sederhana. Menuju ke tiga lantai
di atasnya, ada semacam balkon panjang. Dan jendela di lantai
paling bawah—dari tiga lantai di atas balkon—dibentuk dengan
bingkai melengkung, sedangkan dua lantai lagi sama seperti
bentuk jendela tiga lantai pertama. Lalu setelah itu, ada satu lantai
dengan jendela berukuran lebih besar dari semua jendela. Dan dua
lantai terakhir dibangun agak menjorok ke dalam karena ada
semacam selasar dengan tiang-tiang besar. Bangunan itu diakhiri
dengan hal yang persis seperti dikatakan Tinuk; pagar dan tugu
kecil di empat sudutnya.
“Apakah bangunan itu yang dibangun dengan arsitektur
beraliran kiri?” Aku kembali bertanya pada Tinuk.
“Aku tidak tahu sebenarnya yang kau maksud dengan
arsitektur beraliran kiri, tapi bangunan hotel itu mirip sekali dengan apartemen yang ada di Kutuzovsky Prospekt, Moskow. Di sanalah aku dibunuh suamiku sendiri yang mengira aku hendak
berselingkuh dengan temanku. Padahal aku datang ke hotel itu
untuk menghadiri pertemuan orang-orang Burma perantauan di
kota ini.”
Setelah Tinuk mengatakan hal itu, aku tertegun cukup lama
memandangi bangunan itu, sampai-sampai tak kusadari Tinuk
sudah tidak ada lagi di sampingku. Tapi bukan karena Tinuk
menghilang aku memungut novel Murakami di atas bangku
dengan cepat, memasukkannya ke dalam ransel, lalu bergegas
menyeberang jalan. Aku melakukan itu semua karena desakan rasa lapar. Rasanya, siapa pun tahu jika rasa lapar menyerang, apalagi ditambah suhu udara yang di bawah 10 derajat Celsius, orang akan berjalan dengan sangat tergesa. Tidak terkecuali aku. ?
Jakarta, September 2014
Dedy Tri Riyadi pekerja iklan. Lahir di Tegal, 16 Oktober 1974, kini
bermukim di Jakarta. Bergiat pada Komunitas Paguyuban Sastra
Rabu Malam (PaSaR Malam). Novelnya, Dan Segalanya Menghilang
(2009).
sponsored by
0 comments:
Post a Comment