Kisah Sang Penulis [6]
Penulis: Barokah Ruziati
Sang penulis tertawa, lalu mengacungkan jari tengah dan jari telunjuknya.
“Aku janji! Sumpah!
Dea tak bisa menahan senyumnya.
“Nah, begitu, dong. Ayo, sekarang giliranmu menceritakan kecurangan hidup
ini padamu,” kata sang penulis.
“Kecurangan hidup?” tanya Dea, tak mengerti.
“Ya, aku sudah dicurangi oleh hidup. Dulu sewaktu aku masih merokok, tak
pernah terjadi sesuatu apa pun padaku. Setelah aku berhenti, sudah lama sekali
aku berhenti, tiba-tiba aku dinyatakan terkena kanker paru-paru. Apa itu
namanya bukan curang?” keluh sang penulis, seperti mengadu.
Dea tertawa kecil. Ada-ada saja perumpamaan yang dipakainya.
“Ya, Dea, aku lebih suka bilang kecurangan hidup daripada takdir. Aku tak
mungkin memprotes takdir. Tapi, aku bisa mengumpat hidup karena sudah berbuat
curang padaku. Itu membuatku merasa lebih mudah menghadapi masalah. Nah, apakah
hidup pernah berbuat curang padamu?” tanyanya lagi.
Dea ragu-ragu. Dia sebenarnya masih enggan menceritakannya. Tapi, sebagian
dari dirinya ingin membagi kisah dengan wanita tua yang baik hati ini. Akhirnya,
mengalirlah kisah itu dari mulut Dea.
“Ya, tentu saja, hidup pernah curang padaku. Saat baru lulus D-3, aku
merasa sangat yakin dengan masa depanku. Aku pintar dan masih muda. Aku melamar
ke radio paling terkenal di kotaku dan langsung diterima sebagai penulis
naskah. Aku merasa menemukan duniaku di situ. Radio tempatku bekerja sering
mengangkat topik-topik menarik untuk dijadikan bahan diskusi dengan pendengar.
Kami juga sering mengundang para ahli untuk berbicara tentang berbagai masalah.
Mulai dari politik, sosial, budaya, gender, semuanya. Selain itu, kami juga
punya program sandiwara radio bertemakan topik-topik yang sedang hangat. Aku
bisa mencurahkan hasrat menulisku sepuasnya di situ.” Saat bercerita, wajah Dea
tampak berseri-seri.
“Lalu?” sang penulis mendorong Dea untuk bercerita lebih banyak lagi.
“Salah seorang penyiar adalah putri pemilik radio. Orang terpandang di
kotaku. Bisa dibilang dia yang punya kota. Yah... mungkin itu terlalu
berlebihan, tapi Ibu pasti paham maksudku,” kata Dea, seolah meminta untuk
dimengerti. “Aku yang saat itu sudah merangkap sebagai produser selalu diminta
mendampingi sang putri saat dia siaran.”
“Tentu saja, mereka butuh orang terbaik untuk menutupi kekurangannya,” kata
sang penulis, lugas.
Dea menatapnya dengan pandangan senang.
“Yah, Ibu yang bilang begitu, bukan saya. Suatu hari, mungkin karena banyak
yang harus aku kerjakan, atau mungkin karena aku sedang tidak konsentrasi, ada
beberapa kesalahan pada naskahku. Kesalahan cukup fatal, menyangkut nama dan
peristiwa. Mungkin aku memang salah, tapi seharusnya dia sebagai penyiar juga
memahami apa yang dia baca dan bisa mengoreksi kesalahan yang aku buat. Ketika
banyak pendengar yang protes, sang putri marah besar dan menimpakan semua
kesalahan padaku.
“Selanjutnya klise, Ibu pasti sudah bisa menebak. Aku dipecat dan namaku
tiba-tiba dihindari oleh para pencari pegawai di kota kecil kami. Aku menyerah,
lalu memutuskan pindah ke Jakarta. Mungkin keputusan yang terburu-buru dan
terlalu emosional. Aku tidak memperhitungkan bahwa wanita muda yang pintar dan
gesit di Jakarta jumlahnya ribuan. Pengalaman yang kumiliki seperti tidak ada
artinya di sini.
“Sebelum bertemu Ibu, aku sempat merasa salah langkah dan berniat pergi
dari kota besar ini. Tapi, berkat iklan yang dipasang Rani di koran, aku jadi
yakin kedatanganku ke Jakarta memang sudah merupakan jalan hidupku,” Dea
mengakhiri kisahnya.
“Aku tersanjung mendengarnya,” kata sang penulis, sambil menggenggam tangan
Dea. “Aku senang kau sudah merasa yakin bahwa ini adalah jalan hidupmu. Tapi,
hati-hati, jangan sampai hidup berbuat curang lagi padamu,” katanya,
mengingatkan.
Mereka seakan menemukan kekuatan baru. Dua jiwa yang terbebas dari sebuah
rahasia. Dua jiwa yang disatukan oleh kepahitan hidup. Dan, malam pun turun di
kota Jakarta yang gemerlap.
Lingga kembali kepadaku. Setelah berbulan-bulan tanpa kabar, dia
menghubungiku dan berkata ingin bertemu denganku. Awalnya dia menolak bertemu
di istana kami, yang sekarang lebih senang disebutnya sebagai pondok di atas
pohon. Aku tidak keberatan dengan sebutan itu. Apa pun namanya, asalkan Lingga
senang, aku terima saja. Setelah berdebat beberapa lama, akhirnya dia mengalah
dan kami berjanji akan bertemu sore ini.
“Ana,” panggilnya saat memasuki pintu istana. Aku mendongak dan menatap
wajah yang begitu kurindukan. Aku tersenyum, tak bisa berkata apa-apa. Hatiku
terlalu sesak oleh bahagia.
Lingga mendekat dan duduk di sampingku. “Maafkan aku,” katanya.
Aku mengangguk. Mana pernah aku marah padanya?
“Seharusnya aku tidak berkata sekeras itu padamu. Seharusnya aku lebih
sabar. Seharusnya aku tidak meninggalkanmu dan....”
“Sudahlah,” aku memotong ungkapan penyesalannya. “Itu sudah berlalu.
Sekarang kau sudah kembali ke sini. Tak ada lagi yang perlu disesali.”
Tapi, Lingga tetap gundah. Dia tepekur menatap lantai di bawah kakinya.
Untuk beberapa saat kami hanya terdiam. Aku ingin tahu apa gerangan yang masih
mengganjal di hatinya.
Ketika akhirnya Lingga mengangkat muka dan menatapku, aku terkesiap melihat
matanya yang berkaca-kaca. “Ada apa?” tanyaku.
“Aku tidak akan kembali ke sini,” jawab Lingga.
“Tapi....”
“Aku sudah menemukan apa yang kucari,” lanjutnya cepat-cepat. “Bersamanya
aku bisa menjalani kehidupan yang nyata dan sederhana. Saat masalah datang
bertubi-tubi, dia menguatkan aku untuk menghadapinya, dan bukan mengajak aku
melarikan diri darinya.”
“Maksudmu...,” aku mencoba menyela.
“Aku tak bisa mengikutimu. Kau juga tak bisa mengikuti aku. Kukira aku bisa
hidup di duniamu. Tapi...,” dia berhenti sebentar, menghela napas. “Ku mohon,
lihatlah ke luar sana. Semua sudah berubah, Ana, pahamilah itu. Aku mohon, demi
kebaikanmu sendiri, hentikan semua ini,” katanya, sambil menunjuk ke sekeliling
kami.
Aku menatapnya dalam-dalam. Aku tak percaya ada putri yang lain dalam
hidupnya. Lingga tampak kesal melihatku hanya diam. Memangnya dia berharap aku
akan berkata apa?
Tiba-tiba dia berdiri dan melangkah ke pintu. Sebelum keluar dia berpaling
dan berkata, “Selamat tinggal. Ana. Maafkan aku.”
Lalu, dia menghilang, membawa serta sebagian jiwaku dan meremukkan sebagian
lagi yang masih tersisa.
Aku bangkit dari dudukku dan mendekati gambar gadis kecil di padang rumput.
Perlahan-lahan, dengan hati tersayat, aku turunkan gambar itu. Aku tak mengerti.
Kenapa dia tidak mencoba mengajakku ke dunianya sebelum meninggalkan aku
sendiri di sini?
Dan saat itu aku tahu, Lingga tak akan pernah kembali lagi.
0 comments:
Post a Comment