Kisah Sang Penulis [7]
Penulis: Barokah Ruziati
“Dea, coba tebak?! seru sang penulis suatu hari, sambil berlari-lari masuk
ke ruang kerja. Saat itu Dea sedang mencetak beberapa bab yang akan
diserahkannya kepada Rani.
“Kenapa, Bu?” tanya Dea, heran. Sang penulis melambai-lambaikan selembar
surat di depan wajah Dea. Dea mengambilnya dan membacanya. Lalu, dibacanya
sekali lagi. Surat itu berisi permohonan untuk menjadi tamu di acara
bincang-bincang radio. Radio nomor satu di sebuah kota kecil. Radio tempat Dea
bekerja dulu. Setelah beberapa saat, Dea mengangkat wajahnya dan menatap sang
penulis dengan pandangan bertanya.
“Ya, bagaimana menurutmu? Ah, sudahlah, kau tak perlu menjawabnya. Aku akan
menerimanya. Aku tak peduli apa pendapatmu,” katanya, tanpa menunggu jawaban
Dea.
“Kenapa?” tanya Dea, lugu.
“Hei, biar sudah tua begini, pembaca bukuku masih banyak. Dan aku tak pernah
mau mengecewakan penggemar. Jadi, kalau penggemarku di kota itu menginginkan
kehadiranku, tentu saja aku akan datang. Satu hal lagi, kau ikut denganku,”
katanya, riang.
“Kenapa?” tanyanya, seakan hanya satu kata itu yang bisa dia ucapkan.
“Karena, kau asistenku dan asistenku harus menemani aku ke mana pun aku
pergi. Jadi, kemasi barang-barangmu, dan lusa kita berangkat. Ingat, bawa
bajumu yang bagus-bagus. Kau ingin tampak hebat kan di depan mereka?” katanya
sok tahu, lalu meninggalkan Dea dalam kepanikan.
“Aku juga heran. Sudah beberapa tahun terakhir ini dia tak pernah mau
meninggalkan Jakarta, kecuali ada urusan yang sangat penting. Dia selalu
beralasan kesehatannya sudah tidak memungkinkan untuk bepergian jauh. Makanya,
aku kaget waktu dia bilang mau menerima undangan ini,” jelas Rani, saat
berbincang dengan Dea di telepon malam itu.
“Mungkin ada alasan lain?” tanya Dea.
“Setahuku kota itu tak punya arti penting apa pun bagi dia. Penggemarnya
kan ada di mana-mana, dan selama ini dia mudah saja menolak undangan dari
kota-kota lain,” jawab Rani yakin.
“Mungkinkah dia yang meminta?” tanya Dea lagi.
“Dia minta diundang?!” seru Rani kaget. Lalu, dia tertawa. “Aku berani
bersumpah, kalau dia masih waras, dia tak akan pernah melakukan hal semacam
itu. Lebih baik dia makan tanah daripada meminta-minta orang untuk mengundang
atau mewawancarainya. Tapi, kita memang tak pernah bisa menebak jalan
pikirannya. Siapa yang tahu tentang apa yang sedang direncanakannya sekarang?”
Setelah mengakhiri pembicaraan mereka, Dea duduk termenung di kamar kosnya.
Mungkinkah ini hanya kebetulan? Kepalanya mendadak pusing. Bukan hanya karena
harus menghadapi masa lalu yang menyebalkan, tapi juga karena dia tak punya
baju yang cukup bagus untuk tampak hebat di depan mantan rekan-rekan kerjanya.
Ralat. Seorang mantan rekan kerjanya.
Mobil yang membawa mereka memasuki gerbang yang sudah begitu dikenal oleh
Dea. Matanya langsung tertumbuk pada barisan huruf di dinding depan yang
membentuk sebuah nama, Cakrawala FM. Dea melirik teman seperjalanannya yang
duduk di sampingnya. Seperti biasa, tak ada sesuatu yang salah tempat pada diri
wanita tua itu. Walaupun, tadi mereka harus berangkat pagi-pagi buta, terbang 1
jam lebih, dan langsung kemari tanpa beristirahat lebih dulu. Blus putih
bertepi renda dan celana panjang abu-abunya masih rapi, gulungan rambutnya tak
tercela. Dea tersenyum. Wanita ini begitu kuat dan yakin pada dirinya sendiri.
Semua orang yang baru bertemu dengannya pasti langsung merasa segan, termasuk
petugas humas dari radio yang menjemput mereka tadi.
Di dalam, beberapa orang sudah menanti kedatangan mereka. Dea berpikir,
seandainya dia masih bekerja di sini, pasti dia termasuk yang paling
bersemangat menyambut penulis idolanya ini.
Suasana canggung langsung terasa ketika mereka melihat Dea yang berdiri di
belakang sang penulis. Dea sangat menyadarinya dan dengan gugup mengamati
reaksi sang penulis. Apakah dia juga menyadarinya, pikir Dea. Tapi, wanita itu
tampak tidak terpengaruh dengan keadaan di sekelilingnya. Dia tersenyum dan
menyalami orang-orang yang menyambutnya. Dea pun mau tak mau ikut menyalami
mereka.
Sebagian dari mereka menyambut uluran tangannya dengan hangat, sinar di
mata mereka seakan ingin berkata bahwa mereka selalu menganggap Dea sebagai
teman. Walaupun mereka tak mengucapkan kata-kata sambutan yang manis, senyum
dan sorot mata mereka membuat kegugupan Dea mencair. Dia masih punya teman di
sini, teman yang tak terpengaruh oleh insiden konyol yang menimpa dirinya
beberapa waktu lalu.
Sampailah mereka di hadapan tuan besar pemilik radio. Dea tak pernah
melupakan wajah itu. Sepasang mata dingin di balik kaca mata tipis dan senyum
manis yang palsu, setidaknya menurut Dea begitu. Pria itu memperkenalkan diri
pada sang penulis dengan keramahan yang dibuat-buat. Dia mengucapkan terima
kasih, karena sang penulis mau meluangkan waktunya yang berharga untuk
berkunjung ke tempat mereka yang sederhana.
“Oh, Pak Gani, saya juga berterima kasih sudah diundang kemari. Ini asisten
saya, Dea,” katanya, sambil menarik tangan Dea dan memaksanya bersalaman dengan
Pak Gani. “Bapak harus berterima kasih pada Dea. Dia yang membujuk saya untuk
menerima undangan Bapak. Katanya, di kota ini penggemar saya banyak. Jadi,
mereka pasti senang kalau saya datang. Bapak sudah mempromosikan kehadiran
saya, ‘kan?” tanya sang penulis, tanpa memedulikan Dea yang salah tingkah.
“Tentu sudah, Bu, para pendengar kami pasti sudah tidak sabar ingin segera
berbincang dengan Ibu. Dari kemarin telepon tak pernah berhenti menanyakan
kepastian kedatangan Ibu,” jawabnya.
“Wah, banyak pendengar berarti banyak iklan, dong, Pak,” goda sang penulis,
yang langsung membuat Pak Gani terkekeh.
“Ya, lumayanlah, Bu,” katanya, riang.
“Tuh, Dea, kamu bawa rezeki buat radio ini. Ya, kan, Pak?” ucap sang
penulis, sambil tertawa.
Dea melirik ke belakang. Beberapa orang terlihat menahan senyum, ada juga
yang menyeringai senang. Sementara keceriaan di wajah Pak Gani langsung memudar
tersapu senyum kecut.
0 comments:
Post a Comment