Takdir Lubang dan Batang
Jagat maya ruwet lagi oleh isu LGBT. Kali
ini saya
sangat terusik oleh keriuhan legalitas
pernikahan
sesama jenis di Amerika itu. Saya bertanya
dalam
hati: “ Apa enaknya menikah atau pacaran
sesama
jenis, ya ?”
Dari dulu sampai sekarang, saya selalu
gagal
paham dengan tujuan pernikahan sesama jenis
ini. Sebagai manusia, apalagi yang sudah
akil
baligh, pastilah punya hasrat biologis
untuk
grepe-grepean , sampai akhirnya mencapai
babak
berhubungan seks. Saya sengaja tidak
menyebutkan cita-cita mulia nan lumrah
seperti
membangun keluarga bahagia bagai Keluarga
Cemara hingga memiliki keturunan shalih/
shalihah macam personel JKT48. Bukan
apa-apa,
zaman sekarang, di beberapa negara, punya
anak
sering tidak terlalu menjadi prioritas.
Keputusan MK Amerika ini tentu saja
ditanggapi
beragam oleh aktivis LGBT dalam negeri,
dari
artis, pejabat, cendekiawan, jomblo, sampai
golongan sorban yang tukang razia. Baiklah,
lupakan sejenak komentar. Gimanapun, kalau
kata orang Jawa, “ Seje silit, seje anggit.” (Beda
pantat, beda pemikiran).
Jika dirunut, Amerika adalah negara ke-22
yang
mengesahkan pernikahan sesama jenis. Belanda
adalah negara pertama di tahun 2001, lalu
disusul
Belgia, dan beberapa negara lain. Otomatis,
mestinya, berita seperti ini sudah tidak
perlu
disambut terlalu heboh karena sudah basi.
Sama
saja jenisnya seperti debat kambuhan yang
nongol setiap tahun tentang haram-halal
mengucapkan selamat Natal, jumlah rakaat
shalat
tarawih, dan sederet hal menye-menye lain.
Yah, tapi ini kan hajatannya Kanjeng Ndoro
Amerika, sesepuh demokrasi bermuka ganda
yang sakti mandraguna. Jelas harus rame!
Seluruh dunia harus tahu dan harus
meramaikan via komentar, tweet , dengan
tagar
#Lovewins, perang urat, dan apalah-apalah
lain.
Pokoknya yang penting ramai!
Kembali lagi ke pertanyaan sepele tapi
mendasar
tadi, “ Enaknya apa, ya ?”
Dari beberapa sumber yang saya baca, ada
beberapa ilmuwan yang pernah melakukan
riset
tentang LGBT beserta penyebab-penyebabnya.
Ada yang bilang bahwa itu pengaruh genetik.
Sebut saja sosok Hammer yang meriset kakak
beradik yang gay . Dari riset pertama,
Hammer
mengatakan bahwa faktor gen mempengaruhi
seseorang untuk menjadi gay atau tidak,
yakni
kromosom Xq28. Tetapi, hasil itu tak lama
terbantahkan oleh percobaannya sendiri enam
tahun kemudian. Hammer berbesar hati untuk
mengakui bahwa dulu dirinya salah. Dari
sini
saya jadi tahu bedanya ilmuwan dan
koruptor.
Ilmuwan kalau salah ya mengaku salah, tidak
ngeles mati-matian!
Sependek referensi itu, dari sudut pandang
orang
sableng kayak saya yang ogah ruwet-ruwet,
masalah LGBT jadi mudah sekali untuk
dicerna.
Ayo tunjukin ke saya, ada nggak keluarga
yang
anggotanya lesbian/ gay selama 4 generasi
berturut-turut? Atau, ambil sampel sperma
seorang gay untuk dikembangkan dalam rahim
seorang lesbian. Saya yakin, selama
lingkungan
anak itu tidak menye-menye ke LGBT, nggak
akan dia jadi penyuka sesama jenis. Maka,
saya
simpulkan dengan sableng karena saya ogah
yang
ruwet-ruwet, menjadi penyuka sesama jenis
karena gen itu omong kosong!
Lalu begini. Saya punya sebuah fakta yang
takkan
terbantahkan lagi. Pada hakikatnya, salah
satu
orientasi paling purba berpasangan ialah
untuk
memuaskan hasrat seksual. Ya, to ? Kalian
yang
di sini mau pakai argumen mulia “mengimami
dan diimami waktu shalat”, sudahlah
nggak usah
ngehek banget gitu. Saya kok nggak pernah
menemukan cerita paling sinetron sekalipun
yang menunjukkan bahwa berhubungan seks itu
tak butuh “lubang” dan batang”; di antara para
gay sekalipun. Di antara kaum lesbian pula.
Itu
sudah pasti!
Masih ragu?
Silakan jika Anda kober , cari video bokep
dengan
tema lesbian dan gay. Lihat baik-baik,
namun
jangan diresapi jika Anda adalah jomblo.
Hukum
batang-lubang ” pasti berlaku. Mutlak! Entah
dalam style apa pun; mau doggy ataupun
wedusy .
Jadi ya wajar to bila sampai kapan pun saya
(dan
Anda yang sepaham) akan selalu gagal paham,
kenapa sih mas-mas ganteng itu lebih memilih
“lubang kloset” yang sangat berisiko kena
sesuatu yang benyek berwarna kuning, hijau,
atau apa pun rasanya, ketimbang “lubang”
alamiah yang semestinya bisa menjadi sarana
ibadah.
Gitu juga sama mbak-mbak wangi yang lebih
memilih dipuaskan jari ataupun dildo yang
jelas
tidak akan sehangat “batang”-nya mas-mas.
Yakin deh, barang apa pun akan lebih yummy
dipergunakan sesuai peruntukan
penciptaannya;
barang imitasi tidak akan pernah lezat
dibanding
barang ori.
Sudahlah, mengaku saja kalau kalian ini
sebenarnya membutuhkan apa yang sudah
dikodratkan. Tetaplah “ batang butuh
lubang” dan
sebaliknya, sehingga kian terang bahwa
segala
alasan gen, HAM, dan trauma kekerasan/
pelecehan seksual di masa lalu hanyalah
alibi-
alibi untuk mencapai “restu” khalayak dan
negara.
Sudahlah, nggak usah ngeyel lagi. Lagi
pula, mana
bisa kalian lemas barengan dengan senyum
kepuasan di atas ranjang seperti saya?
#eeehhh…. (Serius, ini bikin candu!)
Sekali lagi, Mas, Mbak, mbok ya ngaku saja,
kalian ini sebenarnya normal dalam kebutuhan,
tapi menyimpang dalam tindakan. Ibaratnya
begini, pakai sepatu itu ya, harus kiri dan
kanan
biar tidak timpang, tidak jatuh, dan tidak
sakit.
Jangan memakai yang kanan aja, agar nggak
radikal sok benar atau kiri aja biar nggak
selalu
nyinyiran ngehek.
Tetapi yawes kalau masih nggak mau ngikuti
gaya seksual saya. Siapalah pula saya ini
kok
punya kuasa melarang-larang sampai mati.
Silakan nyeleneh sendiri aja, jangan
menularkan
ke orang lain. Jangan nuntut macam-macam
pula.
Kalian tahu sendiri kan, di negara ini
makin
banyak orang galak! Mending diam asal
selamat.
Jadi hamba LGBT itu hak kalian, tapi
ketertiban
dan keteraturan adalah hak publik semua
orang.
Mau asu atau mbahne asu ya silakan, tapi
jangan
ngerusuhi hak publik asu-asu lainnya.
Sekian dan terima cacian.
0 comments:
Post a Comment