Perampokan Toko Roti Jilid 2
penulis : Haruki Murakami
AKU masih belum yakin apakah memberitahu istriku tentang pengalamanku
merampok sebuah toko roti adalah keputusan yang benar. Tapi kemudian aku
berpikir, ini mungkin bukanlah soal benar atau salah. Katakanlah, keputusan
yang salah bisa menghasilkan sesuatu yang benar, juga sebaliknya. Aku sendiri
meyakini bahwa, kenyataannya, kita tak pernah benar-benar memilih apa pun.
Sesuatu terjadi. Atau tidak.
Jika kau melihat dengan caraku ini, maka itu terjadi begitu saja bahwa aku
memberitahu istriku tentang pengalamanku merampok sebuah toko roti. Aku
sebelumnya tak berniat membahasnya—sejujurnya aku lupa. Tapi itu bukan juga
sesuatu semacam apa-tadi-kubilang.
Yang mengingatkanku pada perampokan toko roti itu adalah rasa lapar yang
tak tertahankan. Rasa lapar ini menyerangku tepat sebelum jam dua dini hari.
Aku dan istriku telah makan malam sekitar jam enam, merayap ke tempat tidur
sekitar setengah sepuluh, dan terlelap. Lalu entah kenapa, kami terbangun
bersamaan. Beberapa menit kemudian rasa lapar itu tiba-tiba menghantam kami
seperti angin tornado dalam The Wizard of Oz. Rasanya luar biasa;
benar-benar menghantam kami.
Di lemari es kami tak ada satu pun benda yang bisa dikategorikan sebagai
makanan. Kami punya sebotol French dressing, enam kaleng bir, dua
bawang layu, sepotong mentega, dan sekotak pengharum lemari es. Saat itu baru
dua minggu kami menikah dan kami belum saling memahami bagaimana semestinya
kami mengatur kebutuhan makan masing-masing.
Aku bekerja di sebuah firma hukum saat itu, sedangkan istriku seorang
sekretaris di sebuah sekolah desain. Umurku dua puluh delapan atau dua puluh
sembilan—entah kenapa aku tak bisa mengingat dengan pasti tahun kami
menikah?—dan ia dua tahun delapan bulan lebih muda dariku. Toko makanan adalah
hal terakhir yang melintas di benak kami.
Kami berdua merasa terlampau lapar untuk bisa kembali tidur, tapi rasanya
membosankan hanya berbaring di sana. Di sisi lain, kami juga merasa terlampau
lapar untuk melakukan sesuatu yang berguna. Kami keluar kamar dan menuju dapur,
dan berakhir dengan duduk berseberangan di meja makan. Apa kiranya yang bisa
membuat kami merasa selapar itu?
Kami bergiliran membuka lemari es dan berharap isinya berubah. Tapi berapa
kali pun kami mencoba, isinya tetap sama. Bir dan mentega danFrench dressing dan
pengharum lemari es. Memang bisa saja bawang itu digoreng, tapi tak akan mampu
dua bawang layu itu mengenyangkan kami. Lagipula bawang biasanya dimakan
bersama sesuatu. Ia bukan jenis makanan yang bisa kaugunakan untuk mengatasi
rasa laparmu.
“Apakah Nona berkenan menggoreng beberapa French dressing dan
pengharum lemari es?”
Aku berharap ia mengabaikan guyonanku dan memang seperti itu. “Ayo kita
keluar mencari restoran 24 jam,” ujarku. “Di jalan raya pasti ada setidaknya
satu.”
Ia menolak saranku itu. “Tak boleh. Kau tak seharusnya makan selepas tengah
malam.” Untuk yang satu ini, ia memang kolot.
Aku menarik napas sejenak dan berkata, “Kurasa begitu.”
Kapan pun istriku mengutarakan sebuah pendapat, pada saat itu apa yang
dikatakannya bergaung-gaung di telingaku seperti firman. Mungkin itulah yang
dialami pengantin baru. Entahlah. Tapi ketika ia mengatakan hal tadi kepadaku,
aku mulai berpikir bahwa apa yang kami rasakan itu bukanlah rasa lapar yang
biasa, melainkan istimewa; bukan rasa lapar yang bisa diatasi dengan mendatangi
restoran 24 jam di jalan raya.
Rasa lapar yang istimewa. Seperti apa kira-kira itu?
Mungkin aku bisa menggambarkannya dalam adegan-adegan seperti ini:
Satu, aku berada di sebuah perahu kecil, mengapung di laut tenang.Dua,
aku melihat ke bawah, dan di dalam air aku melihat puncak sebuah gunung api
menyembul dari dasar laut. Tiga, puncak gunung api itu seperti
cukup dekat dengan permukaan air, meski entah seberapa dekat persisnya aku tak
tahu. Empat, sifat air yang tembus pandang mempengaruhi persepsiku
akan jarak.
Itu adalah deskripsi akurat tentang gambaran yang menyeruak di benakku
selama dua-tiga detik di antara penolakan istriku atas saranku untuk keluar
mencari restoran 24 jam di jalan raya dan persetujuanku dengan berkata, “Kurasa
begitu.” Karena aku bukan Sigmund Freud, tentu saja, aku tak bisa menganalisa
dengan tepat gambaran itu mengacu kepada apa. Tapi intuisiku mengatakan, itu
semacam firman. Karena itulah aku begitu saja menyepakati pendapatnya itu.
Kami melakukan satu-satunya yang bisa kami lakukan: membuka kaleng-kaleng
bir. Setidaknya masih jauh lebih baik daripada mengunyah bawang. Istriku tak
begitu menyukai bir, sehingga ia membagi-bagi kaleng-kaleng bir itu: dua
untuknya, empat untukku. Sementara aku meminum kaleng bir pertamaku, ia
mencari-cari sesuatu di lemari dapur layaknya seekor tupai di bulan November.
Tak lama kemudian, ia mengambil sebuah kotak yang di dalamnya ada empat kue
keju. Kue-kue itu adalah sisa, sudah lembek. Kami memakannya masing-masing dua
dan berusaha menikmati setiap remahnya.
Tapi sia-sia. Di tengah-tengah rasa lapar kami yang seluas dan
setakterbatas Sinai Peninsula, kue-kue mentega dan berkaleng-kaleng bir itu tak
meninggalkan jejak.
Waktu menetas dari kegelapan seperti sebuah beban berat di usus ikan.
Kubaca apa yang tertulis di kaleng bir. Kupandangi jam tanganku. Kutengok pintu
lemari es. Kubuka-buka halaman koran kemarin. Kugunakan ujung sebuah kartu pos
untuk mengumpulkan remah-remah kue mentega tadi di atas meja.
“Aku tak pernah merasa selapar ini dalam hidupku,” cetus istriku.
“Jangan-jangan ini ada kaitannya dengan pernikahan.”
“Bisa jadi iya,” sahutku. “Bisa jadi tidak.”
Sementara ia mencari-cari sisa-sisa makanan lainnya, aku bersandar di ujung
perahuku dan menatap ke bawah ke puncak gunung api di bawah air itu. Air laut
yang jernih membuatku merasa gamang, seolah-olah sebuah cekungan terbentuk di
suatu tempat di pembuluh darahku—sebuah gua yang tertutup rapat dan tak
memiliki tempat masuk ataupun keluar. Perasaan aneh ini—perasaan antara
kehadiran yang nyata dan yang tidak—menghadirkan padamu rasa takut yang mungkin
kaudapati ketika memanjat ke puncak menara tinggi. Gabungan antara rasa lapar
dan rasa takut akan ketinggian ini merupakan pengalaman baru bagiku.
Namun jauh sebelumnya aku sebenarnya pernah merasakan sesuatu semacam ini.
Perutku seperti benar-benar kosong saat itu. Kapankah itu? Ah ya, pastilah itu—
“Saat aku merampok sebuah toko roti,” gumamku.
“Toko roti? Bicara apa kau?”
Dan begitulah semua ini dimulai.
“SUATU kali aku pernah merampok sebuah toko roti. Dulu sekali. Bukan sebuah toko roti yang besar. Bukan juga yang terkenal. Roti di sana tidaklah istimewa. Dan tidak buruk juga. Salah satu toko roti biasa tepat di tengah-tengah blok pertokoan. Seorang lelaki tua mengelolanya seorang diri. Ia memanggang roti di pagi hari, dan ketika semua telah terjual habis, ia menutup toko.”
“Kalau memang kau ingin merampok sebuah toko roti, kenapa toko itu?”
“Ya, kupikir tak ada gunanya merampok sebuah toko roti yang besar. Yang
kami inginkan saat itu cuman roti, bukan uang. Kami toh bukan perampok
betulan.”
“Kami? Kami siapa?”
“Aku dan seorang teman dekatku saat itu. Sepuluh tahun lalu. Kami begitu
miskin sampai-sampai tak sanggup membeli pasta gigi. Tak pernah cukup makan.
Kami melakukan berbagai macam pekerjaan kasar hanya untuk bisa makan. Merampok
toko roti adalah salah satunya.”
“Aku tak mengerti.” Ia menatapku bingung. Matanya itu seperti tengah
mencari-cari sebuah bintang yang memudar di langit pagi. “Mengapa kau tak
mencari kerja—kerja sungguhan maksudku? Kau bisa bekerja setelah sekolah. Itu
tentu jauh lebih mudah daripada merampok sebuah toko roti.”
“Kami tak ingin bekerja. Kami keras kepala tentang yang satu ini.”
“Ya.. sekarang kau bekerja, kan?”
Aku mengangguk dan meminum seteguk bir. Lalu aku menggosok mataku. Semacam
lumpur berbau bir muncul dan menetas di dalam kepalaku, dan aku masih bertarung
dengan rasa laparku yang parah itu.
“Waktu berubah, orang pun begitu,” ujarku. “Ayo kita kembali tidur. Nanti
kita harus bangun pagi.”
“Aku tidak mengantuk. Aku ingin kau melanjutkan ceritamu tentang perampokan
toko roti itu.”
“Tak ada yang perlu diceritakan. Tak ada yang terjadi. Tak ada yang
menarik.”
“Berhasilkah?”
Aku menyerah dan mengambil sekaleng bir lagi dan membukanya. Sekali ia
tertarik terhadap sebuah cerita, ia harus mendengar cerita itu secara
keseluruhan. Begitulah ia.
“Ya.. bisa dibilang berhasil. Bisa juga dibilang tidak. Kami memang
mendapatkan apa yang kami mau. Tapi, sebagai sebuah perampokan, itu gagal. Si
pemilik toko roti memberi kami roti-rotinya sebelum sempat kami mengambil
roti-roti itu darinya.”
“Cuma-cuma?”
“Tidak juga. Tidak cuma-cuma. Dan di sinilah masalahnya.” Aku menggeleng
beberapa kali. “Si pemilik toko roti itu penggila musik klasik, dan ketika kami
tiba di sana ia sedang menikmati musik pembuka dari sebuah album Wagner. Ia pun
menawari kami sebuah kesepakatan. Jika kami mendengarkan keseluruhan album itu,
kami boleh mengambil sebanyak apa pun roti yang kami mau. Aku mendiskusikannya
sebentar dengan temanku itu, dan kami pun menyetujuinya. Itu bukan sesuatu yang
sulit, dan tak akan menyakiti siapa pun, pikirku saat itu. Jadi kami masukkan
kembali pisau-pisau yang kami pegang ke dalam tas, menarik sepasang kursi, dan
mendengarkan musik pembuka dari Tannhauser danThe Flying
Dutchman.”
“Dan setelah itu, kalian mendapatkan roti yang kalian mau?”
“Ya. Hampir semua yang ada di toko itu. Kami memasukkannya ke dalam tas dan
membawanya pulang. Roti-roti itu cukup untuk konsumsi empat atau lima hari.”
Aku meneguk bir lagi. Layaknya gelombang tanpa suara dari gempa bumi di bawah
laut, rasa kantukku membuat perahuku terayun-ayun pelan untuk waktu yang lama.
“Tentu saja, kami berhasil menjalankan misi. Kami mendapatkan roti itu.
Tapi kau tak bisa mengkategorikan apa yang kami lakukan itu sebagai tindakan
kriminal. Itu lebih berupa pertukaran. Kami mendengarkan musik Wagner
bersamanya, dan sebagai gantinya, kami mendapatkan roti itu. Dari segi hukum,
itu tentu lebih berupa sebuah transaksi komersial.”
“Tapi mendengarkan musik Wagner bukan sebuah pekerjaan,” ujarnya.
“Ya, tentu saja bukan. Kalau saja saat itu si pemilik toko roti meminta
kami mencuci piring atau membersihkan jendela atau sesuatu semacamnya, kami
mungkin tak akan mau. Tapi bukan itu yang ia minta. Yang ia minta dari kami
hanyalah mendengarkan musik Wagner itu dari awal sampai akhir. Siapa pun
kupikir tak akan ada yang menduga hal itu. Maksudku—Wagner? Seakan-akan si
pemilik toko itu tengah menaruh kutukan di tubuh kami. Sekarang jika aku
memikirkannya, saat itu seharusnya kutolak saja tawarannya itu. Kami seharusnya
menakut-nakutinya dengan pisau-pisau yang kami bawa, dan mengambil begitu saja
roti-roti itu. Dengan begitu aku tak akan punya masalah setelahnya.”
“Memangnya kau punya masalah?”
Aku menggosok mataku lagi.
“Begitulah. Bukan sesuatu yang serius sebenarnya. Tapi sejak saat itu,
segala sesuatunya mulai berubah. Rasanya seperti titik balik. Misalnya, aku
kembali ke universitas, lulus, dan mulai bekerja di sebuah perusahaan dan
belajar untuk ujian pengacara, dan aku bertemu denganmu dan menikahimu. Aku tak
pernah melakukan hal-hal gila itu lagi. Tak ada lagi perampokan toko roti.”
“Begitu saja?”
“Ya, begitu saja.” Aku menenggak kaleng bir terakhir. Keenam kaleng bir itu
telah kosong. Enam penutup kaleng itu menumpuk di asbak layaknya sisik putri
duyung.
Tentu saja, tidak benar bahwa tak ada yang terjadi sebagai hasil dari
perampokan toko roti itu. Ada beberapa hal yang benar-benar bisa kuanggap
masalah serius, tapi aku tak ingin menceritakan hal itu kepada istriku.
“Jadi, temanmu ini, apa yang dilakukannya sekarang?”
“Aku tidak tahu. Dugaanku, ia melakukan sesuatu yang lebih hebat daripada
yang kita lakukan. Kita sedang bicara tentang keterkaitan antara roti dengan
musik Wagner setelah serangan itu. Kami terus bertanya-tanya apakah kami telah
melakukan sesuatu yang benar. Kami tak bisa memutuskan. Tentu saja, jika kau
melihatnya dari segi moral, kami telah melakukan sesuatu yang benar. Tak ada
yang terluka. Setiap orang mendapatkan apa yang diinginkannya. Si pemilik toko
itu, aku masih tak mengerti mengapa ia melakukan hal itu, tapi propaganda musik
Wagnernya berhasil. Dan kami pun berhasil mendapatkan roti-roti yang kami
inginkan itu.”
“Tapi tetap saja, kami merasa bahwa kami telah melakukan sebuah kesalahan.
Dan karena suatu hal, kesalahan itu teronggok begitu saja, tak terpecahkan,
menciptakan bayangan hitam di kehidupan kami. Karena itulah aku tadi
menyebutnya ‘kutukan’. Itu benar. Itu seperti kutukan.”
“Menurutmu kutukan itu masih ada padamu, saat ini?”
Aku mengambil enam penutup kaleng bir itu dari asbak dan menyatukannya
membentuk sebuah gelang.
“Siapa tahu? Entahlah. Menurutku dunia ini penuh kutukan. Sulit memastikan
kutukan mana yang membuat sesuatu berjalan baik dan yang sebaliknya.”
“Itu salah.” Ia menoleh menatapku. “Kau akan tahu, jika kau memikirkannya.
Dan jika kau, kau seorang, tidak mengatasi kutukan itu, ia akan terus melekat
padamu seperti sakit gigi. Ia akan menyiksamu hingga kau mati. Dan bukan hanya
kau. Aku juga.”
“Kau?”
“Sekarang ini aku teman dekatmu, kan? Menurutmu kenapa kita berdua begitu
kelaparan seperti ini? Aku tak pernah, sekali pun tak pernah, dalam hidupku,
merasa lapar selapar ini, sampai akhirnya aku menikah denganmu. Tidakkah
menurutmu ini aneh? Kutukanmu menimpaku juga.”
Aku mengangguk. Kucerai-beraikan penutup-penutup kaleng itu dan kuonggokkan
kembali ke asbak. Aku tak tahu apakah yang dikatakan istriku itu benar atau
tidak, tapi aku merasa ia tengah menuju ke sesuatu.
Rasa lapar itu kembali menyerang kami, lebih kuat dari sebelumnya, dan aku
jadi sakit kepala. Setiap tusukan di perutku mengalir ke otakku lewat semacam
kabel, seakan-akan tubuhku diperlengkapi dengan alat-alat seperti itu.
Aku menengok lagi gunung api bawah lautku. Airnya bahkan lebih jernih dari
sebelumnya. Jauh lebih jernih. Seandainya kau tidak cukup jeli, kau mungkin tak
akan menyadari air itu ada. Rasanya perahu itu tengah melayang-layang di udara,
tanpa ada apa pun yang menyangganya. Aku bisa melihat batu-batu di dasar laut.
Yang perlu kulakukan hanyalah menjangkaunya dan menyentuhnya.
“Kita baru hidup bersama selama dua minggu,” ujarnya, “dan selama itu aku
terus merasakan sesuatu yang aneh, kehadiran yang aneh.” Ia menatap mataku
lekat-lekat dan menaruh kedua tangannya di atas meja. Jari-jemarinya saling
menyatu. “Tentu saja, aku tak tahu kalau itu sebuah kutukan, sampai sekarang.
Ini menjelaskan semuanya. Kutukan itu masih ada padamu.”
“Kehadiran seperi apa yang kaurasakan itu?”
“Seperti ada sebuah gorden yang berat dan berdebu, yang tak pernah dicuci
selama bertahun-tahun, menggantung dari langit-langit.”
“Mungkin itu bukan kutukan. Mungkin itu aku,” ujarku, tersenyum.
Tapi ia tak tersenyum.
“Itu bukan kau,” ujarnya.
“Oke. Katakanlah kau benar. Katakanlah itu sebuah kutukan. Lalu apa yang
bisa kulakukan?”
“Rampok sebuah toko roti lainnya. Sekarang juga. Cuma itu satu-satunya
cara.”
“Sekarang?”
“Ya, sekarang. Ketika kau masih merasa lapar. Kau harus menyelesaikan apa
yang dulu tak kauselesaikan.”
“Tapi ini tengah malam. Toko roti mana yang buka tengah malam?”
“Kita akan menemukannya. Tokyo kota yang besar. Pasti ada setidaknya satu
toko roti yang buka 24 jam.”
KAMI masuk ke mobil Corolla tua milikku dan mulai melalui jalan-jalan di Tokyo, jam setengah tiga pagi, mencari-cari sebuah toko roti yang masih buka. Begitulah kami: aku memegang setir, istriku menjadi petunjuk arah. Kami mengamati jalanan seperti dua ekor elang lapar mencari mangsa. Tergeletak di kursi belakang, panjang dan kaku layaknya ikan mati, adalah sebuah senapan otomatis Remington. Sarungnya bergemerisik kering di kantung jaket istriku. Kami juga membawa dua topeng ski di laci kecil di dekat setir. Istriku punya senapan, aku baru tahu. Juga topeng-topeng ski. Padahal tak satu pun dari kami pernah berski. Tapi ia tak menjelaskan apa pun dan aku pun tak menanyainya. Kehidupan pasca-menikah memang aneh, kupikir.
Dengan segala perlengkapan itu, kami tak juga menemukan sebuah toko roti 24
jam. Aku melajukan mobil di jalan yang lengang, dari Yoyogi ke Shinjuku, ke
Yotsuya dan Akasana, dan Aoyama, dan Hiroo, dan Roppongi, dan Dikanyama, dan
Shibuya. Tokyo dini hari menyajikan beragam jenis manusia dan toko, tapi tidak
toko roti.
Dua kali kami bertemu mobil patroli. Yang satu terparkir di sisi jalan,
berusaha tidak mencolok mata. Yang satu lagi menyusul kami dan melaju cepat,
hingga akhirnya jauh dan tak terlihat lagi. Di dua kesempatan itu aku merasakan
lenganku berkeringat dan bergetar, tapi konstenrasi istriku tak tergoyahkan. Ia
masih mencari-cari toko roti itu. Setiap kali ia berganti posisi, sarung
senapan di kantung jaketnya itu bergemerisik layaknya kulit soba di bantal
lama.
“Kita lupakan saja,” ujarku. “Tak ada toko roti yang masih buka di dini
hari seperti ini. Kau perlu membuat rencana lebih dulu untuk melakukan hal
semacam ini atau—”
“Hentikan mobil!”
Aku menginjak rem.
“Ini tempatnya,” ujarnya.
Toko-toko di sepanjang jalan telah tutup, menciptakan kegelapan dan
dinding-dinding sunyi di sisi lain. Plang tempat pangkas rambut menggantung di
kegelapan seperti bola mata dari kaca yang mengerikan. Sebuah plang McDonald
bersinar sekitar dua ratus yard dari sana. Hanya itu.
“Aku tak melihat toko roti,” kataku.
Tanpa mengucapkan apa pun, ia membuka laci kecil di dekat setir dan
mengambil segulungan plester. Memegang benda itu, ia keluar dari mobil. Aku
keluar mengikutinya. Berjongkok di dekat bemper depan, ia menggunting plester
itu dan menggunakannya untuk menutupi plat nomor mobil. Ia lantas bergerak ke
belakang, dan melakukan hal yang sama. Gerakan-gerakannya sangat efisien. Aku
duduk di pinggir jalan dan mengamatinya.
“Kita akan merampok McDonald itu,” ujarnya, begitu tenangnya seakan-akan ia
tengah mengumumkan menu makan malam.
“McDonald bukan toko roti,” sergahku.
“Ia semacam toko roti. Mirip,” ujarnya. “Kadang kita harus sedikit
berkompromi. Ayo.”
Aku melajukan mobil ke McDonald itu dan memarkirkannya di lapangan parkir.
Istriku menyerahkan padaku senapan yang terbungkus selimut itu.
“Seumur-umur aku tak pernah sekali pun menggunakan pistol,” kataku.
“Kau tak perlu menembakkannya. Kau hanya perlu memegangnya. Oke? Lakukan
saja seperti yang kusuruh. Kita masuk, dan segera setelah mereka berkata
‘Selamat datang di McDonald’, kita kenakan topeng kita. Paham?”
“Paham. Tapi—”
“Lalu kauarahkan senapan itu ke wajah mereka dan minta semua karyawan dan
pelanggan berkumpul. Cepat. Sisanya aku yang urus.”
“Tapi—”
“Berapa banyak hamburger menurutmu yang kita butuhkan? Tiga puluh?”
“Kukira itu cukup.” Sambil mendesah, aku mengambil senapan itu dan
memastikan selimut itu menutupinya. Benda itu rupanya seberat sekarung pasir
dan segelap malam gulita.
“Haruskah kita melakukan ini?” tanyaku, separuh ke istriku dan separuh ke
diriku sendiri.
“Tentu saja. Harus.”
Mengenakan topi McDonald, seorang perempuan di konter memberiku senyum a
la McDonald dan berkata, “Selamat datang di McDonald.” Aku tak mengira
perempuan sepertinya masih bekerja di McDonald selarut ini, sehingga sosoknya
itu sedikit membuatku bingung. Tapi sedikit saja. Aku mendapatkan kesadaranku
kembali dan mengenakan topeng. Dihadapkan pada dua orang pelanggan yang
mengenakan topeng, perempuan itu ternganga menatap kami.
Tentu saja panduan melayani pelanggan a la McDonald tidak
menyebutkan apa pun tentang bagaimana menghadapi situasi seperti itu. Perempuan
itu sedang akan mengucapkan sesuatu setelah “Selamat datang di McDonald” namun
mulutnya tampak merapat dan kata-kata itu urung keluar. Meski begitu, layaknya
bulan sabit di langit fajar, sebuah senyum profesional terbentuk di ujung
bibirnya.
Secepat yang aku bisa, aku melepaskan selimut yang semula menutupi senapan
dan mengarahkan senapan itu ke meja-meja di sana, tapi satu-satunya pelanggan
yang ada adalah sepasang anak muda—pelajar, mungkin—dan mereka bersandar di
meja plastik itu, tampak tertidur. Kepala mereka berdua dan dua gelas strawberry-milk-shake tersusun
di meja seperti sebuah patung a la avant-garde. Mereka tidur
layaknya orang mati; tak terlihat akan mengganggu apa yang kami lakukan. Aku
mengalihkan senapanku kembali ke konter.
Saat itu, total ada tiga karyawan McDonald. Si perempuan di konter, si
manajer—seorang lelaki dengan wajah pucat dan berbentuk telur, mungkin di akhir
empat puluhan—dan seseorang di dapur—seorang lelaki kurus tanpa ekspresi.
Mereka duduk berkumpul di belakang mesin kasir dan mengamati moncong senapan
yang kuarahkan kepada mereka layaknya para turis mengamati sumur suku Inca. Tak
ada yang berteriak, dan tak ada yang gerak-geriknya mencurigakan. Senapan itu
cukup berat sehingga aku harus menaruh larasnya di atas mesin kasir; jariku di pelatuk.
“Akan kuberikan uangnya,” ujar si manajer, suaranya parau. “Mereka
mengambilnya tadi jam sebelas, jadi kami tak punya banyak. Kalian boleh
mengambil semuanya. Kami toh diasuransikan.”
“Turunkan penutup jendela dan matikan tanda-masih-buka.”
“Tunggu dulu,” sergah si manajer. “Aku tak bisa melakukannya. Aku akan
dimintai pertanggungjawaban jika menutup restoran ini tanpa izin.”
Istriku mengulang perintahnya, dengan pelan. Lelaki itu tampak ketakutan.
“Sebaiknya kaulakukan apa yang ia minta,” ujarku.
Lelaki itu memandang moncong senapan di atas mesin kasir, lalu menatap
istriku, lalu kembali ke senapan itu. Akhirnya ia menyerah. Ia mematikan
tanda-masih-buka dan menekan tombol yang membuat penutup jendela bergerak
turun. Kuarahkan mataku lekat-lekat ke lelaki itu, khawatir ia akan menekan
alarm anti-maling. Tapi rupanya, McDonald tak punya alarm seperti itu. Mungkin
sebelumnya memang tak pernah ada seseorang yang mencoba merampok McDonald.
Penutup jendela itu membuat suara ribut ketika menutup, seperti sebuah
keranjang kosong dihantam pemukul baseball. Tapi sepasang anak muda yang tidur
itu tak sedikit pun terusik. Bicara soal tidur yang lelap, aku tak pernah
melihat yang seperti itu dalam bertahun-tahun.
“Tiga puluh burger ukuran besar. Dimakan di rumah,” ujar istriku.
“Biar kuberikan saja seluruh uangnya,” ujar si manajer, memelas. “Akan
kuberikan melebihi yang kalian butuhkan. Dengan uang itu kalian bisa membeli
makanan di tempat lain. Ini akan mengacaukan catatanku dan—”
“Kau sebaiknya melakukan apa yang ia minta,” ujarku lagi.
Mereka bertiga pun bergerak menuju dapur bersama-sama dan mulai membuat
tiga puluh burger ukuran besar. Si lelaki kurus tanpa ekspresi menggiling
daging, si manajer menaruh daging itu ke roti, dan si perempuan membungkusnya.
Tak seorang pun bicara.
Aku bersandar di lemari es besar, mengarahkan senapan ke arah wajan ceper.
Daging-daging itu tersusun di wajan ceper tersebut seperti polkadot cokelat,
mendesis. Aroma manis daging panggang merasuk ke hidungku dan mengalir dalam
darahku layaknya sekawanan serangga mikroskopis, bergerak ke sudut-sudut
terjauh, lantas bersama-sama mereka memasuki gua rasa laparku yang tertutup
rapat, menggelantung di dinding-dindingnya yang merah muda.
Setumpuk burger yang telah terbungkus kertas putih semakin bertambah. Ingin
sekali aku mengambilnya dan memakannya saat itu juga, tapi aku tak yakin hal
itu akan mendukung apa yang kami lakukan. Aku harus menunggu. Di area dapur
yang panas, aku mulai berkeringat di balik topeng skiku.
Orang-orang McDonald itu diam-diam menoleh menatap moncong senapan. Aku
menggaruk telingaku dengan jari tangan kiriku. Telingaku selalu terasa gatal
ketika aku gugup. Menggosok-gosokkan jariku ke telinga lewat selimut, aku
membuat laras senapan itu bergoyang-goyang ke atas dan ke bawah, yang tampaknya
mengusik mereka. Tak akan secara tak sengaja sebenarnya peluru melesat dari
senapan itu, sebab aku mengaktifkan pengaman. Tapi tentunya, mereka tak tahu
itu, dan aku tak berniat mengatakannya.
Istriku menghitung burger yang sudah jadi itu dan memasukkan semuanya ke
dalam dua tas belanja a la McDonald. Masing-masing tas lima
belas burger.
“Mengapa kalian melakukan ini?” tanya si perempuan. “Kenapa kalian tak
mengambil uangnya saja dan membeli sesuatu yang kalian inginkan? Apa enaknya memakan
tiga puluh burger ukuran besar?”
Aku menggeleng.
Istriku menjelaskan, “Kami minta maaf. Sungguh. Tapi kami tak menemukan
toko roti yang buka. Kalau saja ada, kami akan merampok toko roti itu.”
Penjelasannya itu tampak memuaskan mereka. Paling tidak, mereka tak
bertanya apa-apa lagi. Istriku kemudian memesan dua Cola besar kepada si
perempuan dan membayarnya.
“Kami merampok roti, bukan yang lain,” ujarnya. Perempuan itu merespon
dengan gerakan kepala yang rumit, seperti perpaduan antara anggukan dan gelengan.
Kurasa aku bisa memahami apa yang ia rasakan.
Istriku kemudian mengeluarkan gulungan benang dari kantung jaketnya—ia
benar-benar siap untuk perampokan itu—dan mengikat ketiga orang itu ke pilar
dengan lihai selihai ia memasangkan kancing. Ia bertanya apakah ikatannya itu
menyakiti mereka, atau apakah salah satu dari mereka ingin pergi ke toilet,
tapi mereka diam. Aku menutupi lagi senapan itu dengan selimut, istriku
mengambil dua tas belanja berisi burger-burger itu, dan kami pun pergi.
Sepasang anak muda di meja masih terlelap seperti sepasang ikan di laut dalam.
Aku bertanya-tanya apa kira-kira yang bisa membuat mereka terbangun dari
tidurnya yang lelap itu.
Kami berkendara sekitar setengah jam, menemukan tempat parkir kosong di
dekat sebuah gedung, dan menepi. Di sana kami memakan hamburger-hamburger itu
dan meminum Cola. Aku mengirimkan enam burger ukuran besar ke gua di perutku,
sedangkan istriku menyantap empat. Tersisa dua puluh burger lagi. Rasa lapar
kami—rasa lapar yang semula tampak akan menyiksa kami selamanya—lenyap seiring
datangnya fajar. Cahaya matahari pertama menerpa dinding-dinding gedung yang
ungu-kusam. Segera rengekan ban sebuah truk di jalan raya berbaur dengan cuitan
burung. Radio American Armed Forcesmemutar musik koboy. Aku dan
istriku berbagi rokok. Setelah itu, ia menyandarkan kepalanya di bahuku.
“Apakah kita memang harus melakukan hal ini?” tanyaku.
“Tentu saja harus!” sahutnya.
Dalam satu tarikan napas, ia terlelap. Ia terasa lembut dan ringan seringan
kucing.
Dan seorang diri, aku bersandar di perahuku dan menatap ke dasar laut.
Gunung api itu lenyap. Permukaannya yang tenang memantulkan birunya langit.
Ombak kecil—seperti piyama sutera terembus angin—memukul-mukul sisi perahu.
Hanya itu.
Aku menelentang di perahu itu dan memejamkan mata, menunggu air pasang
membawaku ke tempat di mana aku semestinya berada.(*)
Cerpen ini termaktub dalam kumpulan cerpen pertama Haruki Murakami, The Elephant Vanishes (1993), dan diterjemahkan oleh Ardy Kresna Crenata dari terjemahan bahasa Inggris oleh Jay Rubin.
0 comments:
Post a Comment