Kisah Sang Penulis [9]
Penulis: Barokah Ruziati
“Ibu bisa masuk daftar hitam di radio itu.”
“Ah, Dea, mau daftar hitam atau daftar ungu, aku tidak peduli. Memangnya
aku mau hidup berapa lama lagi sampai perlu takut masuk daftar hitam? Tidak ada
pengaruhnya buatku.”
Saat itu mereka dalam perjalanan ke rumah Dea, dan sang penulis tidak
henti-hentinya menertawakan aksi cemerlangnya tadi. Dea akhirnya ikut tertawa
dan dalam hati bertanya-tanya, seandainya dia sendiri yang mengerjai Siska
seperti tadi, pasti rasanya puas sekali.
Sesaat sebelum turun dari mobil, sang penulis berkata, “Dea, mulai sekarang
kamu panggil aku Alena. Oke? Aku tidak mau dengar lagi kamu memanggilku
Ibu.”
PAMERAN TERAKHIR SANG MAESTRO
Kabar gembira bagi para penggemar dan pemburu lukisan Alm. Lintang Kala.
Dua tahun setelah kepergiannya, janda mendiang, Agustina, memutuskan untuk
melepas lima lukisan Lintang yang selama ini hanya menjadi koleksi pribadi dan
tidak pernah diperlihatkan kepada publik.
“Lukisan-lukisan itu mungkin punya arti khusus bagi suami saya, dan sebab
itu hanya dia simpan di studionya. Tapi, saya rasa akan lebih baik jika
lukisan-lukisan itu dimiliki oleh kolektor lukisan yang mungkin bisa lebih
mengapresiasi. Bukan saya tidak menghormati peninggalan suami saya, tapi sayang
jika lukisan-lukisan kesayangan beliau itu hanya teronggok di dalam studio,
tanpa ada yang menikmati keindahannya,” kata Agustina dalam konferensi pers
yang digelar kemarin sore.
Pameran ‘terakhir’ Lintang dibuka hari ini di Galeri Manik dan akan
berlangsung selama dua minggu penuh, untuk memberi kesempatan pada publik yang
ingin menikmati lukisan-lukisan tersebut, sebelum dilelang kepada kolektor
terbatas, bulan depan.
Dea membaca berita pendek di koran itu tanpa banyak menaruh minat. Dia
hanya penasaran karena sudah beberapa hari ini dia memergoki Alena sedang
menekurinya. Walaupun sudah tiga hari, koran itu masih tergeletak di ruang
tamu, terlipat tepat di bagian berita itu dimuat.
Saat makan siang, Dea memberanikan diri bertanya apakah Alena ingin melihat
pameran lukisan.
Alena terkesiap. “Kok, tiba-tiba kamu bertanya begitu?” katanya.
Dea tertawa. “Jangan kaget begitu, aku cuma melihat dari kemarin kamu
terus-menerus membaca berita tentang pameran lukisan Lintang Kala. Aku pikir,
kamu ingin melihatnya, tapi tidak tahu harus mengajak siapa,” jawabnya.
“Wah, kamu ini, kok, perhatian sekali, ya,” Alena masih heran.
“Iya, dong, aku kan asisten yang baik,” sahut Dea, bercanda. “Jadi, kita ke
pameran lukisan, nih?” tanyanya lagi.
“Ah, aku tidak terlalu berminat, kok. Cuma iseng saja baca berita itu.
Lagi pula, aku tidak yakin kamu suka.” Alena mengelak.
“Benar, nih, tidak mau? Pameran terakhir, nih. Kalau nanti sudah dibeli
kolektor, kita kan tidak bisa melihat lagi.”
Alena akhirnya menyerah. “Baiklah kalau kamu memaksa. Setelah makan siang,
kita ke Galeri Manik, ya.”
Setelah percakapan itu, Dea lihat, Alena lebih bersemangat.
Galeri Manik tidak terlalu ramai siang itu, sehingga mereka berdua bisa
leluasa mengamati lukisan yang dipamerkan. Kelima lukisan Lintang Kala yang tak
pernah diperlihatkan kepada publik itu dipajang berjauhan.
Lukisan pertama menggambarkan padang rumput luas dengan bunga-bunga kecil
di sana-sini, langit biru membentang, dan sebatang pohon di kejauhan. Dea
mengernyitkan dahi saat melihat judul lukisan. “Fantasy Prairie”. Mungkinkah
ada yang mau mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk lukisan seperti ini? Ya,
mungkin saja, Dea menjawab pertanyaannya sendiri. Dia tahu para kolektor tidak
segan-segan membeli lukisan yang dianggap potensial, dengan harga tinggi.
Lukisan kedua memperlihatkan dua anak yang sedang berlari sambil
bergandengan tangan, tampak dari belakang. Di sekeliling mereka tidak ada
gambar lain, hanya sapuan warna abu-abu dan putih. Judul lukisan itu Two
Angels. Dea mendengar Alena tertawa pelan. Dia berpaling menatap wanita tua
itu. Wajahnya terlihat senang dan matanya berbinar-binar.
“Apa yang lucu?” tanyanya.
“Pasti bukan dia yang memberi judul. Aku yakin. Lukisan-lukisan ini sama
sekali bukan untuk dijual,” kata Alena.
Dea tidak mengerti. Dari mana Alena tahu? “Kamu kenal Lintang?” tanyanya
heran.
Alena tidak menjawab, dia sudah beranjak ke lukisan berikutnya. Tapi, Dea
sudah kehilangan minat dan hanya mengikuti langkah kaki Alena. Bukan pameran
yang menarik, katanya dalam hati.
Lalu, tibalah mereka di lukisan terakhir. Terletak di tengah ruangan,
lukisan itu paling menonjol, karena ukurannya yang cukup besar dengan gambar
yang lebih meriah dari lukisan-lukisan sebelumnya. Seorang gadis manis
berpakaian putih, duduk di tengah rumpun bunga berwarna-warni. Kuntum-kuntum
bunga tersemat di bajunya, terselip di rambutnya, dan melingkar di pergelangan
tangannya. Di kejauhan, sebuah kastil berdiri megah, keempat menaranya
menjulang menembus awan. Dea merasa tidak asing dengan lukisan ini. Dia yakin
pernah melihatnya. Tapi, di mana?
Sebelum Dea berhasil membongkar ingatannya, Alena sudah menariknya keluar
dari galeri, langsung ke jalan, kemudian mendorongnya masuk ke taksi pertama
yang berhasil dihentikannya.
Mereka berkendara dalam diam. Begitu banyak yang ingin ditanyakan Dea, tapi
Alena tampak berpikir keras dan wajahnya menunjukkan kesan tak ingin diganggu.
Karena itu, Dea memutuskan tindakan terbaik yang dapat dilakukannya adalah
tidak mengatakan apa pun.
Ketika taksi berhenti di depan rumah Alena, wanita itu bergegas menyelipkan
uang pembayaran taksi ke genggaman Dea seraya berkata, “Sampai besok,
Dea.”
Setelah itu dia turun dan memberi tanda pada sopir taksi untuk melanjutkan
perjalanan. Dea tak sempat berkata apa-apa dan saat dia menoleh ke belakang,
dilihatnya Alena masuk ke rumahnya.
sponsored by
0 comments:
Post a Comment