Anjing Menggonggong, Kafilah Berlalu

by 6:09 PM 0 comments
Anjing Menggonggong, Kafilah Berlalu 
Dea Anugrah 




TERAKHIR kali aku mengunjungi Pat bulan September lalu. 
Cat rumahnya ganti warna biru telur asin dan di halamannya 
ada semak mawar yang baru ditanam. Empat gerumbul 
kecil, selang-seling seiring jalan menuju teras. Halaman itu mustahil dibikin lebih sesak lagi, dan seandainya pagar rumah Pat lebih tinggi, kukira makhluk hidup apa saja yang dilemparkan ke sana bakal mencekik diri mereka sendiri dalam tempo selambat-lambatnya dua hari. 

       Saat memencet bel, kulihat kolam yang menempel dengan 
sisi kiri beranda sudah lebih bersih; tiga ekor nila dan seekor lele 
putih seukuran lengan anak kecil mengitari dunia mereka yang itu- 
itu saja dengan santai, juga si kumis, meski tampangnya murung 
seperti ikan lele mana pun di planet ini. 
      Bel kutekan sekali, agak keras. Samar-samar terdengar 
assalammualaikum dari rumah Pat. Salah satu korden krem di jen- 
dela dekat pintu bergoyang. Pat selalu mengintip tamu yang ber- 
kunjung. Ia akan berpura-pura tidak di rumah jika didatangi 
salesman panci, salesman mesin-sedot-debu, petugas RT/RW, pe- 
tugas Masjid, kerabat jauh, tetangga jauh, tukang sensus, tukang 
kotbah, pengurus panti asuhan, dan lain-lain. Pendeknya, Pat 
menghindari manusia. 


EMPAT tahun silam, dekatur desk kami menyebut nama Pat Wicaksana sebagai ahli lukisan yang mesti kumintai pendapat terkait skandal raibnya lukisan Sabung Ayam yang asli dari Museum Affandi. 
      Aku mengerti soal korden krem dan pengintip yang 
bersembunyi di baliknya sejak kedatanganku yang pertama. Waktu 
itu bel kupencet berkali-kali—mulanya santai saja, namun semakin 
lama aku menunggu dan semakin banyak keringat dan lelehan 
minyak rambut membasahi mukaku, semakin brutal aku menggilas 
tombol tersebut. Lama-kelamaan, assalammualaikum itu seakan 
berubah jadi lenguh panjang putus asa mesin malang yang tak 
sanggup membela kehormatannya sendiri. 
     Tidak mau pulang sia-sia untuk kembali dinasehati soal daya 
tahan oleh atasanku esok harinya, kuputuskan menunggu saja di 
bawah pohon jambu susu di seberang rumah itu. Berjongkok dan 
membaca tulisanku sendiri dalam salah satu edisi yang kebetulan 
terbawa. 
     Sekitar 20 menit kemudian seorang laki-laki bersinglet meng- 
hampiriku. Umurnya kuduga dua kali umurku. Rambutnya tipis dan jarang-jarang dan kepalanya mirip buah kiwi. 
     “Patrick Wicaksana. Anda?” 
      Wawancara hari itu singkat saja. Intinya, Pat sudah lama tahu 
lukisan itu palsu—meski pendapatnya tidak direken pihak-pihak 
terkait karena kualitas tiruan tersebut amatlah bagusnya. Ia meng- 
emukakan berbagai alasan yang tidak sepenuhnya kupahami 
karena minimnya pengetahuanku. Aku merekam dan mencatat 
saja. Terus terang, rasa hormatku terhadap pria itu muncul begitu 
saja tatkala mendengarnya bicara. Ujaran-ujarannya jernih, runut, 
serta disampaikan dalam ketenangan yang mengasyikkan. 
     Tapi itu urusan pekerjaan. Yang membuat kami berteman 
adalah cerita. 
   “Kau tahu penyair K?” tanyanya tiba-tiba setelah aku 
mematikan recorder. 

         KUBILANG padanya aku pernah mendengar nama itu dalam beberapa perbincangan yang tidak lagi bisa kuingat kapan dan soal apa. 
         “Apa puisinya bagus?” tanyaku. Aku tak pernah mengerti letak kebagusan atau ketidakbagusan sebuah puisi. 
         Alif Sudarso, teman sekantorku sekaligus pecundang romantik yang patut ditertawai tiap-tiap hantu pohon beringin di kota ini, bahkan berhasil menipuku soal itu. Suatu hari ia menunjukkan beberapa puisi cinta, katanya itu karangan penyair termasyhur bernama Paul Eluard dan ia hendak mengetes kepekaan artistikku. 
         Meski presentasinya berbelit-belit, ekornya jelas: kalau kukatakan puisi-puisi itu jelek, berarti kepekaan artistikku amatlah rendahnya dan sebaiknya aku segera terjun dari tangga karir jurnalistik dan alih profesi jadi tukang ledeng seperti bapakku almarhum. Itu pekerjaan yang asyik, sebenarnya. Waktu SMP, aku pernah membaca sebuah artikel di tabloid kuning tentang tukang ledeng berkumis tebal yang setelah berhasil memperbaiki pipa-pipa saluran air di rumah seorang dokter, mendapat izin pula untuk memasukkan pipa miliknya ke saluran peranakan nyonya rumah yang jelita. 
              Sayangnya aku tersulut gengsi dan justru masuk bulat-bulat ke dalam perangkap Alif. Dengan ketegasan laki-laki sejati, kuhantamkan telapak tanganku ke meja, mendecakkan lidah, lalu 
berkata: “Mantap betul ini puisi, Bung. Paul Eluard! E-lu-ard! 
Prancis punya, to?” 
              Tenang, Alif Sudarso mengeluarkan sebungkus Camel dari saku flannelnya, mengambil dua batang, meletakkan satu di bibirnya yang agak gemetar, memantiknya, meletakkan yang satu lagi di mulutnya sendiri dan membakarnya pula. 
              Setelah mengambil kertas-kertas itu dariku dan membacanya dan empat kali meng-embuskan asap, bajingan itu berkata, “Kukira kertasnya tertukar, Bung. Ini puisi-puisi yang kutulis tadi malam. 
         Meski tersanjung, kurasa penilaianmu padaku terlalu tinggi dan tidak pada tempatnya. Tapi kuhargai ketulusanmu. Terima kasih, terima kasih.” 

  
     Sampai detik ini, pengalaman itu masih saja menyakitkan dan 
mengundang rasa malu yang bisa membuatku menangis. Seperti 
disengat tawon di bibir dan orang-orang di sekitarmu berusaha 
menolong sambil menahan tawa karena bentuk mulutmu yang 
baru mengingatkan mereka kepada memek. 
      “Tidak penting, Bung. Kita tidak akan ngobrol tentang puisi- 
puisi penyair K,” ujar Pat. Dan ia mulai bicara tentang kebiasaan- 
kebiasaan penyair K, pelukis bergaya Mooi Indie M, aktor beraliran overacting H, serta beberapa seniman lain yang belum pernah kudengar namanya. Seandainya Pat tidak menggelontorkan 
sedemikian banyak cerita lucu pun, kupikir aku tetap akan senang 
padanya. Tapi ia melampaui harapanku dan kami benar-benar tidak membicarakan puisi dan itu membuatku ingin mendengar lebih banyak lagi. 


AKU rajin bertandang ke rumah itu untuk bertukar cerita dengan 
Pat. Seandainya bisa memilih, tentu kami ingin berbagi kisah-kisah 
pengundang tawa saja. Tapi cerita bukanlah hewan penurut. Cerita 
punya kehendaknya sendiri. Ia bisa berbelok tiba-tiba dan 
membikin juru cerita terjungkal. Maka kadang-kadang aku pulang 
dari rumah Pat dengan rasa tidak nyaman di kedua pundakku, 
seakan-akan pada hari itu ibuku mati dan aku memasak telur dadar 
yang tidak enak. 
     Suatu ketika Pat menunjukkan potret seorang perempuan 
berumur 30-an tahun. Ia bilang itu gambar mantan istrinya. Sambil 
mengamati foto berukuran 4R dalam bingkai putih gading itu, aku 
menimbang-nimbang reaksi apa yang pantas kuberikan. Bertanya 
di mana istrimu sekarang? mungkin terkesan ofensif bila 
kenyataannya ia sudah meninggal. Sebaliknya, kapan ia meninggal? 
akan sama tak pantasnya bila ternyata perempuan itu masih 
sesehat kucing berumur 15 bulan dan sibuk mengeong manja 
kepada suami barunya. Akhirnya, aku diam saja. Pat berdeham, lalu seakan mengerti apa yang kupikirkan, ia berkata, “Namanya Sekar. Lebih muda enam tahun dariku. Tidak, ia belum meninggal. 

Dan, ya, ia mengeong dan bunting dan beranak dan girang seperti 
kucing betina berumur 20 bulan. Kuharap suatu hari penis 
suaminya terkilir dan ia terpaksa melakukan itu dengan kecap         botol.” 
         Patrick menatap wajahku sebentar. Ia menyeringai. “Ya 
ampun, memang tak ada yang lebih keparat daripada pecandu 
cerita,” gumamnya. 
        Empat belas tahun silam, Pat berpikir bahwa menjadi 
pemerhati kesenian bukanlah taktik yang bagus untuk bertahan 
hidup. Pekerjaan tak selalu ada, dan jika ada, belum tentu berbuah 
imbalan yang memadai. Maka ia menghubungi sepupu almarhum 
ayahnya, seorang kontraktor. Pat ikut pria tua tersebut dan belajar 
 tentang bisnisnya dan memperoleh bayaran yang diinginkannya. Ia cukup senang dengan perubahan tersebut. Lebih-lebih karena itu 
membuat Sekar, yang memang pengeluh sejak mula, tampak kian 
bersemangat. 
        Tapi siapa bisa mengelak sepenuhnya dari angin buruk? 
Persaingan dalam tender, adu mulut, adu jotos, vonis 13 tahun 
untuk Patrick Wicaksana dengan tuduhan pembunuhan terencana. 
Koran-koran mengatakan itu hukuman yang berlebihan jika 
yang dibunuh adalah tukang becak, namun amat tidak memadai 
bagi seorang pembunuh dokter. Namun tentu ada yang tak tertulis 
di koran: dokter tersebut (namanya dr. Badar) punya pekerjaan 
sampingan sebagai kontraktor, punya sertifikat kepemilikan 
senjata api, dan punya sifat pengamuk yang gampang terpancing 
jika keinginannya tidak terpenuhi. 
         Suatu malam, keduanya berjumpa untuk membabat masalah 
yang tumbuh liar di antara mereka sejak proyek pengadaan rah 
dimenangkan pihak Patrick. Ternyata musyawarah gagal. Si dokter 
mengepruk jidat Pat dengan gagang pistol dan empat detik 
kemudian mendengar bunyi skreek yang cukup keras. Keningnya 
tiba-tiba berkeringat. Ia menundukkan kepala dan mendapati 
sebagian jeroannya telah berceceran di aspal. “Sebelum 
 terjerembab,” kata Pat (ia lalu menjilat bibir), “sedikitnya tuan 
 dokter bisa belajar dua hal: orang bisa menyimpan belati di balik 
jaket, dan pistol tak menjadikannya tidak terkalahkan.” 
      Pat mendapatkan pembebasan bersyarat setelah dipenjara 
selama tujuh tahun. Selama itu, cintanya kepada Sekar menjadi 
berlipat ganda. Tidak sekali pun, bahkan dalam keadaan paling 
payah, Sekar terlihat ingin melarikan diri. Patrick berkali-kali 
mengatakan kepada teman-temannya sesama pesakitan, dengan 
rasa syukur yang tak terkira, bahwa Sekar layak diangkat menjadi 
orang suci, bahwa ia akan menjadi suami yang lebih baik lagi dan 
tidak akan membunuh seekor nyamuk pun seandainya itu 
berpotensi membuat istrinya kesusahan. 
    Sekitar setahun setelah dibebaskan, Patrick Wicaksana 
menyebut istrinya “perek terbesar dalam sejarah” dan menggeram 
bahwa semua dokter di bawah langit layak dikoyak perutnya. 
     Sekar, yang amat ketakutan karena perselingkuhannya 
dengan seorang dokter (dokter lain, tentu, bukan dr. Badar yang 
muncul di cerita ini cuma untuk mati saja) selama tiga tahun 
belakangan telah diketahui Patrick, kabur hari itu juga. Dua pekan 
kemudian Pat menerima surat dari pengadilan agama. Surat itu 
dipakainya untuk membersihkan lubang pantat, lalu dikirimkannya 
ke tempat praktik si dokter. 
     “Jadi, kau bertemu dengannya terakhir kali di pengadilan?” 
tanyaku tanpa memalingkan wajah dari potret Sekar. 
     “Terakhir waktu kusebut dia lonte terbesar dan terburuk 
dalam sejarah Homo sapiens. Di pengadilan, dia diwakili pengacara 
yang mukanya mirip ikan pesut.” 
     “Apa kau pernah bertanya, ya, kau tahulah, mengapa, sejak 
kapan, begitu? Ayahku melakukannya, lho.” 
     “Maksudmu, alasan Sekar main gila? Tidak. Soal orang tuamu 
tidak usah diulang, hatiku sakit setiap kali mengingat hal itu tidak 
hanya terjadi padaku. Aku ingin percaya bahwa masih ada yang 
berharga dalam hidup manusia.” 
     “Memang ada. Tai kucing.” 
      “Ayolah, Bung, itu kelewat murung untuk penulis seumuranmu. Jangan-jangan kau ini terlalu sering merancap. sebuah penelitian di Inggris menyimpulkan begitu.” 
      “Bahwa merancap bisa bikin depresi?” 
       “Bukan. Bahwa reaksimu tadi menandakan kau memang 
terlalu sering melakukannya. Penelitian itu dibuat untuk 
membantu orang tua murid mengenali perilaku seksual anak-anak 
mereka.” 


         PAT benar, tapi sudah dua pekan ini hal asyik nomor satu itu tidak kulakukan. Dan sebabnya, kukira, justru semacam depresi. Aku  merokok empat bungkus sehari dan mengisap (sedikit) ganja, 
namun perasaan terdampar itu tidak kunjung hilang. Rasanya 
seperti duduk memeluk lutut di dasar sumur kering yang tertutup. 
         Aku pernah mengalaminya dalam mimpi. Berapa kali pun 
mendongakkan kepala, yang ada hanya kegelapan, udara lembab, 
dan perasaan terdesak. 
          Rabu pagi, delapan Januari, dua minggu silam, temanku 
Patrick Wicaksana mati. Gagal jantung. Sendirian. Orang-orang 
yang kuduga sebagai Sekar, suaminya, serta dua orang anak gadis 
mereka muncul di pemakaman. Sekar tidak menangis ketika peti 
jenazah Pat diturunkan ke liang; ia diam dan tampak hanyut dalam 
arus ingatan seperti halnya orang-orang lain. Aku berdiri di 
samping redaktur desk kami (yang sudah pindah ke desk lain) dan 
tidak bicara apa-apa selain basa-basi dalam perjalanan berangkat 
maupun pulang. 
               Malamnya, aku mengajak bicara Jay Catsby—kucing yang sering datang ke kamar kosku—sampai kami berdua tertidur. Ku ceritakan padanya tentang penyair K dkk., tentang si kecu Alif 
  Sudarso, tentang ibuku, tentang Sekar, tentang kalimat “Dari 
sekian banyak cara untuk mati, yang terburuk adalah melanjutkan 
hidup” yang tertera di nisan sesuai permintaan Pat. 
  
     Esoknya aku bangun kelewat siang dan menginjak kotoran 
kucing saat turun dari tempat tidur. Tanpa kemarahan, kubuka 
pintu lebar-lebar dan aku menendang Jay tepat di perutnya. ? 
                                                                      


      Dea Anugrah bekerja di sebuah penerbitan di Jakarta. 

Pak Lurah

Developer

apa saja selain hidup

0 comments:

Post a Comment