Lara Lana

by 12:01 AM 0 comments
Lara Lana
dee – dalam buku filosofi kopi

Sederet angka mencuat dari kertas putih, menusuk mata Lana. Ada sebersit
takjub juga ngeri. Seberantak angka yang susah dihafal mampu
membongkar kenangan usang dan memberinya makna baru. Dia yang
baru. Aku yang usang.
Ruang tunggu selalu memancing dilema dalam hatinya, tapi tidak pernah
seperti ini. Lana betul-betul tergerak untuk menelepon. Mungkin karena
Lana sudah tak yakin kapan akan kembali, akankah dirinya kembali.
Lana memencet empat angka pertama dari sepuluh digit yang tertera.
Dadanya berdegup kencang sampai sakit rasanya. Bibirnya bergetar resah,
mengantisipasi. Begitu terdengar nada sambung nanti, Lana siap
berekspresi layaknya pose untuk berfoto yang terakhir kali.
Kata apa kabar' akan meluncur dengan semangat penghabisan mentari
sore sebelum dipadamkan malam. Lalu ia lancarkan sepaket basa-basi
dalam urutan yang tepat, seperti yang selalu dilatihkannya dalam hati
sebelum lelap tidur, agar percakapan mereka tercatat sejarah sebagai yang
paling mengasyikkan.
Lalu perasaan itu. Rasa rindu yang akan ia ungkap hati-hati, dicicil
sehingga tidak terasa picisan. rasa sayang dikemas dalam kiasan seperti
membungkus puteri dalam gaun pesta lalu dilepas anggun ke lantai dansa.
Cantik mengundang tapi membuat segan. Semua itu telah dilatihkannya
berhari-hari. Bertahun-tahun.
Dua angka sebelum digit terakhir. Jarinya tertahan oleh detik yang tahu-
tahu beku. Detik yang tahu-tahu melebar dan membentangkan dua puluh
tiga rahim perkawanan. Dia selalu memuja Lana, begitu kata semua orang.
Tapi mereka tidak bisa bersama karena alasan yang tak perlu
dipertanyakan lagi. Kamu itu bajaj bei-mesin BMW, begitu Lana
mengungkapkan padanya saat didesak.
Lana kenal banyak BMW bermesin bajaj, dan semua itu habis ia hina-hina.
Untuk benar-benar bersanding sebagai pacar Lana, seseorang harus jadi
mobil mewah Eropa luar dalam. Lana yang unik dan glamor. Kamu cukup
jadi kacung intelektualku saja, kata Lana padanya. Mereka berdua lantas
tertawa-tawa, mereka suka perumpamaan itu, sekalipun hatinya patah
setiap kali kata 'kacung' terlontar dari bibir lana yang menguncup
menggemaskan.
Dia ingin jadi pendekar sakti, seorang master, ilmuwan kaya raya yang
menciptakan temuan-temuan hebat untuk memajukan umat manusia.
Lana ingin jadi anggota dari kelompok ultraelit yang memperoleh teknologi
dari makhluk Mars untuk membangun koloni rahasia di bulan. Mereka
percaya teori konspirasi dan secara berkala bertukar informasi yang
dikarang sendiri. Tak ada orang lain yang mampu menghibur Lana
sebegitu sempurna, memuaskan rasa humornya, menjajal daya khayalnya.
Masa kuliah mereka habiskan di tempat berbeda. Dia kuliah di UI dan
untuk itu terpaksa menumpang di dapur pamannya di Lenteng Agung
karena beliau beranak delapan dan itulah satu-satunya tempat yang masih
muat digelari kasur. Lana kuliah di USC yang mengharuskannya tinggal di
Los Angeles. Sama-sama 'L.A', baru kalau diuraikan perbedaan kelasnya
terlihat, canda mereka selalu. Namun ada kalanya persamaan insignifikan
itu, aksara L dan A, menjadi satu-satunya penghibur kala kangen mereka
tak lagi terbendung.
Lana tidak menyelesaikan kuliahnya di USC, dan itu tidak masalah. Bisnis
keluarganya terlalu banyak untuk menunggu sebuah gelar kesarjanaan.
Lain halnya dengan dia yang mencicil gelar demi gelar, mengetuk banyak
pintu demi beasiswa, lalu kembali berjuang meniti karier akademis yang
terjal, yang tak akan pernah membuatnya sekaya raya Lana.
Saat dia menjadi dosen, hidup sederhana dalam rumah cicilan tipe 36 di
perumahan milik universitas yang sebagian masih rawa-rawa, Lana
membantunya pindahan, bahkan menginap dan ikut tidur di atas tikar.
Pendar-pendar televisi pemberiannya menyemarakkan dinding polos yang
tak berhias. Lana tidak punya koloni di bulan, tapi penghasilannya lebih
dari cukup untuk menghadiahkan televisi.
Lana tinggal seminggu di rumah itu. Setelah kita mencoba hidup 24 jam X
7 hari dengan seseorang dan tidak merasa bosan maka orang itu bisa kita
nikahi, Lana berteori. Mendengar ucapan Lana, ia tertawa sampai berurai
air mata, diikuti Lana sampai tercekik-cekik Saya tidak mungkin menikahi
kamu, ia berceletuk d ujung tawanya. Barulah Lana sadar mereka berdua
tertawa karena alasan yang berbeda.
Satu hari dia bilang kalau dia punya pacar. Baru seminggu. Seorang gadis
tingkat akhir yang lugu, kaku. dan tidak seru. Tidak percaya UFO, tidak
suka Kho Ping Hoo, dan tidak peduli ada tidaknya konspirasi global selama
nasi tersaji di meja makan keluarganya setiap hari, selama adzan masih
berkumandang lima kali sehari. Kenapa kamu bisa suka, Lana bertanya.
Karena dia mau sama saya, ia menjawab. Lana spontan tertawa, keras dan
lama. Ia hanya tersenyum dan menunggu tawa Lana usai. Saya akan
menikah, lanjutnya saat hening. Bagaimana kamu bisa menikahi orang
yang baru kamu kenal, yang tak seru, yang tak bisa menghargai keunikan
pikiranmu, yang rak bisa kamu ajak bercanda dan berkhayal semalam
suntuk, cecar Lana yang mulai marah karena percakapan itu makin tidak
lucu.
Dia diam, menatap Lana dengan lelah. Dia jemu menanti yang tak pasti.
Dia jenuh menjadi pihak yang tak berdaya. Manusia mana yang tidak, pikir
Lana. namun dirinya tak bisa berbuat apa-apa. Keadaan mereka terlampau
jauh berbeda. Terkadang Lana berpikir keajaibanlah yang melahirkan
manusia satu itu. Bagaimana mungkin lingkungan serba kekurangan,
kolot, konservatif, ortodoks, kampungan, dan segala ajektif yang
menandakan sindrom klaustrofobik sosial, mampu menghadirkan dia yang
sebegiru canggih dan gila. Seolah dia terbelah dalam dua dunia: dunianya
bersama Lana, dan bersama sisa dunia tanpa Lana.
Lana ingat saat terakhir kali nomor itu tertera di layar ponselnya: Besok
saya lamaran. Doakan, ya. Lana tergeli sendiri, apa yang harus didoakan?
Hidup berjalan sesuai konrrak yang disepakati antar-roh sebelum terlahir
jadi daging ke dunia. Apa pun yang terjadi bukanlah keberuntungan atau
kesialan, melainkan eksekusi kontrak belaka. Jadi, apakah seseorang bisa
dibilang sial kalau sebenarnya kesialan itu direncanakan? Lana tambah
stres saat pertama kali mendengar konsep itu di retret anti-stres.
Akhirnya Lana tak tahan lagi, menelepon membabi buta: Saya mohon,
jangan pergi melamar ke sana. Kalau kamu menikah, saya akan jadi orang
paling kesepian di dunia. Kalau perlu saya yang melamar ke orang tua
kamu. Jangan bohongi diri kamu. Cuma saya yang mengerti siapa
sebetulnya kamu...
Ia memotong, dingin, seolah disusupi roh asing yang tak Lana kenal:
Selama ini kamu cuma mengenalku dalam versi yang kamu mau. Aku
begitu karena kamu. Kamu tidak pernah tahu siapa diriku sebenarnya.
Lana menggeleng. Tidak mungkin. Barangkali ia salah sambung. Perjanjian
macam apa ini? Benarkah ini roh yang sama, teman sebangkunya sejak
SMA, yang selalu berkata mereka adalah sejiwa terbelah dua, soulmate?
Lana menutup telepon. Aku ditipu. Breach of contract.
Anaknya yang paling besar sudah mau SD, mereka masih tinggal di rumah
yang sama. Lana tahu itu dari seorang alumni. Dan kamu belum menikah?
Temannya itu bertanya, hati-hati. Lana menggeleng ringan dengan ekspresi
yang bikin iri. Ada kemerdekaan di sana, penerimaan, dan keberanian
untuk menjadi beda. Sejak dulu memang cuma Lana yang punya itu
semua, temannya membatin. Bergaul dengan Lana seperti hanyut dalam
air sejuk, tapi kesejukan itu lama-lama menjadi dingin yang
mengintimidasi. Temannya pun permisi
pergi, meninggalkan Lana yang kehilangan belahan jiwanya pada reuni
akbar, pada saar jiwa-jiwa yang terpisah seharusnya kembali bertemu.
Digit terakhir. Jatuh pada angka nol. Jempol Lana gemetar seolah dibebani
bergunung-gunung sampah batin yang dikoleksinya sepanjang hayat.
Hatinya lalu mengukur dan menimbang: akankah aku bertambah tenang
bila berhasil membuktikan pada diriku, pada dia, pada dunia, kalau aku
baik-baik saja?
Satu percakapan telepon akan membuktikannya. Satu dosis kejujuran
sebelum Lana pergi meracuni tubuh dengan kemoterapi-racun yang
berbohong jadi obat.
Jempol itu melayang di atas nol. Kejujuranlah obat sejati.
Suara sintetik bernada tinggi menggema di ruang tunggu yang lengang.
Tombol rerakhir dipencet sudah. Aku mencintaimu. Tidak akan berubah.
Tombol merah yang Lana pilih menghapus kesembilan digit angka pada
layar ponsel yang menyala biru. Seorang perempuan berseragam
menghampirinya, 'Bapak Maulana, mari saya antar ke pesawat.'
Lana tidak terburu-buru. Tangannya bergerak pelan dan khidmat. Pesawat
itu pasti mau menunggu seorang pesakitan untuk melipat dan menyimpan
secarik kertas ke dalam dompet, sebagaimana kertas itu sudah terlipat dan
menunggu bertahun-tahun di tempat sama. Lalu Lana beringsut hati-hati
ke kursi roda yang dibawakan khusus untuknya.
'Tidak apa-apa, Pak?' petugas itu bertanya saat melihat mata Lana.
Lana tersenyum tipis, ringan, ekspresi yang memancing rasa iri. Ada
kejujuran di sana, kepasrahan, dan keberanian untuk menjadi beda.
Namun ada juga bulatan air menyerupai angka nol yang menyembul di
pelupuk mata. Lana menghancurkan bulatan itu dengan punggung
tangan, 'Tidak apa-apa.'




Pak Lurah

Developer

apa saja selain hidup

0 comments:

Post a Comment