Matinya Seorang Demonstran
Agus Noor
Kompas, Minggu 26 Januari 2014
PAHLAWAN
hanyalah pecundang yang beruntung. Ratih se-
lalu tak bisa
melupakan kata-kata itu setiap kali melewati
jalan ini.
Telah banyak yang berubah. Tak ada lagi deretan
kios koran, warung gado-gado, dan penjual bensin eceran di
pojok-
an. Bangunan kuno asrama mahasiswa yang dulu berada di sisi
ka-
nan telah menjadi ruko bergaya modern. Waktu mengubah gedu-
ng-gedung, tapi tidak mampu mengubah kenangannya.
Ratih tersenyum
membaca nama jalan itu. Teringat apa yang
dikatakan Eka. “Banyak orang ingin jadi pahlawan, agar
namanya
dijadikan nama jalan. Mungkin, itulah satu-satunya
keberuntungan
menjadi pahlawan di negara ini.” Ada sinisme dalam
kata-katanya.
Tapi itulah, yang ketika pertama kali bertemu dalam satu
diskusi,
membuatnya suka pada Eka. Dia selalu menarik perhatian
dengan
pernyataan-pernyataan yang disertai kelakar. “Militerisme pasti
mati di Republik ini. Dan aku adalah orang sipil pertama
yang akan
menjadi Panglima ABRI. Tak hanya dapat Bintang Lima. Tapi
Bin-
tang Tujuh. Lumayan, bisa buat obat sakit kepala…” Saat itu
Presiden Soeharto memang baru mendapat gelar Jenderal Besar
Bintang Lima. Dan Bintang Tujuh adalah merek puyer obat
sakit
kepala.
Ratih kemudian
tahu, Eka seorang penulis. Mungkin itu se-
babnya dia cenderung penyendiri. “Aku kurang flamboyan
sebagai
aktivis,” katanya tertawa. Dia tak suka tampil berorasi di
mimbar.
Mungkin sadar, suara cemprengnya tak akan membuat terpesona
para demonstran. “Dalam perjuangan, ada yang menggerakkan,
ada yang memikirkan. Aku memilih yang kedua,” katanya. “Mim-
bar dan panggung itu godaan. Banyak yang tampil di mimbar
ha-
nya ingin mendapatkan sebanyak mungkin tepuk tangan. Begitu
turun panggung, mereka lupa dengan apa yang mereka katakan.”
Ratih ingat
ketika Eka mengantar pulang setelah menonton
pertunjukan teater di Auditorium Fakultas Filsafat. Eka yang
menulis naskahnya. Ratih yakin, saat itu Eka mengajaknya
nonton
karena dia pingin pamer naskah yang dia ditulis. Naskah yang
me-
nurut Ratih terlalu sok filosofis: bagaimana seseorang mesti
berani
meneguk racun untuk membela pemikiran yang diyakininya. Penu-
lisnya seperti hanya ingin menunjukkan bahwa ia adalah
mahasis-
wa filsafat yang merasa lebih hebat dari Socrates yang
dipujanya.
“Lakon yang kamu tulis itu membuktikan kamu memandang hidup
ini getir. Makanya selalu sinis.”
“Sinis
bagaimana?”
“Ya, hampir semua
hal kamu tanggapi dengan nyinyir…”
“Jangan salah,”
Eka menatapnya tajam. “Kamu harus mem-
bedakan antara filsuf dan orang biasa. Kalau orang biasa
sinis, akan
dianggap nyinyir. Tapi kalau filsuf sinis, itu disebut
kritis.”
Eka tertawa dan
memeluk pundaknya. Entah kenapa, saat itu
ia tak mencoba mengelak.
Laki-laki
romantis adalah laki-laki yang bisa membuat perem-
puan tertawa. Ratih teringat kalimat di sebuah buku:
menikahlah
dengan laki-laki pertama yang membuatmu tertawa. Ia lupa
judul-
nya. Yang tak ia lupa ialah ketika Eka datang ke rumahnya
pertama
kali pada malam Jumat. Tidak membawa bunga, tapi martabak.
“Pertama, mesti kutegaskan,” katanya. “Aku sengaja datang
ma-
lam Jumat, karna tahu, malam Minggu kamu sudah milik orang
lain. Aku tak berhak mengganggunya. Seseorang yang bahagia
adalah seseorang yang diberi kesempatan memilih dalam hidup.
Maka aku memberimu kesempatan, agar kamu bisa memilih sen-
diri kebahagiaanmu. Tak perduli, apakah bagimu nantinya aku
pilih-
an kedua atau pertama.”
“Jadi kamu tahu
aku sudah punya pacar?”
“Kalau perempuan
semanis kamu tidak punya pacar, pasti
ada yang salah pada selera semua laki-laki di dunia ini.”
Ratih tertawa.
“Dan kedua, soal
martabak ini. Sebagai anak kost, aku mesti
yakin, bahwa aku tidak membelikanmu sesuatu yang akan
sia-sia.
Itu sebabnya aku membawakanmu martabak.”
“Kenapa?”
“Karna bila kamu
tak suka, aku bisa memakannya sendiri.”
Ia memang tak
suka martabak. Hanya mencicip sepotong un-
tuk basa-basi, selebihnya Eka yang menghabiskan. Sejak itu
(seper-
ti yang selalu diistilahkan Eka) dia menjadi “pemilik malam
Jumat”.
Sebab “pemilik malam Minggu” adalah Munarman, mahasiswa
ekonomi sefakultas yang sudah dua tahun menjadi pacar Ratih.
Ke-
duanya kutub yang bertolak belakang.
Munarman–lebih
suka di panggil Arman–bertubuh tegap at-
letis. Seorang yang selalu tak ingin ketinggalan baju-baju
yang se-
dang menjadi mode di majalah popular. Eka ringkih dan selalu
tam-
pak kucel dengan kaos yang seminggu bisa dipakainya
terus-mene-
rus. Dia punya argumen: jauh lebih berguna menghabiskan
waktu
untuk membaca buku dari pada untuk mencuci baju. Arman
selalu
mengajaknya ke kafe, diskotik atau ramai-ramai karaokean
dengan
kawan-kawan gaulnya. Bila mengajaknya keluar, Eka membawanya
ke acara-acara diskusi, pembacaan puisi, pameran lukisan
atau
sampai larut menghabiskan sepoci teh di warung deket kampus.
Seringkali malah hanya jalan kaki, menyusuri jalanan tanpa
tujuan.
“Jalan kaki ini bukan perkara idiologi,” kata Eka, “tapi
karena aku
memang tak punya mobil.” Terdengar sinis seperti biasa. Seakan
ditujukan pada Arman yang memang selalu menjemput Ratih de-
ngan mobil terbarunya.
Arman anak
purnawirawan Kolonel Angkatan Darat. Ayah Eka
guru Sekolah Dasar Inpres di sebuah desa–yang dalam ungkapan
Eka sendiri disebutnya “tak akan pernah pantas dimasukkan
dalam
peta Indonesia saking terbelakangnya”. Arman selalu pamer
pang-
kat orangtuanya. “Orang-orang seperti ayahkulah yang
memiliki
negara ini,” kelakar Arman yang kerap diulangnya dengan nada
bangga. Eka begitu menghormati kemiskinan ayahnya. “Aku
ingin
menjadi filsuf karena merasakan nasib ayahku. Seorang yang
dalam hidupnya sanggup menanggung dua penderitaan sekaligus.
Pertama, karena ia guru. Kau tahu nasib guru di negara ini,
kan?
Mulia statusnya, tapi melarat nasibnya. Kedua, karena ia
beristri
perempuan yang tak hanya cerewet tapi juga galak dan
menindas.
Penindasan paling kontemplatif selalu datang dari seorang
istri. Itu
sebabnya ayahku selalu murung dan termenung. Nah, kini kau
tahu, kenapa aku mengagumi ayahku dan Socrates! Itulah
alasan
filosofis, kenapa aku memilih masuk Fakultas Filsafat.
Alasan idiolo-
gisnya, karena aku tertindas. Sedang alasan praktisnya,
karena ju-
rusan filsafat tak banyak peminatnya.”
Ratih sering
bertanya pada dirinya sendiri, kenapa ia bisa me-
nyukai dua laki-laki itu? Mungkin karena bersama Arman ia
menik-
mati hidup. Sementara dengan Eka ia merasa ada sesuatu yang
mesti diperjuangkan dalam hidup.
ring mencemaskan Eka. Aparat semakin keras dan represif
meng-
hadapi para mahasiswa yang turun ke jalan menuntut Soeharto
mundur. Berkali-kali terjadi bentrokan dan aparat tak hanya
me-
nembakkan gas air mata. Lima mahasiswa terluka tertembak
pelu-
ru karet, dalam satu bentrokan di bundaran kampus. Seorang
ma-
hasiswa yang sedang memotret dihajar puluhan aparat,
tubuhnya
yang sudah terkapar terus ditendang, kameranya diinjak-ijak.
Tu-
buh mahasiswa yang sudah berdarah-darah itu diseret lebih
dari
100 meter di aspal jalan yang panas sambil terus ditendangi
dan di-
pukuli dengan pentungan.
Sementara usai
demonstrasi menutup jalan pertigaan depan
kampus IAIN Sunan Kalijaga, delapan kawan mahasiswa diciduk
aparat. Kabarnya mereka disekap di Kodim. Beberapa aktivis
sege-
ra berkumpul di rumah kontrakan di Gang Rode yang sering
dijadi-
kan tempat pertemuan–“rapat gelap” istilah mereka–dalam
suasa-
na penuh kecurigaan. Beberapa orang dianggap sebagai intel
mili-
ter yang disusupkan. Eka mengajaknya ke pertemuan itu.
Daulay,
Ata, Toriq, Maria, Seno, Budiman, Semendawai, Afnan, Damai,
Leyla, Rizal, Rahzen, dan beberapa yang hadir tak bisa
menyembu-
nyikan ketegangannya, bicara dengan nada tinggi, membentak
dan
saling tuding.
“Secepatnya kita
harus melakukan lobby untuk membebas-
kan kawan-kawan kita.”
“Biar intel
militer kayak kamu yang urus!”
Seseorang
menggebrak meja. Ratih tak melihat jelas siapa. Ia
agak sembunyi di belakang Eka.
“Ada yang sudah
dapat kabar keadaan mereka?”
“Tenang,” kata
Eka. “Penjara, akan membuktikan tangguh ti-
daknya mereka. Lagi pula, penjara justru meningkatkan
martabat
para pembangkang.”
Penjara. Sering
Ratih merasa ngeri setiap membayangkan pa-
da akhirnya Eka akan mengalaminya. Sanggupkah tubuh Eka yang
kurus menahan siksaan disetrum, dibaringkan di atas balok es
se-
malaman, dijepit jempolnya dengan tang atau digampar popor
se-
napan? Eka memeluknya ketika Ratih mengungkapkan kecemasan-
nya. Malam itu pertama kali Ratih menginap di kamar kost
Eka.
“Kekuatan manusia bukan pada tubuhnya, tapi jiwanya,” kata
Eka.
“Kau sudah baca novel Jalan Tak Ada Ujung Mochtar Lubis?
Pada
akhirnya bukan Hazil yang muda, bersemangat, dan tampak kuat
yang mampu bertahan oleh siksaan. Tapi Guru Isa yang tua,
kelihat-
an lemah dan impotent.” Malam itu Ratih merasakan badan Eka
hangat dan gemetar. Eka tak bisa menyembunyikan kegugupan
ke-
tika mulai menciuminya. Ratih tahu, itu bukan kegugupan
laki-laki
yang baru tidur pertama kali dengan perempuan.
Demonstrasi
nyaris terjadi setiap hari. Ia sering bersama Eka
malam-malam keluar masuk gang-gang menyebarkan selebaran.
Seperti gerilyawan kota, kata Eka. Sementara Arman mulai
terang-
terangan menunjukkan ketidaksukaannya. “Jangan dikira aku
tak
tahu hubunganmu dengan Eka,” katanya. “Persetan dengan poli-
tik! Tapi pada akhirnya aku yakin, kamu akan memilih aku.
Terlalu
beresiko kamu hidup dengan Eka. Pertama, kamu akan
menderita.
Kedua, kamu cepat jadi janda. Eka pasti akan mati diculik
atau dira-
cun. Karna begitulah nasib aktivis.”
Bila Ratih
semakin cemas, itu bukan karna ucapan Arman,
tapi rasanya memang ada yang tak akan pernah mungkin mampu
ditanggungnya bila ia terus dekat Eka. Ibu pun sudah mulai
tak
suka setiap kali Eka datang ke rumah. Berita-berita
demonstrasi di
televisi membuat ibu melarangnya pergi. Ia tak menyalahkan.
Itu
perasaan wajar seorang ibu yang telah bertahun-tahun hidup
sen-
dirian mencemaskan anak perempuan satu-satunya.
Ratih sedang
makan malam dengan ibunya ketika bentrokan
antara mahasiswa dan aparat di jalan tak jauh dari rumah
terus
berlangsung hingga selepas isya. Mahasiswa yang
berdemonstrasi
sejak pagi terus bertahan menutup jalan hingga malam.
Semakin
malam semakin banyak warga yang ikut bergabung. Aparat mem-
bubarkan paksa, dengan menembakkan gas air mata. Truk-truk
yang mengangkut pasukan terus menderu melintas, suaranya
ter-
dengar dari rumah Ratih. Serentetan suara senapan dan
ledakan
sesekali menggelegar. Suasana mencekam bahkan terasa hingga
ke dalam rumahnya. Beberapa demonstran beberapa kali
terlihat
berlarian masuk ke dalam gang samping. Aparat
menggedor-gedor
pintu, mencari mahasiswa yang sembunyi di dalam rumah pendu-
duk. Saat itulah Ratih mendengar pintu diketuk. Ibu terlihat
pucat.
Hati-hati ia mengintip dari celah korden, ternyata Arman.
Dia buru-
buru masuk dengan gugup. Dia bercerita kalau dirinya
terjebak di
tengah-tengah kerusuhan ketika menuju ke mari. Di jalan ada
dua
panser yang memblokade jalan. Mobilnya digebrak-gebrak dan
diancam hendak dibakar. Mobil ia tinggalkan, dan segera
berlari
menyelamatkan diri. Ibu memberinya segelas air putih. Tangan
Arman gemetaran memegangi gelas.
Baru tengah
malam bentrokan mereda. Karena merasa sudah
aman, Arman pamit pada ibu untuk melihat mobilnya sekalian
mau
beli rokok. Ada dua hal yang tak gampang diduga: nasib dan
poli-
tik. Esok siangnya Ratih mendengar kabar yang tak pernah
dibaya-
ngkan. Arman mati tertembak peluru nyasar, ketika bentrokan
kembali memanas di jalan itu dan aparat dengan serampangan
me-
lepaskan tembakan. Ratih juga tak lagi bertemu Eka setelah
bent-
rokan yang terus berlangsung hingga subuh itu. Tak ada yang
tahu
ke mana Eka. Kawan-kawannya yakin Eka diculik, dan tak jelas
na-
sibnya.
Begitu lulus
kuliah, Ratih memilih pergi dari kota ini. Berusaha
melupakan ingatan pahit itu. Hanya pulang sesekali untuk
meneng-
ok ibunya. Dan setiap kali pulang, mau tak mau ia pasti
melewati
jalan ini, dan kenangan itu selalu muncul kembali. Dulu ia
mengenal
jalan ini sebagai Jalan Sutowijayan. Kini bernama Jalan
Munarman.
Pecundang memang sering kali lebih beruntung. [*]
0 comments:
Post a Comment