Puasa itu Selo

by 9:08 PM 0 comments
Puasa itu Selo

Richard P. Feynman, peraih Nobel Fisika tahun
1965 untuk teori Mekanika Kuantum, ternyata
orang yang lucu! Suatu hari, ia menulis surat
kepada Mrs. Chown, Fisika bukanlah hal yang
terpenting. Cinta adalah yang terpenting. Jadi,
belajarlah jatuh cinta sedalam-dalamnya, jangan
cuma ngapalin rumus Fisika. Lol.

Begitu pun Stephen Hawking, saintis terkemuka
pasca Albert Einstein yang ngupas Big Bang
sebagai babakan dimulainya waktu dalam buku A
Brief History of Time (2009), ternyata juga orang
lucu. Ia mengaku bisa bertahan hidup di tengah
serangan penyakit yang melumpuhkannya karena
hidup ini lucu. Kehidupan akan menjadi tragedi
jika tidak lucu, ujarnya.
Jauh sebelum masa mereka yang hidupnya
identik dengan jagat serius, di era Yunani Kuno,
tersebutlah sosok Thales (bukan tales , apalagi
telo ), yang oleh Bertrand Russell dimasukkan ke
dalam kitab Sejarah Filsafat Barat -nya, yang juga
sangat lucu. Di masa jayanya filsafat spekulatif
itu, Thales mencetuskan ide reinkarnasi: orang
baik akan terlahir kembali sebagai manusia dan
orang jahat akan menjadi tikus. Di antara
penyebab seseorang tereinkarnasi jadi tikus ialah
akibat memakan buncis. Iya, buncis kita kini.
Ini ngakak banget! Mungkin tikus-tikus got yang
segede gaban itu dulunya manusia-manusia jahat
yang hiperlemak. Maka jika kau ingin jadi tikus
yang slim kelak, pastikan kau mati dalam
keadaan jahat dan rajin nge- gym .
Saya tak sanggup mengimajinasikan, kira-kira
Dhanica yang doyan makan pare itu bakal
tereinkarnasi jadi apa ya jika filsafat Thales ini
berlaku? Bayangkan, makan buncis aja bisa jadi
tikus, lha kalau pare?
Jadi novel teenlit yang best-gudang berjudul Pare
Makes Me Jomblo gitu? Haaa, ini lucu sekali.
Oke, oke, cukuplah jejak-jejak ilmiahnya bahwa
kaum cerdik pandai itu jenaka. Kelucuan, kita
tahu, hanya bisa terbit dari lanskap pikiran dan
hati yang selo. Longgar.
Jadi, Anda yang spanengan , yang hidupnya ndak
selo , niscaya sulit menemukan kelucuan-kelucuan
dunia ini. Maaf kata, itu tanda bahwa Anda tidak
cerdas!
 Jika demikian keadaannya, tak ada cara lain
untuk menerapi hidup yang singkat ini kecuali
dengan (1) perbanyak dolan, (2) perbanyak
membaca, (3) tidurlah lebih malam.
Saya berpikir, lantas, bukanlah hal yang sama
sekali sulit lho untuk menjadikan momentum
puasa Ramadhan sebagai ajang men- selo-kan
diri itu. Agar Anda tidak spanengan lagi, agar
Anda lalu lucu, agar Anda ujungnya cerdas.
Why not? Mau dalil?
Baik.
Man shaama ramadhana imanan wa ihtisaban
ghufira lahu ma taqaddama min danbihi (siapa
yang berpuasa Ramadhan dalam keadaan iman
dan introspektif maka akan diampuni dosa-
dosanya yang telah berlalu).
Para tekstualis yang spanengan akan sepanjang
masa menerjemahkan dalil tersebut sebagai
berpuasalah dengan iman dan tulus. Begitu
terus sampai batu-batu di seberang rumah habis
dijadiin akik. Ah, sudahlah.
Saya akan fokus saja pada kata masdar
ihtisaban dan ma taqaddama min danbihi .
Kata ihtisaban ini berasal dari kata dasar
ihtasaba, yahtasibu, ihtisaban . Demikian operasi
ilmu tasrifnya. Arti fiil madhi -nya (ihtasaba )
adalah menghisab, mengevaluasi, mengintrospeksi
(dan sejenisnya). Dalam posisi sebagai masdar,
makna katanya berubah menjadi keadaan
menghisab, mengevaluasi, mengintrospeksi dan
sejenisnya. Sebuah keadaan jiwa yang konstan,
intensif, berkesinambungan.
Umar bin Khathab pernah berkata, Hisablah
dirimu sebelum kelak benar-benar dihisab di
akhirat.
Kau pasti tahu, di dunia ini, tak ada orang yang
spanengan , ngototan, ngeyelan , sok beneran, sudi
melakukan penghisaban diri itu, introspeksi diri
itu. Nggak ada. Sebab orang spanengan selalu tak
punya waktu untuk merenungi diri, lantaran
selalu merasa telah purna. Purna benarnya,
purna pintarnya, purna Allah bangetnya.
Lha buat apa lagi merenungkan suatu hal bila
hati dan pikiran kita selalu merasa kebak dengan
Allah banget, to ? Selalu merasa benar seperti
kehendak Allah, to ? Akibatnya, kata Wittgenstein,
jadilah ia lalat dalam stoples kaca. Merasa bisa
melihat dan mengetahui segalanya padahal ia
sama sekali tak pernah ke mana-mana. Ia tetap di
sana, di dalam stoples kaca, dibekap absolutivitas
perasaan dan pemikirannya sendiri. Selamanya,
sampai tuek , sampai elek.
Di sisi lain, kau pun niscaya tahu, di keluasan
dunia ini, sejuta peristiwa terus terjadi. Lalu
bagaimana mungkin kau akan bisa menangkap
kelucuan-kelucuan dunia bila kau tak pernah
keluar dari stoples kacamu, cangkangmu,
kamarmu?
Ah, saya berat sekali mengatakan analogi ini
kendati tetap harus saya ungkapkan memang biar
Anda lebih jelas; situasi lalat dalam stoples kaca
itu sama persis dengan bagaimana mungkin kau
akan menemukan pasanganmu di luar sana bila
kau tak pernah keluar dari trayek harianmu:
kamar koskantor/kampuskantin/warungkamar
kos. Begitu terus sampai tuek , sampai elek.
Benar-benar tak ada jalan lain bagi siapa pun
yang gagal menemukan kelucuan-kelucuan hidup
ini selain keluar itu tadi. Menyempal dari trayek
spanengannya . Keluar secara fisik (dolan)
maupun pikiran (membaca). Kedua aktivitas ini
jelas menuntutmu untuk sedikit tidur lebih
malam.
Lalu, sekarang hisablah dirimu dengan fair :
adakah warna baru dalam pikiran dan hatimu
setelah melakukan hal-hal demikian dengan
membandingkannya pada dirimu tahun-tahun
lalu?
Tertawalah. Kini kau mendapati dirimu ternyata
lebih lucu, bukan? Lebih mampu menahan diri
dan nyantai dalam menyikapi apa pun yang hadir
ke dalam kehidupanmu. Catat: semua itu
merupakan berkah selo itu tadi.
For example. Bila selama ini kau menganggap
jilbab yang lebar mengurung tubuhmu adalah
terbenar, kini kau mengerti bahwa apa yang kau
pakai itu benar tetapi apa-apa yang dipakai
orang-orang lain yang tidak sama denganmu juga
benar. Kau nyaman dengan jilbab lebar, ya
silakan, sembari mempersilakan orang-orang lain
berbeda style denganmu.
Jika dulu kau menuding bakul nasi di bulan
Ramadhan itu kawan-kawan setan yang tak
menghormati puasamu, kini kau mudah
menemukan sudut pandang lain bahwa mereka
sama sepertimu yang perlu uang ekstra untuk
mudik dan disenengi dedek-dedek gemes-mens
yang ngelarisi warungnya. Jika pun kau melihat
seorang sopir muda yang klepas-klepus di
warung itu, kau akan lebih nyantai menatapnya
sebagai muslim yang tidak bojoable. Kini kau jadi
melek, kan, bedanya lelaki muslim yang bojoable
dan unbojoable .
Inilah pentingnya hisab yang akan menghapus
ma taqaddama min danbihi itu (dosa-dosa yang
telah berlalu). Kata danbi (dosa) sangatlah
terbuka untuk dilebarkan dari sekadar dosa-dosa
ubudiyah . Kegagalan mengintrospeksi diri akibat
spanengan , galakan, ngeyelan , jelas sangat
kontekstual untuk ditempatkan sebagai bagian
inheren dari ma taqaddama min danbihi itu.
Ini pun jika kau melek bahwa Islam memiliki dua
pilar sekaligus lho: ubudiyah (hubungan sama
Allah) dan muamalah (hubungan sesama
manusia, termasuk alam semesta).
Kini coba hisab: berapa banyak orang yang kau
sakiti di masa lalu ( ma taqaddama min danbihi )
itu dengan nyinyiran, komenan, hingga share-an
yang ngotot-spanengan ?
Banyak? Oh, pantas, logis sekali to bila kau tak
laku-laku selama ini. Lha galak, siapa yang sudi
hidup sama singa coba.
Tetapi setelah kau rajin introspeksi diri
( ihtisaban ), ya karena dolan, membaca, dan tidur
lebih malam, lantas kau menjadi lebih selo
sehingga mudah menemukan kelucuan-kelucuan,
lalu tak lagi galak-reaktif- spanengan (ma
taqaddama min danbihi ), hidupmu pun otomatis
menjadi lebih menarik penuh magnet. Logis pula
to bila Arjuna lalu datang kesepong magnetmu.
Asyik sekali, kan, puasa? Bisa menjadikanmu
lebih selo , lucu, cerdas, sehingga bojoable secara
coming soon dan as soon as possible .
Huaha.


Edi AH Iyubenu











sponsored by
  

 







Pak Lurah

Developer

apa saja selain hidup

0 comments:

Post a Comment