Surat Kumiko untuk Suaminya
penulis : Haruki Murakami
KAU pasti kaget dan khawatir mendapati aku tiba-tiba menghilang tanpa
sepatah kata pun. Aku tadinya berniat menyuratimu dan menjelaskan segalanya,
tapi waktu terus berlalu sementara aku sibuk memikirkan bagaimana semestinya kuutarakan
apa yang kurasakan ini agar kau mengerti. Aku, benar-benar merasa bersalah
padamu.
Sekarang ini kau mungkin tengah mulai menduga bahwa aku punya hubungan
gelap dengan seseorang. Ya, aku telah berhubungan dengannya selama tiga bulan
terakhir ini, dan yang kumaksudkan di sini adalah hubungan badan. Ia seorang
lelaki yang aku bertemu dengannya dalam urusan kantor, seseorang yang sama
sekali tak kauketahui. Tak peduli siapa pun ia dan seperti apa pun ia, aku tak
akan pernah menemuinya lagi. Bagiku, ini sudah berakhir. Entahlah apakah ini
membuatmu merasa sedikit lega atau tidak.
Apakah aku mencintainya? Tak mungkin saat ini aku bisa menjawab pertanyaan
itu. Pertanyaan itu sendiri kupikir sungguh tak relevan. Tapi apakah aku
mencintaimu? Untuk pertanyaan yang satu ini aku tak akan ragu-ragu menjawab:
Ya. Aku benar-benar senang dan bahagia telah menikah denganmu. Dan sampai saat
ini pun aku masih merasakannya. Jadi, mengapa aku berselingkuh, dan lebih buruk
lagi dari itu, aku kabur dari rumah? Mungkin itu yang kaupertanyakan sekarang.
Kau tahu, aku sendiri pun berulangkali melontarkan pertanyaan itu kepada diriku
sendiri: Megapa aku melakukan hal seburuk ini?
Rasa-rasanya aku tak bisa menjelaskannya. Aku tak pernah sedikit pun
berniat atau berpikir untuk berselingkuh. Itu hal terjauh yang mungkin
terpikirkan olehku saat pertama kali aku bertemu lelaki itu. Kami bertemu
beberapa kali untuk urusan bisnis, dan entah bagaimana kami merasa nyaman untuk
bercakap-cakap, membicarakan ini dan itu, dan setelahnya kami mulai
berkomunikasi lewat ponsel tentang hal-hal di luar bisnis. Ia jauh lebih tua
dariku, dan telah beristri dan memiliki anak, dan sejujurnya bukanlah tipe
lelaki yang menarik. Tak pernah terpikirkan di benakku bahwa aku akan terlibat
dalam suatu hubungan gelap dengannya.
Perlu kauketahui bahwa ini bukanlah semacam pembalasanku atas apa yang
pernah kaulakukan dulu. Masih aku ingat dengan jelas bagaimana dulu kau
bercerita padaku bahwa kau telah menghabiskan satu malam dengan seorang
perempuan. Aku mempercayaimu ketika kau berkata bahwa semalaman itu kau dan ia
tak melakukan apa pun, tapi meskipun begitu apa yang kaulakukan itu tetaplah
sebuah kesalahan. Setidaknya itulah yang kurasakan. Tapi sungguh, aku tidak
melakukan perselingkuhan ini untuk membalas perbuatanmu itu. Aku ingat waktu
itu aku mengatakan kepadamu ancaman pembalasan itu, tapi itu benar-benar hanya
ancaman. Aku berhubungan seks dengan lelaki itu karena aku ingin melakukannya,
karena aku tak bisa lagi menahan diri untuk tidak melakukannya dengannya,
karena aku tak bisa menahan hasrat seksualku sendiri.
Kami telah cukup lama tak bertemu ketika sebuah urusan bisnis mempertemukan
kami. Kami makan malam dan sedikit minum. Sebab aku tidak kuat minum, untuk
menjaga diri, aku hanya meminum segelas jus jeruk tanpa sedikit pun alkohol di
dalamnya. Jadi, alkohol sama sekali tak punya andil terhadap apa yang kemudian
terjadi. Kami hanya mengobrol dan makan sebagaimana sewajarnya. Tapi di satu
titik, secara tak sengaja, kami bersentuhan, dan satu-satunya yang kupikirkan
saat itu adalah bahwa aku ingin sekali berada dalam pelukannya. Dalam sekali
sentuhan itu, aku langsung tahu bahwa ia menginginkan tubuhku, dan ia seperti
menyadari bahwa aku pun menginginkan tubuhnya. Sungguh terasa irasional aliran
listrik berlebih yang mengalir di antara kami berdua. Aku merasa seakan-akan
langit telah runtuh dan menimpaku. Pipiku terbakar, jantungku berdegup kencang,
dan aku merasakan tekanan yang berat dan kuat di bawah pinggangku. Aku tak lagi
bisa duduk dengan nyaman. Intensitasnya benar-benar gila. Pada awalnya aku tak
memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi di dalam diriku, tapi kemudian aku
menyadari bahwa itu adalah nafsu. Aku merasakan nafsu yang kuat terhadapnya
sampai-sampai aku tak bisa menanggungnya lagi. Tanpa salah satu pun dari kami
menawarkan terlebih dulu, kami langsung menuju hotel terdekat dan di sana kami
bercinta dengan gila.
Menuliskannya sedetail dan sevisual ini barangkali akan menyakitimu, tapi
aku percaya, pada akhirnya, sebuah kejujuran, akan jadi yang terbaik. Pastinya
sulit, sangat sulit, tapi aku minta kau menahan rasa sakitmu itu, dan terus
membaca suratku ini.
Apa yang kulakukan dengannya ini sama sekali bukan sesuatu yang dinamakan
“cinta”. Satu-satunya yang kuinginkan adalah berada dalam pelukannya dan
merasakan ia memasukiku.Tak pernah sekali pun dalam hidupku ini aku
merasakan keinginan yang luar biasa kuat terhadap tubuh seorang lelaki seperti
itu. Aku pernah membaca tentang “hasrat tak tertanggungkan” di beberapa buku, tapi
sampai detik itu aku tak pernah membayangkan arti sesungguhnya dari frasa itu.
Mengapa kebutuhan ini muncul begitu saja secara tiba-tiba, dan mengapa
tidak terhadap dirimu namun justru seseorang yang lain, aku tak mengerti. Tapi
yang jelas, hasrat yang kurasakan saat itu sungguh tak mungkin kutekan, dan aku
memang tak mencobanya. Tolong mengerti: pada saat kejadian itu berlangsung sama
sekali tak terlintas di benakku bahwa aku tengah mengkhianatimu. Hubungan seks
yang kulakukan dengannya di hotel itu adalah sesuatu yang mendekati kegilaan.
Jika aku boleh jujur, tak pernah dalam hidupku aku merasa senikmat itu. Tidak,
semuanya tidak sesederhana itu: ini bukan sekadar “terasa nikmat”. Dagingku
seperti menggelinding di lumpur panas. Pikiranku terisap dalam kesenangan sampai
ke suatu titik di mana ia seperti akan meledak–dan memang meledak. Itu
benar-benar ajaib. Itu adalah salah satu hal paling menakjubkan yang pernah
terjadi padaku.
Dan kemudian, seperti yang kautahu, aku menyembunyikannya darimu. Kau tak
pernah menyadari bahwa aku tengah berselingkuh. Kau tak pernah meragukanku,
bahkan ketika aku mulai sering pulang terlambat. Aku yakin kau sepenuhnya
mempercayaiku. Kau berpikir aku tak akan pernah mengkhianatimu. Dan
mengkhianati kepercayaanmu itu seperti ini, aku saat itu sama sekali tak merasa
bersalah. Aku meneleponmu dari kamar hotel dan mengatakan padamu bahwa urusan
kantor akan membuatku terlambat. Aku menutupi satu kebohongan dengan kebohongan
yang lain, tanpa sedikit pun membuatku merasa bersalah. Seolah-olah itu adalah
hal paling alami di dunia ini. Hatiku mengatakan padaku bahwa aku
membutuhkanmu. Rumah yang kita tinggali bersama adalah tempatku berasal dan
tempatku kembali. Tapi tubuhku menginginkan hubungan badan dengan lelaki itu.
Separuh diriku di rumah–bersamamu, dan separuh lagi di sana–bersamanya. Aku
tahu bahwa cepat atau lambat titik jenuh itu akan datang juga, tapi pada saat
itu, rasa-rasanya kehidupan ganda itu akan bertahan selamanya. Di rumah aku
hidup dengan damai bersamamu, dan di sana aku bercinta dengan gila dengannya.
Aku ingin kau memahami satu hal, paling tidak: Ini bukan soal kau inferior
dalam daya tarik seksual, atau aku jenuh berhubungan seks denganmu. Bukan.
Bukan soal itu. Ini hanya, pada saat itu, tubuhku mengalami gejolak itu, rasa
lapar yang tak bisa kutekan itu. Aku tak bisa menolaknya. Mengapa ini bisa
terjadi aku sungguh tak mengerti. Yang bisa kukatakan adalah bahwa itu terjadi.
Beberapa minggu sudah aku berhubungan seks dengan lelaki itu, dan aku mulai
berpikir untuk berhubungan seks juga denganmu. Aku merasa itu tak adil bagimu,
jika aku hanya melakukannya dengan lelaki itu tapi tdak denganmu. Namun dalam
pelukanmu, aku tak merasakan apa pun. Kau tentu menyadarinya. Selama dua bulan
ini, aku sebisa mungkin menghindar dari melakukan kontak seksual denganmu.
Lalu suatu hari, lelaki itu memintaku meninggalkanmu. Ia berkata bahwa kami
sangatlah cocok dan tak ada alasan bagi kami untuk tak bersama. Ia akan
meninggalkan keluarganya. Begitulah katanya. Aku lantas meminta waktu untuk
memikirkannya.
Namun dalam perjalanan pulang di kereta pada malam terakhir kali kami
bertemu itu, aku menyadari, bahwa aku tak lagi merasakan sesuatu terhadapnya.
Aku sendiri tak tahu kenapa, tapi di titik ia mengajakku itu, di titik ia
memintaku meninggalkanmu itu, sesuatu istimewa di dalam diriku itu mendadak
lenyap, seolah-olah angin kencang baru saja menerbangkannya ke tempat jauh.
Hasratku terhadapnya menghilang tanpa satu jejak pun.
Pada saat itulah aku mulai merasa bersalah padamu. Seperti yang kubilang tadi,
aku sama sekali tak merasa bersalah saat aku merasakan hasrat yang kuat
terhadapnya. Yang kurasakan hanyalah bahwa betapa tak menyenangkan bagimu tak
menyadarinya. Aku berpikir aku kelak bisa menghindar dari masalah atau apa pun
itu asalkan kau tak menyadarinya. Keterhubunganku dengannya berada di dimensi
yang berbeda dengan keterhubunganku denganmu. Dan selepas hasratku terhadapnya
itu lenyap, aku tak lagi tahu di dimensi mana aku berada.
Aku selalu mengira aku adalah seseorang yang jujur. Tentu, aku pernah
melakukan kesalahan. Tapi setiap kali menyangkut sesuatu yang penting, aku tak
pernah membohongi siapa pun termasuk diriku sendiri. Aku tak pernah
menyembunyikan apa pun darimu. Itu sesuatu yang benar-benar membuatku bangga.
Tapi kemudian, selama berbulan-bulan, aku terus membohongimu tanpa sedikit pun
merasa bersalah.
Yang benar-benar terasa kemudian adalah siksaan itu. Aku merasa seolah-olah
aku ini seseorang yang kosong, yang tak berarti, yang tak berharga. Dan
barangkali, memang seperti itu kenyataannya. Tapi kemudian ada satu hal lagi
yang menggangguku, dan itu adalah: bagaimana bisa aku tiba-tiba merasakan
hasrat seksual yang kuat terhadap seseorang yang bahkan tidak kucintai? Ini
yang tak bisa kuterima. Jika saja hasrat seksual itu tak ada, aku tentu masih
menjalani hidup yang nyaman dan menyenangkan bersamamu. Dan lelaki itu masih
seorang rekan bisnis yang juga menyenangkan. Tapi hasrat itu, hasrat yang luar
biasa gila itu, menghancurkan segalanya yang telah kita bangun selama
bertahun-tahun. Ia mengambil segala yang semula milikku: ia mengambil dirimu,
juga rumah yang kita rawat bersama, juga pekerjaanku. Mengapa hal seperti ini
terjadi padaku?
Setelah aku melakukan aborsi tiga tahun yang lalu, aku mengatakan padamu
bahwa ada yang sesuatu yang ingin kukatakan padamu. Kau ingat itu? Mungkin
semestinya kukatakan saja. Mungkin semestinya aku saat itu memberitahumu apa
yang ada di hatiku sebelum sesuatu seperti ini terjadi. Semuanya mungkin tak
akan seperti ini seandainya saat itu aku memberitahukannya padamu. Tapi
semuanya telah terjadi. Bahkan saat ini, aku tak percaya aku mengatakan semua
yang kurasakan ini padamu. Dan itu karena aku merasa sekali aku mengatakannya
padamu, semua ini akan semakin buruk. Dan itulah sebabnya aku berpikir bahwa
hal terbaik yang bisa kulakukan adalah menahannya seorang diri, dan menghilang.
Aku minta maaf mengatakan hal ini padamu, tapi faktanya aku memang tak
pernah merasakan kesenangan seksual yang benar-benar nyata selama aku
bersamamu, baik sebelum kita menikah ataupun setelah kita menikah. Aku
menikmati saat kau merangkulku, tapi yang kurasakan selalu samar, seakan-akan
aku memang hanya akan merasakannya lewat seseorang yang lain. Tentu saja bukan
salahmu. Ketidakmampuanku untuk merasakan hal itu sepenuhnya adalah tanggungjawabku.
Ada semacam pemblokadean di dalam diriku, yang selalu saja menahan hasrat
seksual yang kurasakan. Dan ketika, tanpa aku tahu kenapa, pemblokadean itu tak
bekerja saat aku berhubungan seks dengannya, aku tak lagi tahu apa yang harus
kulakukan.
Selalu ada sesuatu yang begitu dekat dan lembut di antara kita, kau dan
aku. Ia ada sejak semula. Tapi sekarang sesuatu itu lenyap. Mesin yang
membuatnya ada telah rusak, karena aku merusaknya. Atau lebih tepatnya, sesuatu
yang tak kutahu membuatku merusaknya. Aku benar-benar minta maaf semua ini
terjadi. Tak setiap orang cukup beruntung memiliki kesempatan untuk hidup
denganmu. Aku benci sesuatu yang menyebabkan semua ini terjadi. Kau tak akan
pernah paham sebenci apa aku terhadapnya. Aku ingin tahu apa persisnya sesuatu
itu. Aku harus tahu apa persisnya sesuatu itu. Aku harus mencarinya sampai ke
akarnya dan menghukumnya. Entah apakah aku punya cukup kekuatan untuk itu atau
tidak, aku tak yakin. Satu hal yang pasti: bagaimanapun, ini adalah masalahku sendiri.
Ini tak ada hubungannya denganmu.
Aku hanya meminta satu hal darimu: tolong jangan pikirkan aku lagi; tolong
jangan mencoba mencariku; lupakan saja aku dan cobalah berpikir untuk memulai
hidup baru. Jika keluargaku terbebani oleh hal ini, aku akan melakukan yang
harus kulakukan: aku akan menyurati mereka dan menjelaskan bahwa ini semua
adalah salahku, bahwa kau sama sekali tak bersalah dan tak harus
bertanggungjawab. Mereka tak akan merepotkanmu. Hal-hal tentang proses
perceraian akan dimulai segera, kupikir. Itu yang terbaik untuk kita. Jadi,
tolong, jangan membantah. Jangan protes. Turutilah apa yang mereka minta.
Seandainya pakaianku dan segala kepunyaanku di rumah mengganggumu, aku minta
maaf, tapi tolong lenyapkan semua itu atau kau sumbangkan entah ke mana.
Semuanya merujuk ke masa lalu sekarang. Segala sesuatu dalam hidupku yang
pernah kulakukan bersamamu, aku tak punya lagi hak untuk menggunakannya
sekarang.
Selamat tinggal.
*Surat ini bisa ditemukan di novel Haruki Murakami yang berjudul The Wind-Up Bird Chronicle; diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia olehArdy Kresna Crenata, dari terjemahan bahasa Inggris oleh Jay Rubin.
0 comments:
Post a Comment