Kemurkaan Pemuda E

by 6:41 PM 0 comments
Kemurkaan Pemuda E 
Dea Anugrah 



PEMUDA E mencengkeram tutup stoples acar dengan jari-jari 
tangan kanan dan mencekal bagian bawahnya dengan tela- 
pak tangan yang lain. Lalu dengan satu gerakan memutar 
yang kuat dan tiba-tiba, ia memisahkan keduanya. Stoples dan 
tutup stoples. Pemuda E tidak tahu, dan mungkin tidak peduli, 
manakah yang lebih penting di antara keduanya dalam menjaga ke-
segaran acar mentimun yang ia bubuhkan di atas roti panggangnya 
saban pagi. 
      Meskipun wajahnya tidak menampakkan kecerdasan jenis 
apa pun, dia adalah satu dari sedikit orang mujur yang tidak pernah 
kehilangan saringan acarnya. Alat mungil itu selalu ada di sana, 
teronggok di sisi piring dengan keacuhan khas sebuah saringan 
acar. Pemuda E tentu tahu, namun pagi itu ia memilih merogoh 
stoples dengan tangannya sendiri, meraup segenggam penuh 
timun yang dipotong dadu, meniriskan airnya dalam beberapa 
gestur monoton, lantas menaburkannya ke atas roti panggang 
dengan sikap yang penuh rasa syukur setelah tidak ada lagi cairan 
yang menetes dari sela-sela jemarinya. 
     Sepintas memang terlihat bahwa pagi itu hanyalah pagi yang 
biasa bagi Pemuda E. Sarapan yang wajar dan baik-baik saja. 
Namun tidak demikian di mata kita, orang-orang yang terlalu 
mengenal dirinya, kebiasaan-kebiasaannya, serta berbagai motif 
yang bergerak liar di bawah permukaan gerak-geriknya yang tidak 
menonjol. 
      Kita tahu Pemuda E sedang gelisah. Sama gelisahnya dengan 
seekor coro yang tergelincir ketika melakukan pendaratan darurat 
dan mendapati dirinya dalam posisi terbalik. Ia sedang marah. 
Sama marahnya dengan seorang taipan Arab yang diberi tahu 
bahwa seluruh penghuni haremnya sedang haid, kecuali seorang 
saja, yang sudah menopouse dan bahkan tidak akan 
membangkitkan berahi seekor keledai. Tapi apakah penyebab 
kegelisahan dan amarah Pemuda E? Dan apa yang ia rencanakan di 
pagi itu, ketika kita—sebagai pengamat murni—mendengar bunyi 
kruk-kruk roti acar yang terkunyah? Untuk mengetahuinya secara 
utuh, baiklah kita kembali ke peristiwa yang terjadi dua hari silam 
kemudian melompat balik dalam kecepatan seekor iblis ke 
beberapa jam setelah Pemuda E menuntaskan sarapannya pagi ini. 
  
PEMUDA E mencengkeram sebuah bolpoin dan sesekali mencoreti margin buku yang sedang dibacanya dengan komentar-komentar. Sebagian besar singkat saja, hanya terdiri dari dua atau tiga baris. Sementara komentar-komentar panjang yang jarang muncul, ia tuliskan dalam huruf-huruf lebih kecil yang agak sulit dibaca dan penuh kode di sana-sini. Pada salah satu halaman buku-buku yang sedang dibacanya saat itu, novel Prajurit Schweik karangan Jaroslav Hasek, misalnya, kita bisa menemukan catatan ini: 
     “pemakaian /for & @isme yg ()biasa. Hasek juga th persis cr 
(__)kan humor yg 7is & }{. ***.” 
    Dan beginilah kira-kira yang ia maksud: “pemakaian metafor 
dan simbolisme yang luar biasa. Hasek juga tahu persis cara 
menyelundupkan humor yang sinis dan dingin. Brillian.” 
      Ia memakai tanda / sebagai pengganti ‘meta’ yang berarti ‘di 
balik’ dalam bahasa Yunani, @ untuk simbol, () tentu saja berarti 
luar atau di luar, (__) melambangkan kegiatan sembunyi-sembunyi, 7 menggantikan ‘sin’ karena umum diketahui bahwa dosa utama  manusia berjumlah tujuh, tanda }{ mungkin mengingatkannya pada badan yang menggigil kedinginan, dan akhirnya *** jelas  melambangkan sesuatu yang amat berkilau. 
Ia masih punya banyak sandi yang lain. Tidak semua 
dihafalkannya, memang. Terkadang ketika menyalin komentar- 
 komentarnya untuk keperluan tertentu, ia lupa maksud dari 
beberapa kode. Namun bila itu terjadi, ia tidak lantas kesal dan 
berniat menghentikan kebiasaan tersebut, melainkan justru 
 berusaha melacak kembali arti dari tiap-tiap simbol yang 
terlupakan, seperti adu kecerdikan antara seorang detektif dan 
buruannya. Ia selalu melakukannya dengan serius, sampai akhirnya meledak dalam tawa puas tatkala yang dicarinya ketemu dan menyadari bahwa kedua peran itu hanya dimainkan oleh dirinya  seorang. Seperti kata peribahasa Ceko: “Bagai anjing mengejar lubang duburnya sendiri.” 


        SAAT itulah Pemuda E mendengar pintu rumahnya diketuk. Ia  segera memutar kenop speaker di kolong meja kerjanya ke arah 
 yang berlawanan dengan jarum jam untuk mengecilkan volume 
musik yang menemaninya membaca. 
      “Oi, masuk, Bung,” ujar Pemuda E seraya membuka pintu dan 
melihat siapa yang berkunjung. 
       “Enggak usah, di sini saja, sebentar kok… saya mau beli 
kroto.” 
       Tentu Pemuda E mengerti orang yang dipanggilnya bung itu 
sama sekali tidak bermaksud membeli pakan burung darinya. Ja- 
ngan ambil pusing, itu cuma kelucuan bahasa sehari-hari. 
      “Lha, ini baru jam sembilan, ngapain buru-buru. Kan pasar 
burung tutup siang?” 
      “Ini hari Jumat, Bung. Jam setengah sebelas bubar jalan,” 
tamu itu menerangkan. Barangkali agak jengah harus mengatakan 
 sesuatu yang semestinya sudah diketahui semua orang. 

     “Ya ampun, Jumat. Pantas panas betul.” 
     “Alah, tiap Jumat selalu omong begitu.” 
      Mereka kemudian masuk ke inti pembicaraan yang secara 
kebetulan kita lewatkan karena semua indra kita sedang terfokus 
pada seekor kucing yang mendekati keranjang sampah di halaman. 
Dengan beberapa gerakan gesit, kucing itu berhasil melarikan satu 
kantong plastik gemuk yang menguarkan bau amis. Kita tahu 
kantong itu berisi muntahan Pemuda E waktu ia kena masuk angin 
tiga hari yang lalu. 
      Sebentar kemudian kita melihat Pemuda E mengangguk be- 
berapa kali dan lawan bicaranya tersenyum menimpali. Setelahnya, si tamu minta pamit. 
     Sebenarnya tidak jelek juga kalau kita meninggalkan Pemuda 
E dan mengikuti kucing itu. Mungkin saja berujung pada kejadian- 
kejadian yang lebih menghibur atau mengharukan ketimbang ini. 
Bayangkan, coba, apa yang bakal diperbuat seekor induk kucing 
dan anak-anaknya yang kelaparan terhadap sebungkus muntahan 
manusia. Ada begitu banyak kemungkinan, bukan? Namun apalah 
yang bisa saya lakukan, Saudara-saudara. Penyelewengan dari 
jadwal yang sudah ditetapkan adalah sesuatu yang tidak termaaf- 
kan bagi seorang pemandu seperti saya. 
     Mari kita kembali ke Pemuda E yang sedang berjalan masuk 
ke rumah. 
     Ia menutup pintu dari dalam, kembali ke kursinya, dan 
memutar kenop speaker searah jarum jam. Maka terdengarlah bar 
pertama “My Favorite Things” dari John Coltrane. Sedap betul. 
    Pemuda E berdiri lagi. Ia termangu-mangu sejenak sebelum 
memilih beberapa buku dari rak, lalu kembali ke meja kerjanya 
dengan langkah penuh semangat yang tak dibuat-buat. 
     Dan kita melihatnya mulai mengetik. 
     SEBAGAIMANA sudah dijanjikan, kini kita berada di rumah Pemuda  E sekian jam setelah ia menyelesaikan sarapan. Kita mendengar  bunyi air yang diguyurkan sedikit demi sedikit ke lubang jamban.  Tentu itu Pemuda E yang sedang berak. Begitulah kebiasaannya.  Memangnya apa yang kita harapkan? Toh makanan yang baru  ditelan manusia tidak begitu saja mendorong tai dalam perutnya sampai keluar. Bahkan hal semacam itu butuh proses dan penanganan yang tepat. 
        Sesuatu tergeletak di atas meja kerja Pemuda E. Mari kita 
perjelas dengan zoom-in dan sedikit tilt. Ternyata sebuah lembaran tipis yang merupakan hasil cetak olahan bubur kayu—lazimnya disebut kertas—yang di atasnya tertulis sejumlah simbol yang keseluruhannya berjumlah dua puluh enam dan bila dirangkai sedemikian rupa akan berfungsi sebagai salah satu cara berkomunikasi—untuk singkatnya kita sebut saja alfabet—yang membentuk kalimat-kalimat, baik yang panjang maupun pendek. 
        Itu artinya, dalam rentang antara ketika kita berada di peristiwa dua hari silam dengan ketika kita kembali ke sini, Pemuda E telah menulis sesuatu. Tulisan tersebut cukup panjang untuk kelasnya. Mungkin sekitar enam ratus kata atau lebih. Bila kita sarikan, kira-kira inilah pokok-pokoknya: 
               1. Harusnya kemarin lusa saya tolak permintaan si Karta untuk jadi pembicara dalam seminar yang diadakan kampusnya. 
               2. Saya memang masih muda, masuk 22 tahun akhir bulan nanti, tapi saya juga penulis seperti halnya si Kabul yang paruh  baya itu. Dan kami sama-sama jadi pembicara. Tapi kenapa dia  dapat honor sebanyak uang makan saya sebulan, sedangkan saya tidak dibayar sama sekali? Padahal saya bikin makalah dan dia tidak. 
             3. Apa maksudnya mereka kasih saya kenang-kenangan sebiji cangkir murah dan plakat kayu berlogo kampus? Bagus mereka tanamkan dalam-dalam semua rongsok itu di pantat mereka sendiri. 
      4. Kenapa saya yang jadi pembicara harus bayar retribusi dan 
berurusan dengan tukang parkir keparat di halaman auditorium, 
sementara dosen-dosen goblok peserta seminar itu cuma perlu 
menganggukkan kepala mereka dari balik jendela oto dan dibalas 
dengan bungkukan khidmat, dari si tukang parkir? 
      5. Semua penghinaan di atas sebetulnya bisa saya maafkan 
dan saya tidak akan membuat catatan yang kurang pantas ini 
untuk meredakan amarah seandainya tidak ada poin berikut: Keti- 
ka seminar berlangsung, mereka memberi saya kursi yang kaki-ka- 
kinya kelewat pendek dan goyah sehingga saya harus mendongak 
saat berbicara sambil terus-menerus menjaga keseimbangan agar 
tidak jatuh terjengkang, sedangkan si Kabul mendapat kursi yang 
bantalannya empuk, tingginya cukup, dan kaki-kakinya mantap. 
Itulah yang sesungguhnya membikin saya muntab. 
      Kini kita sudah menemukan apa yang ingin kita ketahui. Jika 
anda sekalian menyenangi Pemuda E, tentu kita bisa mengamati- 
nya lebih banyak lagi—namun lantaran tur ini sudah berakhir, hal 
itu mesti dilakukan lain kali dengan paket yang berbeda. Paket 
gratis memang hanya satu ini, tapi saya jamin, paket berbayar tidak 
bakal mengecewakan anda. Kami punya koleksi yang lumayan 
menarik: Gelora Seks Pemuda E, Pemuda E Dikeroyok 7 Anak Punk, Pemuda E Menjual Jiwanya kepada Iblis di Perempatan Jalan, dan sebagainya. 
      Kalau anda merasa bosan atau kesal dengan tur ini, janganlah 
menyalahkan saya selaku pemandu. Toh anda mengikutinya tanpa 
biaya, gratis-tis, seperti halnya membaca cerita pendek atau sajak- 
sajak gelap di koran akhir pekan yang anda beli untuk mengetahui 
kelanjutan berita kenaikan harga bahan bakar atau klasemen Liga 
Inggris—atau sekadar untuk mengintip nipple-slip Maria 
Sharapova. 
      Bagi anda yang merasa sangsi sewaktu Pemuda E mendaku 
dirinya penulis, silakan periksa sejilid kertas yang ada di keranjang 
sampah dekat meja. Itu pasti makalah yang ia tulis untuk seminar 
yang lalu. Atau yang lebih baik, lihatlah layar komputernya di atas 
meja. Ada sebuah tulisan yang belum ditutup. Sebuah cerita 
pendek, barangkali. 
         Tapi hemat saya, sih, itu bukanlah cerita yang menarik. 
Kalimat pertamanya saja berbunyi begini: “Pemuda E mencengkeram tutup stoples acar dengan jari-jari tangan kanan 
dan mencekal bagian bawahnya dengan telapak tangan yang 
lain…” ? 
                                                                        2013 




           Dea Anugrah tinggal di Jakarta, bekerja sebagai editor di sebuah 
                                     penerbit. 



Pak Lurah

Developer

apa saja selain hidup

0 comments:

Post a Comment