Lagu Malam Braga
Kurnia Effendi
Sumber: Koran Tempo, Edisi 03/30/2003 SELALU ada cita-cita dalam benaknya, untuk mabuk
dan menyeret kaki di tengah malam, menyusuri Jalan
Braga menuju penginapan. Ia akan menikmati bagaimana
lampu-lampu jalan berpendar seperti kunang-kunang yang
bimbang; garis-garis bangunan pertokoan – yang berderet
tak putus – acapkali menghilang dari pandangan; dan
trotoar pun terasa bergelombang seperti sisa ombak yang
menepi ke pantai.
Angin malam akan membisikkan keloneng becak di
kejauhan, yang mengangkut beban dengan setengah
kantuk ke arah Tamblong atau Suniaraja. Sewaktu-waktu
mengirimkan pula jerit roda mobil yang sengaja menikung
dengan kecepatan tinggi di perempatan, dari arah
Banceuy, menjelang warung-warung sop-kaki-kambing di
sisi kali Cikapundung menutup dagangan. Ia akan sedikit
tersadar oleh suara mendadak itu, seperti cubitan
mengagetkan pada gendang telinga. Tapi sebentar saja. Ia
akan kembali melangkah dengan oleng, serupa kapal ferry
yang menunggu di seberang dermaga, terayun-ayun oleh
pertemuan gelombang selat. Bibirnya tersenyum dan
mengguman: “Ah, anak muda borjuis! Apalagi yang
mereka pikirkan selain makan terlambat? Menawar
perempuan? Mengajak singgah ke diskotik? Dan
menghabiskan sisa pagi di kamar motel? Puah! Ya,
apalagi yang mereka pertimbangkan?”
Bulan yang berlayar di sela langit, begitu tenang
dengan cahaya gadingnya, terapit jajaran rapat pertokoan
Braga yang hangus oleh gelap malam. Ia menatap sambil
terus melangkah di atas paving-block yang memang tidak
rata. Melampaui toko demi toko. Terseok di antara mobil
parkir yang nyaris beku oleh dingin malam. Serta-merta ia
pun merapatkan jaketnya.
Dibayangkannya seorang puteri melongok dari teras
Hotel Princess. Ia akan segera menunduk takzim, seolah
silau oleh gemerlap mahkota yang terayun di atas rambut
panjangnya. “Aku hanya seorang lelaki jelata,” pikirnya.
“Yang setiap malam mabuk dan tertatih melewati halaman
istanamu. Tak pantas aku menatap sepasang mata
beningmu, bola kristal yang memantulkan setiap sinar.
Jangan pandang aku! Segeralah menyingkir, atau masuk
ke balairung. Aku hanya numpang lewat, karena tak ada
rute lain, kecuali memutar kembali ke Jalan Asia-Afrika. Itu
artinya aku mempertaruhkan seluruh tenaga yang tersisa,
dan boleh jadi, akan jatuh sebagai buntalan tubuh di tepi
jalan. Lalu embun akan berkerumun dan menyelimutiku
sampai pagi datang, sampai seorang penyapu jalan
menemukan badan kumalku. Ayo, menepilah Sang Puteri!”
Ia pun tertawa dengan gigi yang tersingkap. Barisan
tulang putih dengan hiasan endapan nikotin. Uap alkohol
berhamburan memenuhi udara malam di sekitar mulutnya.
Ia tertawa karena menyadari bahwa di depan langkahnya
tidak ada seorang puteri pun. Hotel Princess hanya
menyalakan lampu pada ambang pintu. Warna redup neon
dari kotak kaca kusam itu menunjukkan bahwa masih ada
kegiatan rutin orang menginap, satu dua saja, karena
banyak hotel lebih baik di sekitarnya. Hampir semua
pelanggan terserap ke hotel-hotel dengan lobby lebih lebar
dan cahaya yang lebih terang. Ia masih tersenyum sambil
melewati penginapan muram itu. Matanya menyeberang
dan ditatapnya Amsterdam Café penuh perhatian.
Berhenti sejenak ia di trotoar, bersandar tiang lampu
jalan. Setiap kali menatap balkon Amsterdam Café,
dengan warna mediteranian, kuning tanah liat dan aksen
merah bata, selalu saja teringat akan penginapannya.
Tentu saja. Dulu ia meminta kepada pemilik penginapan
untuk membuat jendela kayu seperti tingkap yang
terpampang di atas kafé itu. Jendela yang akan
membuatnya leluasa melihat ke luar, ke arah gang berliku
dan sering basah oleh got yang meluap. Ke arah atap
rumah perkampungan yang menurutnya sangat artistik.
Terdiri dari genting aneka ragam, berlubang di sana-sini,
atau seng-seng berkarat yang gagal mengembalikan sinar
matahari. Parade jemuran, antena televisi, juga sangkar
burung. Beberapa tumpukan sampah, dan deretan MCK
yang begitu antusias menyiarkan bau amoniak.
Jendela itu menurutnya juga tampak artistik karena
terasa betul ketidakrapiannya. Jendela yang membuka
rahasia di luar kamarnya sebagai hawa kehidupan sejati.
“Apakah pembuat jendela itu masih hidup?” Ia sibuk
mengingat-ingat, karena ketika mengerjakan
permintaannya, tubuh dan usia tukang kayu itu tampak
sama renta. Buat apa dipikirkan?
Dilanjutkannya langkah, dengan kedua tangan masuk
ke dalam saku jaket. Teraba oleh jari-jarinya bungkusan
rokok yang membekas jumlah batang di dalamnya.
Mungkin akan terusir rasa dingin dari tubuhnya dengan
menghisap sebatang kretek filter. Ia berhenti sejenak,
menyalakan rokok, menghisap dan menghembus asap,
sebelum melangkah kembali. Sebentar lagi melewati Pos
Satpam Braga. Setidaknya ada tiga orang penjaga di
sana, satu di antaranya mengenakan seragam polisi. Di
depan mereka harus bisa bersandiwara, pura-pura
berjalan tegak. Asap rokok akan membuatnya terlindung
dari aroma bir pada uap nafasnya. Selekasnya ia melintas,
selekasnya ia melampaui kemungkinan dicurigai. Tiba di
tikungan toko buku Nusa Cendana, ia pun berhenti.
Etalase yang sudah kehilangan separuh lampunya itu
menampakkan buku-buku sastra. Sampul mereka mulai
menguning oleh tempias matahari dari arah timur. Puisi-
puisi di setiap halaman buku itu pasti jauh lebih awet dari
sampulnya. Seperti puisi-puisi yang bergelimang dalam
kepalanya. Ia masih hafal setiap kata yang pernah
ditulisnya untuk para kekasih di masa lalu. Ada nama Anne
dan Inne, yang tersimpan utuh dalam benaknya. Keduanya
menetap dalam dada, turut mengatur detak jantung, dan
membuatnya selalu tersenyum dalam luka memanjang.
Ah! Dengan ngilu ia mengusap wajahnya. Seperti
bermaksud membersihkan airmata yang pernah
membasahinya. Rambutnya yang mulai menyentuh bahu
disusur dengan sepuluh jari. Seraya membayangkan
segumpal hati yang bersitahan pada cinta tak sampai, hati
yang tak patuh pada realitas, dan diremasnya agar
menjadi serpih.
Lama ia tak menulis puisi semenjak membawa pulang
sejumlah besar puisi dari Italia. Padahal di negeri itu
seharusnya ia hanya melukis. Dengan model perempuan
berambut pirang, kulit bau asam, payudara selicin pualam.
Kadang-kadang tangannya perlu meremas untuk
meyakinkan volume dan kelembutannya. Agar lukisannya
lebih memiliki ruh, dan senantiasa mengalirkan hasrat
untuk dipandang. Sampai kini ia lebih bergairah melukis,
ketimbang menulis. Ia telah menyimpan banyak sketsa
dalam angan-angannya. Setiap berjumpa kertas dan
kanvas, ada saja yang mengucur dari jemarinya. Warna-
warna yang menyala, mengaduh, menerjang, mengaum,
merangsek, memendar, dan memancarkan tanaga
melampaui batas pigura. Garis-garis yang mewakili
gejolak perasaannya, tajam dan lugas, menyayat mata-hati.
Tiba-tiba ia disenggol seorang lelaki yang berjalan
terburu-buru. Membuatnya sadar untuk terus melangkah.
Penginapannya masih sekitar dua ratus meter, turun ke
arah viaduct. Sebelum jembatan sungai, ia akan berbelok
ke kiri, ke arah gelap. Tapi, sebelum itu, ia harus berhenti
dan menunggu di depan Braga Sky Nite Club. Ia berjanji
menjumpai Poppy. Tentu akan tampak seronok jika berdiri
di bawah siraman lampu. Maka ia duduk di warung
seberang, memesan minuman yang tidak menambah
jumlah halusinasi.
Hanya Poppy yang selalu membuatnya tertawa di pagi
buta, atau ketika siang terasa membosankan. Gadis itu
yang memaksanya membuat tujuh langkah tangga saja di
penginapannya. Padahal ia lebih menyukai angka delapan.
Tapi apa boleh buat: tengah malam, papan pijakan terakhir
dicopot dengan paksa oleh Poppy dan dihanyutkan ke
sungai Cikapundung. Ia terkejut, nyaris terperosok ketika
turun dari balkon kamarnya. Poppy yang memergoki hanya
tergelak dengan lesung pipinya. Ia pun menghukum Poppy,
dengan melukis wajah langsat itu mirip sketsa tentang
kerusuhan. Tetapi, sesungguhnya ia tak pernah benar-
benar marah kepada anak SMP yang begitu kerasan
berjam-jam menemaninya melukis. Bahkan kadang-
kadang dengan setengah telanjang, karena penginapannya
memang panas. Tak tertolong oleh kipas angin yang
berputar dengan suara menyedihkan. Poppy merasa
nyaman dengan hanya berpakaian dalam.
Hanya kepada Poppy ia tak pernah bisa murka. Setiap
kali hendak berbuat jahat kepada Poppy, selalu teringat
akan Tifa. Cukup sering ia meninggalkan buah hatinya itu.
Dalam perjalanan ke Eropa, atau pameran keliling
Nusantara. Di saat memenuhi obsesi Sepanjang Braga ini,
tak sanggup menipu diri: matanya digenangi bayang-
bayang Tifa.
Digelengkannya kepala. Ia meneguk habis air jeruk dari
gelasnya, lalu memesan lagi. Poppy belum muncul juga.
Padahal sudah menjelang pukul dua. Apakah ia tertidur
dalam diskotik itu? Atau telah lama menunggu dan pulang
dengan kecewa? “Terlambatkah aku?” pikirnya.
Ia merasa sangat bersalah, andaikata gadis itu pulang
lebih awal karena tak menemukan dirinya di pintu Braga
Sky. Tapi, boleh jadi Poppy lupa waktu, lupa janji, dan terus
terlena dengan musik yang mengalun keras. Atau gadis itu
akhirnya mencoba minum bir hitam dan lupa jumlah yang
harus ditenggak bagi sang pemula. Kalau benar, mabuklah
dia! Mungkin kepalanya jatuh di atas meja, dan tak
seorang pun peduli karena ruangan gelap dan suara
demikian bising. Bisa jadi, ia terhuyung ke toilet,
mengeluarkan seluruh isi perut, dan bersandar di dinding
keramik dingin dengan pandangan nanar. Atau seorang
pemuda memapahnya ke ruang karaoke, mencoba
menyadarkan: mula-mula menepuk pipi, memberikan
aroma minyak-angin, lalu… lalu melintas pikiran tak
senonoh di kepalanya.
“Poppy!” desisnya dengan terperanjat. Membayangkan
gadis itu tergolek di sebuah sofa, dalam sinar lampu yang
redam. Lalu seorang laki-laki melakukan tindakan yang
cukup beralasan, misalnya membuka bagian pusar untuk
mengolesi balsam. Merentangkan kedua tangan agar
nafasnya mudah mengalir. Mengendurkan risluiting jeans-
nya, supaya perut tidak terhimpit. Memikirkan sebuah cara
pernafasan buatan, untuk membuat Poppy tersengal,
terbatuk dan siuman.
Itu tak boleh terjadi! Ia bangun dari bangku.
Meninggalkan selembar uang di meja yang lengket oleh
tetesan pelbagai minuman. Lari menyeberangi jalan,
diselamatkan oleh sepi. Nyaris ia menabrak Satpam dan
seorang penjaga yang mengenakan blazer. Ia masuk ke
lobby dan mendapatkan gema suara penyanyi di sana-sini.
“Mau ke mana, Mas? Cover-charge-nya dulu…”
Seorang perempuan dengan busana minimalis menyapa.
“Aku? Mencari Poppy.”
“Poppy? Pegawai di sini atau pengunjung?”
“Hari Rabu ini aku janji bertemu dia di sini!” jawabnya
berang.
“Kalau begitu, besok malam datang lagi ya. Sekarang
hari Selasa.”
***
BETAPA menggembirakan bila dengan sempoyongan
ia bisa pulang ke penginapan. Memandang sekitar dengan
nuansa warna kabut. Cahaya lampu yang letih menyiram
wajah toko, berubah menjadi jutaan pixel. Ia akan melukis
semua itu dengan separuh ilusi. Ia akan menulis ratusan
sajak dengan sebagian hilang-ingatan. Ia berjalan pulang
bukan dengan matanya, melainkan dituntun langkah kaki
yang terbiasa mencium jejak sendiri di malam-malam
sebelumnya. Tujuh langkah tangga ke balkon penginapan.
Pintu kayu dengan cat terkelupas. Jendela yang meniru
tingkap Amsterdam Café. Dan kunci yang harus diputar
berulang-ulang.
Di ruang tidur, sekaligus tempat ia melukis, ditatapnya
kanvas yang haus. Seperti wanita yang merentangkan
kedua kakinya. Menunggu luapan nafsu sang pejantan.
Dengan ribuan pelangi dalam lensa matanya, ia
mengayun-ayunkan kuas seperti pemerkosa yang jalang.
Nafasnya memburu, raut wajahnya tegang. Ia menciptakan
komposisi warna dan garis yang tak mungkin terulang.
Sampai akhirnya terguling, lelap dengan bibir
membisikkan nama: Tifa…
Ia terbangun menjelang ngungun fajar, oleh suara mirip
hujan yang memukul kaca jendela. Ia terbangun oleh suara
gemuruh di luar kamar. Ia, sesungguhnya, terbangun oleh
sengat dingin yang menyentuh kulitnya. Dalam cahaya
muram, ia melihat sesosok tubuh tergolek di sisinya.
“Poppy!” Ia terpesona oleh pemandangan yang
membuat perasaannya hancur. Kulit gadis itu sedingin es
krim: cantik namun membeku. Pakaiannya basah kuyup,
lengket dan menggambarkan seluruh bentuk di baliknya. Ia
pun gemetar dan bimbang, tapi kemudian memeluknya.
“Poppy…”
Selanjutnya ia tak ingat apa pun, sampai azan subuh
membuatnya terjaga. Ia melompat dari lantai tempatnya
terlelap. Di sebelahnya, seorang gadis tersenyum begitu
manisnya. Sebelum jari-jari lentiknya menarik selimut dan
menutupi seluruh tubuhnya.
“Poppy, apa kamu lakukan di sini?”
Gadis itu menurunkan selimut dari wajahnya, seperti
menggoda. “Menjadi model lukisanmu,” jawabnya.“ Aku
sangat suka caramu melukis tadi malam. Pelukis sejati!”
“Semalam aku melukis?” Ia mencoba menyalakan
lampu yang membuat mata Poppy menyipit. Di atas
kanvas yang tegak menghadap jendela, ia melihat lukisan
gadis dalam posisi yang amat mengharukan. Meringkuk
letih dengan seluruh tubuh basah, namun jelas denyut nadi
di lehernya. “Semalam aku melukis?”
“Kau menjemputku di pintu Braga Sky. Kita melangkah
berpelukan, dalam aroma malam yang memabukkan.
Memasuki gelap, turun ke sisi jembatan. Mendaki tujuh
anak-tangga, masuk ke kamar. Memintaku mandi tanpa
melepas baju. Aku menggigil, berbaring bagai sekarat.
Tapi aku suka. Aku suka melihatmu melukis seperti
semalam.”
“Semalam aku melukis?” Ia mencoba menelusuri
ingatan, mengurai seluruh kejadian. Sejak bercita-cita ingin
mabuk dan menyeret langkah tengah malam menyusuri
sepanjang Braga. Ia membayangkan lampu yang mencair
seperti bubur emas, garis tembok pertokoan yang
memudar, dan trotoar menyerupai punggung ombak yang
lunak.
Angin malam membisikkan sepotong sajak untuk Anne,
untuk Inne, untuk Tifa, yang dibaca perlahan, seperti sunyi
keloneng becak dari kejauhan. Tapi ia tak pernah bisa
mengingat keinginan yang sesungguhnya. Mengapa ia
berada di sini? ***
(Untuk Acep Zamzam Noor, pelukis dan penyair).
Bandung-Jakarta-Lampung, 8 Oktober 2002
0 comments:
Post a Comment