Kemurkaan Pemuda E
Dea Anugrah
PEMUDA E mencengkeram tutup stoples acar dengan jari-jari
tangan kanan dan mencekal bagian bawahnya dengan tela-
pak tangan yang lain. Lalu dengan satu gerakan memutar
yang kuat dan tiba-tiba, ia memisahkan keduanya. Stoples dan
tutup stoples. Pemuda E tidak tahu, dan mungkin tidak peduli,
manakah yang lebih penting di antara keduanya dalam menjaga ke-
segaran acar mentimun yang ia bubuhkan di atas roti panggangnya
saban pagi.
Meskipun wajahnya tidak menampakkan kecerdasan jenis
apa pun, dia adalah satu dari sedikit orang mujur yang tidak pernah
kehilangan saringan acarnya. Alat mungil itu selalu ada di sana,
teronggok di sisi piring dengan keacuhan khas sebuah saringan
acar. Pemuda E tentu tahu, namun pagi itu ia memilih merogoh
stoples dengan tangannya sendiri, meraup segenggam penuh
timun yang dipotong dadu, meniriskan airnya dalam beberapa
gestur monoton, lantas menaburkannya ke atas roti panggang
dengan sikap yang penuh rasa syukur setelah tidak ada lagi cairan
yang menetes dari sela-sela jemarinya.
Sepintas memang terlihat bahwa pagi itu hanyalah pagi yang
biasa bagi Pemuda E. Sarapan yang wajar dan baik-baik saja.
Namun tidak demikian di mata kita, orang-orang yang terlalu
mengenal dirinya, kebiasaan-kebiasaannya, serta berbagai motif
yang bergerak liar di bawah permukaan gerak-geriknya yang tidak
menonjol.
Kita tahu Pemuda E sedang gelisah. Sama gelisahnya dengan
seekor coro yang tergelincir ketika melakukan pendaratan darurat
dan mendapati dirinya dalam posisi terbalik. Ia sedang marah.
Sama marahnya dengan seorang taipan Arab yang diberi tahu
bahwa seluruh penghuni haremnya sedang haid, kecuali seorang
saja, yang sudah menopouse dan bahkan tidak akan
membangkitkan berahi seekor keledai. Tapi apakah penyebab
kegelisahan dan amarah Pemuda E? Dan apa yang ia rencanakan di
pagi itu, ketika kita—sebagai pengamat murni—mendengar bunyi
kruk-kruk roti acar yang terkunyah? Untuk mengetahuinya secara
utuh, baiklah kita kembali ke peristiwa yang terjadi dua hari silam
kemudian melompat balik dalam kecepatan seekor iblis ke
beberapa jam setelah Pemuda E menuntaskan sarapannya pagi ini.
PEMUDA E mencengkeram sebuah bolpoin dan sesekali mencoreti margin buku yang sedang dibacanya dengan komentar-komentar. Sebagian besar singkat saja, hanya terdiri dari dua atau tiga baris. Sementara komentar-komentar panjang yang jarang muncul, ia tuliskan dalam huruf-huruf lebih kecil yang agak sulit dibaca dan penuh kode di sana-sini. Pada salah satu halaman buku-buku yang sedang dibacanya saat itu, novel Prajurit Schweik karangan Jaroslav Hasek, misalnya, kita bisa menemukan catatan ini:
“pemakaian /for & @isme yg ()biasa. Hasek juga th persis cr
(__)kan humor yg 7is & }{. ***.”
Dan beginilah kira-kira yang ia maksud: “pemakaian metafor
dan simbolisme yang luar biasa. Hasek juga tahu persis cara
menyelundupkan humor yang sinis dan dingin. Brillian.”
Ia memakai tanda / sebagai pengganti ‘meta’ yang berarti ‘di
balik’ dalam bahasa Yunani, @ untuk simbol, () tentu saja berarti
luar atau di luar, (__) melambangkan kegiatan sembunyi-sembunyi, 7 menggantikan ‘sin’ karena umum diketahui bahwa dosa utama manusia berjumlah tujuh, tanda }{ mungkin mengingatkannya pada badan yang menggigil kedinginan, dan akhirnya *** jelas melambangkan sesuatu yang amat berkilau.
Ia masih punya banyak sandi yang lain. Tidak semua
dihafalkannya, memang. Terkadang ketika menyalin komentar-
komentarnya untuk keperluan tertentu, ia lupa maksud dari
beberapa kode. Namun bila itu terjadi, ia tidak lantas kesal dan
berniat menghentikan kebiasaan tersebut, melainkan justru
berusaha melacak kembali arti dari tiap-tiap simbol yang
terlupakan, seperti adu kecerdikan antara seorang detektif dan
buruannya. Ia selalu melakukannya dengan serius, sampai akhirnya meledak dalam tawa puas tatkala yang dicarinya ketemu dan menyadari bahwa kedua peran itu hanya dimainkan oleh dirinya seorang. Seperti kata peribahasa Ceko: “Bagai anjing mengejar lubang duburnya sendiri.”
SAAT itulah Pemuda E mendengar pintu rumahnya diketuk. Ia segera memutar kenop speaker di kolong meja kerjanya ke arah
yang berlawanan dengan jarum jam untuk mengecilkan volume
musik yang menemaninya membaca.
“Oi, masuk, Bung,” ujar Pemuda E seraya membuka pintu dan
melihat siapa yang berkunjung.
“Enggak usah, di sini saja, sebentar kok… saya mau beli
kroto.”
Tentu Pemuda E mengerti orang yang dipanggilnya bung itu
sama sekali tidak bermaksud membeli pakan burung darinya. Ja-
ngan ambil pusing, itu cuma kelucuan bahasa sehari-hari.
“Lha, ini baru jam sembilan, ngapain buru-buru. Kan pasar
burung tutup siang?”
“Ini hari Jumat, Bung. Jam setengah sebelas bubar jalan,”
tamu itu menerangkan. Barangkali agak jengah harus mengatakan
sesuatu yang semestinya sudah diketahui semua orang.
“Ya ampun, Jumat. Pantas panas betul.”
“Alah, tiap Jumat selalu omong begitu.”
Mereka kemudian masuk ke inti pembicaraan yang secara
kebetulan kita lewatkan karena semua indra kita sedang terfokus
pada seekor kucing yang mendekati keranjang sampah di halaman.
Dengan beberapa gerakan gesit, kucing itu berhasil melarikan satu
kantong plastik gemuk yang menguarkan bau amis. Kita tahu
kantong itu berisi muntahan Pemuda E waktu ia kena masuk angin
tiga hari yang lalu.
Sebentar kemudian kita melihat Pemuda E mengangguk be-
berapa kali dan lawan bicaranya tersenyum menimpali. Setelahnya, si tamu minta pamit.
Sebenarnya tidak jelek juga kalau kita meninggalkan Pemuda
E dan mengikuti kucing itu. Mungkin saja berujung pada kejadian-
kejadian yang lebih menghibur atau mengharukan ketimbang ini.
Bayangkan, coba, apa yang bakal diperbuat seekor induk kucing
dan anak-anaknya yang kelaparan terhadap sebungkus muntahan
manusia. Ada begitu banyak kemungkinan, bukan? Namun apalah
yang bisa saya lakukan, Saudara-saudara. Penyelewengan dari
jadwal yang sudah ditetapkan adalah sesuatu yang tidak termaaf-
kan bagi seorang pemandu seperti saya.
Mari kita kembali ke Pemuda E yang sedang berjalan masuk
ke rumah.
Ia menutup pintu dari dalam, kembali ke kursinya, dan
memutar kenop speaker searah jarum jam. Maka terdengarlah bar
pertama “My Favorite Things” dari John Coltrane. Sedap betul.
Pemuda E berdiri lagi. Ia termangu-mangu sejenak sebelum
memilih beberapa buku dari rak, lalu kembali ke meja kerjanya
dengan langkah penuh semangat yang tak dibuat-buat.
Dan kita melihatnya mulai mengetik.
SEBAGAIMANA sudah dijanjikan, kini kita berada di rumah Pemuda E sekian jam setelah ia menyelesaikan sarapan. Kita mendengar bunyi air yang diguyurkan sedikit demi sedikit ke lubang jamban. Tentu itu Pemuda E yang sedang berak. Begitulah kebiasaannya. Memangnya apa yang kita harapkan? Toh makanan yang baru ditelan manusia tidak begitu saja mendorong tai dalam perutnya sampai keluar. Bahkan hal semacam itu butuh proses dan penanganan yang tepat.
Sesuatu tergeletak di atas meja kerja Pemuda E. Mari kita
perjelas dengan zoom-in dan sedikit tilt. Ternyata sebuah lembaran tipis yang merupakan hasil cetak olahan bubur kayu—lazimnya disebut kertas—yang di atasnya tertulis sejumlah simbol yang keseluruhannya berjumlah dua puluh enam dan bila dirangkai sedemikian rupa akan berfungsi sebagai salah satu cara berkomunikasi—untuk singkatnya kita sebut saja alfabet—yang membentuk kalimat-kalimat, baik yang panjang maupun pendek.
Itu artinya, dalam rentang antara ketika kita berada di peristiwa dua hari silam dengan ketika kita kembali ke sini, Pemuda E telah menulis sesuatu. Tulisan tersebut cukup panjang untuk kelasnya. Mungkin sekitar enam ratus kata atau lebih. Bila kita sarikan, kira-kira inilah pokok-pokoknya:
1. Harusnya kemarin lusa saya tolak permintaan si Karta untuk jadi pembicara dalam seminar yang diadakan kampusnya.
2. Saya memang masih muda, masuk 22 tahun akhir bulan nanti, tapi saya juga penulis seperti halnya si Kabul yang paruh baya itu. Dan kami sama-sama jadi pembicara. Tapi kenapa dia dapat honor sebanyak uang makan saya sebulan, sedangkan saya tidak dibayar sama sekali? Padahal saya bikin makalah dan dia tidak.
3. Apa maksudnya mereka kasih saya kenang-kenangan sebiji cangkir murah dan plakat kayu berlogo kampus? Bagus mereka tanamkan dalam-dalam semua rongsok itu di pantat mereka sendiri.
4. Kenapa saya yang jadi pembicara harus bayar retribusi dan
berurusan dengan tukang parkir keparat di halaman auditorium,
sementara dosen-dosen goblok peserta seminar itu cuma perlu
menganggukkan kepala mereka dari balik jendela oto dan dibalas
dengan bungkukan khidmat, dari si tukang parkir?
5. Semua penghinaan di atas sebetulnya bisa saya maafkan
dan saya tidak akan membuat catatan yang kurang pantas ini
untuk meredakan amarah seandainya tidak ada poin berikut: Keti-
ka seminar berlangsung, mereka memberi saya kursi yang kaki-ka-
kinya kelewat pendek dan goyah sehingga saya harus mendongak
saat berbicara sambil terus-menerus menjaga keseimbangan agar
tidak jatuh terjengkang, sedangkan si Kabul mendapat kursi yang
bantalannya empuk, tingginya cukup, dan kaki-kakinya mantap.
Itulah yang sesungguhnya membikin saya muntab.
Kini kita sudah menemukan apa yang ingin kita ketahui. Jika
anda sekalian menyenangi Pemuda E, tentu kita bisa mengamati-
nya lebih banyak lagi—namun lantaran tur ini sudah berakhir, hal
itu mesti dilakukan lain kali dengan paket yang berbeda. Paket
gratis memang hanya satu ini, tapi saya jamin, paket berbayar tidak
bakal mengecewakan anda. Kami punya koleksi yang lumayan
menarik: Gelora Seks Pemuda E, Pemuda E Dikeroyok 7 Anak Punk, Pemuda E Menjual Jiwanya kepada Iblis di Perempatan Jalan, dan sebagainya.
Kalau anda merasa bosan atau kesal dengan tur ini, janganlah
menyalahkan saya selaku pemandu. Toh anda mengikutinya tanpa
biaya, gratis-tis, seperti halnya membaca cerita pendek atau sajak-
sajak gelap di koran akhir pekan yang anda beli untuk mengetahui
kelanjutan berita kenaikan harga bahan bakar atau klasemen Liga
Inggris—atau sekadar untuk mengintip nipple-slip Maria
Sharapova.
Bagi anda yang merasa sangsi sewaktu Pemuda E mendaku
dirinya penulis, silakan periksa sejilid kertas yang ada di keranjang
sampah dekat meja. Itu pasti makalah yang ia tulis untuk seminar
yang lalu. Atau yang lebih baik, lihatlah layar komputernya di atas
meja. Ada sebuah tulisan yang belum ditutup. Sebuah cerita
pendek, barangkali.
Tapi hemat saya, sih, itu bukanlah cerita yang menarik.
Kalimat pertamanya saja berbunyi begini: “Pemuda E mencengkeram tutup stoples acar dengan jari-jari tangan kanan
dan mencekal bagian bawahnya dengan telapak tangan yang
lain…” ?
2013
Dea Anugrah tinggal di Jakarta, bekerja sebagai editor di sebuah
penerbit.
0 comments:
Post a Comment