Sikat Gigi

by 11:59 PM 0 comments
Sikat Gigi
dee – dalam buku filosofi kopi


Pujangga itu melongokkan kepala dari jendela mobil tanpa takut kepalanya
tersambar kendaraan nakal yang kadang menyalip dari kiri, tetap menatap
langit yang berantakan oleh bintang lalu ribut sendiri. Ia selalu histeris
akan hal-hal yang tak kumengerti.
Setelah kami berdua duduk di atas rumput, dengan tabah ia menjelaskan.
'Coba lihat. Langit begitu hitam sampai batasnya dengan Bumi hilang.
Akibatnya, bintang dan lampu kota bersatu, seolah-olah berada di satu
bidang. Indah, kan?'
ia pun dianugerahi kemampuan untuk menjelaskan segalanya dengan
tepat, rasional, dan masih kedengaran cantik. Itulah satu-satunya cara agar
aku mampu mengerti keindahan yang ditangkap matanya. Aku bukan
pujangga dan tak pernah bisa bermetafora. Monokrom dan kurang
dimensi, kacanya selalu tentang diriku. Praktis dan realistis, begitu aku
menerjemahkannya.
Dengan segenap rasio dan akal, aku mencintai perempuan di sampingku
itu. Egi, yang telah lama kukenal, teman baikku, sosok yang kubanggakan
dan kukagumi, ia mampu berpanjang lebar menjelaskan cinta dan adiek-
sistensinya pada aku yang tak pernah mau repot menganalisis. Yang
kutahu, aku peduli padanya, tidak pernah bosan seharian bersamanya, dan
yakin bahwa kami dapat bekerja sama membina apa pun, termasuk rumah
tangga. Itulah aplikasi substansi berjudul 'cinta bagiku. Cukup sekian. Egi
juga tahu itu.
'Kamu kedinginan?' tanyaku sambil siap-siap membuka jaket.
Mendengarnya, Egi yang hanya memakai cardigan tipis menjadi sadar
akan dinginnya cuaca, ia pasti telah hanyut jauh dalam dunianya sendiri.
Di sana jiwanya barangkali dihangatkan, lalu merembet hingga ke kulit.
Dalam balutan jaketku Egi meringkuk. Sorot matanya masih melayang-
layang. Aku tahu apa yang ia lamunkan, apalagi setelah mendengar helaan
napasnya, tapi enggan aku bertanya. Buat apa mengungkit sesuatu yang
hanya membuat pikiranku terganggu.
Tak lama kemudian kami kembali ke Jakarta.
'Sudah lama kita tidak ke Puncak lagi,' ujar Egi yang melenggang dengan
sikat gigi di tangan. "Terakhir kapan, ya?'
'Enam minggu yang lalu? Waktu langit dan Bumi jadi satu itu.'
Egi menatapku lucu. 'Kamu punya ingatan hebat, tapi kamu
mengucapkannya sama datar dengan bilang 1+1=2...'
Suara sikat beradu dengan gigi menggema dari kamar mandi. Aku pun
kembali membaca dengan kaki berselonjor di sofa panjang. Egi selalu lama
bila menyikat gigi.
Tiba-tiba suara gosokan itu berhenti. Malam yang hening membuatku
menjadi awas akan perubahan yang terjadi. Dari pantulan kaca, kulihat
pintu kamar mandi terbuka dan Egi tengah mematung dengan mulut
penuh busa.
'Egi, kenapa?'
Terdengar suara berkumur. Keran dimatikan.
'Tio, saya pulang, ya.' Lunglai ia menghampiriku.
'Kamu di sini saja. Besok pagi saya antar pulang. Saya malas keluar lagi,'
kataku sambil menguap. Tak perlu berbasa-basi dengan Egi. Kami sudah
cukup dewasa dan cukup dekat untuk tidak lagi canggung kalau Egi
terpaksa menginap di tempat tidurku, bangun pagi dan sarapan bersama,
lantas aku mengantar dia pulang atau ke tempat kerjanya. Egi bahkan
menginventaris sebuah sikat gigi di sini.
Mara itu bersaput air. 'Saya merasa tidak karuan, gumamnya pelan.
Rasa bersalah menggigitku. Sikap terlampau kritis pada Egi dan air
matanya seringkali mendorongku untuk menginjeksikan logika yang
kupikir perlu, yang malah membuatnya tambah sedih dan menganggap
aku tak bisa atau tak suka menolongnya. Pantas jika ia memilih pulang
daripada meledakkan rangisnya di depanku.
'Silakan kamu menangis selama mungkin. Saya janji akan diam.' Aku
tersenyum dan menariknya duduk di sampingku, kembali membaca.
'Tio...' panggilnya setelah lama mematung. 'Saya suka sekali menyikat gigi.
Mau tahu kenapa?'
Ingin kulontarkan jawaban spontan seperti 'supaya gigi tidak bolong', atau
'afeksi berlebihan pada rasa odol', tapi kuputuskan untuk diam.
'Waktu saya menyikat gigi, saya tidak mendengar apa apa selain bunyi
sikat. Dunia saya mendadak sempit., cuma gigi, busa, dan sikat. Tidak ada
ruang untuk yang lain. Hitungan menit, Tio, tapi berarti banyak.'
Aku tahu apa yang kau maksud, wahai Egi, pujanggaku sayang. Cukup
lama aku terlatih membaca makna-makna tersirat dalam kalimatnya,
walaupun belum cukup lama untuk mengerti alasan di balik itu semua,
misalnya, buat apa ia pelihara luka hati yang cuma bikin matanya berair?
Aku menatapnya iba. Egi dengan pipi basah, tangisan nya yang tak pernah
bersuara, dan linangan itu menderas ketika aku menutup bukuku, memilih
untuk merangkulnya.
'Kamu... pasti sebenarnya... sudah ingin ngomel-ngomel," ia berbisik susah
payah.
Kutepuk-nepuk bahunya, 'Saya tetap tidak mengerti. Tapi semuanya
terserah kamu.'
Saat seperti ini selalu membuatku berpikir, jangan-jangan aku yang terlahir
cacat. Ada satu bahasa di semesta ini yang tidak terikut ke dalam paket
genetikku, makanya aku selalu gagal mengerti. Padahal seorang ahlinya
ada sangat dekat di sini, Egi, guru besar bahasa aneh itu. Bahasa dari
planet tempat cinta punya logika serta hukum sendiri.
Aku dikutuk selamanya menjadi makhluk ekstra-teres-trial.
Ulang tahunnya yang ke-27. Setelah bersenang-senang bersama
serombongan teman, kini kami kembali berdua. Mata yang menerawang
jauh, kaki yang meringkuk, napas yang mulai ditarik-ulur. Demikianlah
Egi, bahkan pada hari seistimewa ini.
Keheningan selalu membawanya ke perbatasan yang sama, batas antara
dunia tempat kami ada dan dunia yang tak mengikutkanku serta. Tak pula
ada yang bisa menahannya menyeberang pergi.
'Ini... hadiah untuk kamu.' Aku menjegal langkah terakhirnya sebelum
menginjak antah berantah itu.
Egi terkejut melihat kotak di depan mukanya. 'Sejak kapan kamu kasih
kado segala?
'Usia 27 itu usia penting,' jawabku sekenanya.
Tawanya semringah ketika tahu apa isi kotak itu.
Aku sibuk menjelaskan. 'Sikat gigi elektronik. Ber garansi, watt kecil,
antiplak, sikatnya banyak dan masing masing beda fungsi. Seri ini punya
kemasan khusus buat travelling, cukup kecil untuk kamu bawa-bawa di
dalam tas. Ini buku panduannya...'
'Tio,' potongnya geli seraya menahan tanganku, 'saya tahu kamu itu
manusia praktis yang pasti memilih hadiah seperti ini, tapi... kenapa sikat
gigi?'
Kutatap kedua mata itu, hanya untuk menjemput kegugupan yang
membuatku gelagapan, 'Soalnya... ehm. soalnya...' kubersihkan
renggorokan, mengusir jauh-jauh keparat yang menghambar lidah, melirik
dan mendapat kan Egi tengah tersenyum menunggu jawabanku. Se
nyuman yang melonjakkan listrik di jaringan otak. Se nyuman yang
meyakinkanku bahwa dunia ini cukup indah tanpa perlu lagi surga.
Senyuman yang membuatku berkecukupan.
'Saya tidak pernah mengerti dunia dalam lamunan kamu,' kata-kata itu
akhirnya meluncur keluar, 'peng harapan yang kamu punya, dan kekuatan
macam apa yang sanggup menahan kamu begitu lama di sana. Tapi kalau
memang sikat gigi itu tiket yang bisa membawa kamu pulang, saya ingin
kamu semakin lama menyikat gigi, semakin asyik, sampai moga-moga lupa
berhenti. Karena berarti kamu lebih lama lagi di sini, di dunia yang saya
mengerti. Satu-satunya tempat saya eksis buat kamu'
Ia terperangah. Bahunya bergerak, Menjauh. 'Egi... jangan..." bisikku
waswas.
'Kamu tahu perasaan saya, dan saya tidak pernah mau membahas soal ini
lagi.'
'Tapi beginilah kenyataannya, saya tidak pernah berubah dari bertahun-
tahun yang lalu... kamu tahu itu...'
'Kamu sahabat saya... sahabat terbaik...' ia makin menjauh. Bersiap
menutup diri.
'Sampai kapan kamu terus mengharapkan dia?!' Tak tahan aku berseru.
'Orang yang tidak pernah ada saat kamu paling membutuhkan dukungan,
orang yang mungkin memikirkan kamu hanya seperseribu dari seluruh
waktu yang kamu habiskan buat melamunkan dia, orang yang tidak tahu
kalau kamu bahkan harus menyikat gigi demi melepaskan dia barang tiga
menit dari pikiran kamu?'
'Dia ingin datang. Biar itu cuma dalam hati. Dan dia akan menjemput saya,
pada kesempatan pertama yang dia punya. Saya bisa merasakan kalau dia
selalu memikirkan saya.'
'Kapan kamu akan bangun?' keluhku letih.
Tegas kepalanya menggeleng. 'Ini namanya cinta sejati. Satu hal yang tidak
pernah kamu tahu.'
Aku balik menggeleng. 'Itu kebutaan sejati. Kamu memilih menjadi tuna
netra padahal mata kamu sehat. Kamu tutup mata kamu sendiri. Dan
kesedihan kamu pelihara seperti orang mengobati luka dengan cuka.
bukan obat merah.'
Lama Egi rerdiam, menatapku kasihan. Wajahku di sentuhnya sekilas.
'Semoga satu saat kamu mengerti.'
Habis sudah persediaan kata-kata. Keyakinannya berada di luar akalku.
Aku ini ET. Jadi, mana mungkin aku bisa 'ngerti'.
Aku mencintai Egi. Egi mencintai pria lain, yang menahun sudah
membiarkannya terkatung-katung. Demi kianlah fakta sederhana yang
kami ketahui bersama. Kemalangan itu diperparah lagi karena
keinginanku yang logis untuk memilikinya bukanlah cinta bagi Egi, semen
tara cintanya Egi yang masokis juga alien bagiku.
Jembatan komunikasi kami runtuh. Dua manusia yang telah bersahabat
bertahun-tahun lamanya berubah asing dalam semalam. Mungkin sudah
saatnya.
Hampir genap setahun tak ada Egi dalam hari-hariku. Tidak ada lagi yang
menerjemahkan keindahan alam Tidak ada lagi yang menunjukkan
signifikansi di balik hal-hal remeh. Tidak ada lagi yang duduk di sofa panjangku untuk melalap
tulisan para filsuf yang mendedah makna hidup. Dan yang paling aku
kehilangan adalah mendengarkannya menyikat gigi.
Setiap kali aku berusaha merasionalisasikan semua ini, kesimpulanku
selalu sama: aku harus menemuinya lagi.
Bukan hal sulit untuk menemukannya. Ia masih Egi yang dulu, yang dapat
kutemui sore-sore sedang membaca buku di bangku taman yang berbukit-
bukit di kompleks rumahnya. Yang sulit justru mengungkapkan apa yang
tak pernah kusadari, dan lebih sulit lagi untuk tidak punya harapan apa-
apa sesudahnya.
'Egi..'
Punggung itu berbalik, matanya terbeliak tak percaya mendapatkanku
muncul kembali dalam hidupnya begitu saja. Lebih kaget lagi saat aku
berlutut dan meraih jemarinya dengan tanganku yang dingin. 'Sebentar
saja. Saya tidak akan lama,' ucapku cepat dengan kepala tertunduk.
Ia tidak berkata apa-apa, jemarinya saja ikut dingin.
'Saya tidak akan pernah jadi pujangga dan tetap ngantuk kalau baca buku
filsafat, Saya tetap Tio, si monokrom-whatever yang melihat segalanya
dengan tiga dimensi, dan bukannya empat seperti kamu. Tapi sekarang
saya mengerti kondisi aneh itu...' aku menantang matanya, menelanjangi
diri sendiri, 'karena saya sudah mengalaminya. Kebutaan itu. Saya tahu
sekarang, saya mencintai kamu bukan hanya dengan logika dan rasio.
Bukan sekadar kamu memenuhi standar ideal saya. Tapi... karena saya juga
mencintai kamu di luar akal. Satu tahun saya menemukan cukup banyak
alternatif yang masuk akal, tapi saya memang tidak ingin yang lain. Hanya
kamu. Apa adanya. Termasuk alam lamunan yang tidak pernah
melibatkan saya.
'Dan saya tetap Tio, yang kalkulatif dan tidak mau rugi, tapi kali ini saya
benar-benar tidak mengharap apa-apa. Saya hanya ingin mengatakan ini
semua, dan., sudah.' Aku menutup pernyataanku dengan senyum se
mampunya. Berusaha bangkit berdiri, walau berat rasanya menopang
tubuh dengan lutut yang bergetar.
Tangan Egi yang sesejuk es menahanku.
'Kamu mau ke mana?' tanyanya lirih,
'Jalan-jalan...' jawabku tidak yakin.
'Ikut,' ujarnya pendek seraya berdiri melipat buku.
Kami berdua berjalan meninggalkan taman, seolah olah tidak pernah
terjadi apa-apa. Tak ada jejak spasi kosong dari satu tahun yang sepi itu.
'Saya sendiri sudah banyak berpikir, murni dengan sel-sel otak seperti yang
selalu kamu anjurkan, mener jemahkan apa yang kamu anggap absurditas.
Dan kesini pulannya...' ia berkata mengeja, genggaman tangannya terasa
hangat, 'alam hati saya tidak mungkin dimengeiti siapa-siapa. Tapi ke
mana pun saya pergi, kamu tetap orang yang paling nyata, paling berarti.
Saya tidak mesti menyikat gigi untuk bisa pulang. Kamulah tiket sekali
jalan.'
Egi tahu aku butuh jeda untuk memahami ucapannya, karena itu langkah
kakinya berhenti dan, lewat sorot matanya, ia kirimkan pernyataan yang
tak perlu diterjemahkan. Bahasa mutual kami yang pertama.
'Kamu hidup nyata saya, Tio. Dan saya tidak mau ke mana-mana lagi. Itu
juga kalau kamu tidak keberatan kita menjalaninya pelan-pelan...'
.setengah berbisik ia menegaskan.
Perjalanan singkat menuju mobilku sore itu menjadi gerbang sebuah
perjalanan baru yang panjang.
Egi benar. Banyak hal yang tak bisa dipaksakan, tapi layak diberi
kesempatan. Dan kesempatan itu harus ditawarkan setiap hari oleh kedua
belah pihak. Aku pun benar, kami berdua mampu membangun apa saja,
baik persahabatan belasan tahun maupun kebersamaan seumur hidup.
Setiap kali aku duduk di sofa dan memandangi Egi yang asyik menyikat
gigi, ketakutan itu kadang-kadang datang. Ketakutan kalau suatu hari aku
terpaksa harus menariknya pulang dengan paksa, dan sikar gigi rak
mampu lagi menjadi tiketnya. Ketakutan kalau aku harus kehilangan
dunia absurd tempat perasaanku kepada-nya bersemayam, dunia yang ternyata amat kusukai. Ketakutan yang justru
timbul setelah aku benar-benar mengerti perasaan Egi dan semua
alasannya dulu.
Perlahan aku bangkit, memandangi satu sosok di belakang Egi yang
terpantul dalam kaca: Tio. Irasional dan buta. Aku tidak mau kehilangan


Pak Lurah

Developer

apa saja selain hidup

0 comments:

Post a Comment