Batu Berbentuk Ginjal yang Berpindah-pindah Setiap Harinya
penulis : Haruki Murakami
JUNPEI berumur enam belas tahun ketika ayahnya mengatakan hal ini. Benar,
mereka memang ayah dan anak; darah yang sama mengalir di tubuh mereka. Tapi
mereka tidak begitu dekat sampai-sampai saling membuka diri satu sama lain, dan
adalah sesuatu yang janggal jika ayah Junpei memberinya semacam nasihat atau
petuah filosofis seperti itu. Perubahan ayahnya yang didapatinya hari itu pun
tertanam di dalam benaknya sebagai ingatan yang samar, lama setelah ia
melupakan apa yang memicu petuah tersebut diucapkan lelaki itu.
“Di antara perempuan-perempuan yang ditemukan seorang lelaki dalam
hidupnya, hanya ada tiga yang benar-benar berarti baginya. Tidak lebih, tidak
kurang,” kata ayahnya. Lelaki itu mengatakannya dengan tenang namun pasti,
sebagaimana ia berkata soal bumi yang memerlukan waktu satu tahun untuk
mengitari matahari. Junpei menyimaknya dalam diam, sebagian karena perkataan
ayahnya itu begitu tak terduga. Ia tak tahu harus mengatakan apa pada saat itu.
“Kau mungkin saja kelak dekat dengan banyak perempuan,” lanjut ayahnya,
“tapi kau hanya akan membuang-buang waktumu jika perempuan itu bukan perempuan
yang tepat untukmu. Aku ingin kau mengingatnya.”
Lantas, beberapa pertanyaan melintas di benak Junpei: Sudahkah
ayahku bertemu tiga perempuan yang dimaksudkannya itu? Apakah ibuku termasuk
diantaranya? Dan jika iya, apa yang terjadi dengan yang dua lagi? Tapi
ia tak memiliki keberanian untuk menanyakan hal-hal ini kepada ayahnya. Seperti
yang kukatakan sebelumnya, mereka tidak begitu dekat sampai-sampai bisa
berbicara dari hati ke hati satu sama lain.
Junpei meninggalkan rumah di usia delapan belas tahun saat ia kuliah di
Tokyo dan kemudian dekat dengan beberapa perempuan yang salah satunya
“benar-benar berarti” baginya. Ia yakin akan hal ini pada saat itu, dan masih
sama yakinnya pada titik ini. Namun sebelum sempat ia mengungkapkan perasaannya
dalam wujud yang konkret—ia memang selalu butuh waktu lebih lama dari orang
lain untuk menunjukkan apa yang dirasakan atau dipikirkannya dalam wujud
konkret—perempuan itu menikah dengan teman baiknya, dan tak lama kemudian
menjadi seorang ibu. Saat itu juga, perempuan itu dihapus dari daftar
kemungkinan yang ditawarkan hidup kepadanya. Ia harus menguatkan hatinya dan
mengenyahkan perempuan itu dari pikirannya. Jumlah perempuan yang “benar-benar
berarti” dalam hidupnya pun—jika ia memang membenarkan pernyataan ayahnya
itu—berkurang menjadi dua.
Setelah itu setiap kali Junpei bertemu dengan seorang perempuan ia akan
bertanya-tanya, Inikah perempuan yang benar-benar berarti bagiku?dan
pertanyaan ini akan menjelma jadi dilema. Ia memang terus berharap akan
menemukan perempuan yang “benar-benar berarti” itu (siapa yang tidak?) namun ia
selalu takut memainkan kartu-kartu sisanya terlalu dini. Ia pun akhirnya
kehilangan kemampuan untuk mengekspresikan rasa cintanya pada waktu yang tepat,
dengan cara yang tepat. Aku ini mungkin tipe orang yang mengurusi
hal-hal tak penting dalam hidupku namun justru menelantarkan hal-hal yang
sangat penting.Setiap kali pikiran ini melintas di benaknya—yang ternyata
sering—hatinya akan tenggelam begitu dalam ke sebuah tempat di mana tak ada
cahaya dan kehangatan di sana.
Dan begitulah, setelah ia dekat dengan seorang perempuan lain dalam
beberapa bulan, ketika ia mulai menyadari sesuatu tentang sikap ataupun
kepribadian perempuan itu yang tidak disukainya, di sebuah ceruk di hatinya ia
akan merasakan denyutan yang melegakan. Hal ini pun lambat laun menjadi semacam
pola dalam hidupnya, di mana ia menjalin hubungan yang penuh keraguan dengan
perempuan-perempuan yang ia temui setelahnya. Ia akan bertahan dengan seorang
perempuan seperti halnya menyimpan stok sampai akhirnya, pada satu titik,
hubungan itu berakhir dengan sendirinya. Berakhirnya hubungan itu tak pernah
didahului pertengkaran sebab ia tak pernah membiarkan dirinya terlalu dekat
dengan perempuan yang menurutnya akan sulit untuk diatasi. Sebelum ia
menyadarinya, ia telah menjadi seseorang yang tidak menyusahkan pasangannya.
Junpei sendiri sebenarnya tidaklah yakin apakah sikapnya ini adalah efek
samping dari kepribadiannya yang lemah lembut ataukah dibentuk oleh lingkungan
di sekitarnya. Jika ternyata yang kedua, bisa jadi itu adalah buah dari kutukan
ayahnya. Saat ia lulus dari universitas dulu, ia bertengkar hebat dengan
ayahnya dan memutuskan hubungan dengan lelaki itu. Tapi teori ayahnya,
pernyataan ayahnya tentang “tiga perempuan” itu, terus tertanam di benaknya.
Tanpa pernah ia menerima penjelasan lebih jelas tentangnya, teori itu pun
menjadi semacam obsesi yang menghantuinya. Pada suatu waktu ia bahkan sempat
bergurau mempertimbangkan dirinya menjadi seorang homoseksual; barangkali
dengan cara ini ia bisa membebaskan dirinya dari teori konyol itu. Namun
bagaimanapun, entah itu baik atau buruk, Junpei hanya tertarik kepada
perempuan.
Perempuan berikutnya yang Junpei temui, segera ia mengetahuinya, lebih tua
darinya. Tiga puluh enam. Junpei sendiri tiga puluh tiga. Seorang kenalannya
membuka sebuah restoran Prancis kecil di sebuah jalan di Tokyo dan Junpei diundang
untuk menghadiri pesta itu. Ia mengenakan kemeja Perry Ellis berwarna biru
dengan mantel musim panas yang cocok. Ia berencana menemui seorang teman dekat
di pesta itu tapi teman dekatnya itu membatalkan pertemuan mereka di saat-saat
terakhir sehingga ia di sana hanya duduk tanpa ditemani siapa pun. Diminumnya
segelas besar Bordeaux seorang diri. Ketika ia akan beranjak dan menghambur ke
kerumunan, untuk mengucapkan sampai jumpa kepada pemilik restoran, seorang
perempuan bertubuh tinggi mendekatinya dengan semacam koktail ungu di
tangannya. Yang terlintas di benak Junpei ketika melihat perempuan itu: Ini
dia seorang perempuan dengan postur yang mengagumkan.
“Seseorang di sebelah sana memberitahuku kalau kau seorang penulis.
Benarkah itu?” tanya perempuan itu, menyimpan sikutnya di meja bar.
“Kupikir begitu, sejauh ini,” jawab Junpei.
“Seorang penulis sejauh ini.”
Junpei mengangguk.
“Berapa banyak bukumu yang sudah terbit?”
“Dua kumpulan cerpen dan satu buku terjemahan. Tak ada yang terjual
banyak.”
Perempuan itu sekilas mengamati Junpei dari kepala hingga ujung kaki lalu
tersenyum dan tampak puas.
“Ya, apa pun itu, kau penulis pertama yang aku temui.”
“Mungkin sedikit mengecewakanmu,” kata Junpei. “Penulis tak punya bakat
yang bisa ditunjukkan. Seorang pianis bisa memainkanmu beberapa nada. Seorang
pelukis bisa menggambarkanmu sebuah sketsa. Seorang pesulap bisa menunjukkan
padamu satu-dua trik. Sedangkan penulis, tak banyak yang bisa dilakukannya.”
“Entahlah ya. Mungkin aku bisa sekadar menikmati aura artistik atau sesuatu
semacam itu—darimu.”
“Aura artistik?”
“Pancaran spesial; sesuatu yang tidak kautemukan pada orang biasa.”
“Aku bercermin setiap pagi saat bercukur dan tak pernah menemukan sesuatu
semacam itu.”
Perempuan itu tersenyum hangat, dan bertanya, “Cerita-cerita seperti apa
yang kau tulis?”
“Banyak orang menanyakannya dan jujur aku kesulitan mengkategorikan
cerita-ceritaku ke dalam satu ‘tipe’. Mereka tak terangkum dalam satu genre.”
Perempuan itu menyentuh-nyentuhkan jarinya di ujung gelas koktailnya.
“Sepertinya kau menulis karya sastra?”
“Kukira begitu. Tapi kau mengatakannya seperti jika kau menyebut‘surat
berantai’.”
Perempuan itu tersenyum lagi. “Pernahkah aku mendengar namamu?”
“Kau membaca majalah-majalah sastra?”
Perempuan itu menggeleng pendek.
“Kalau begitu kemungkinan besar kau tidak pernah mendengar namaku. Aku tak
begitu terkenal.”
“Pernah dinominasikan untuk Akutagawa Prize?”
“Dua kali dalam lima tahun.”
“Tapi tak menang?”
Junpei tersenyum tapi tak mengatakan apa pun. Tanpa meminta izinnya,
perempuan itu duduk di kursi di sampingnya dan meminum pelan-pelan sisa
koktailnya.
“Oh, apa juga pentingnya,” ujar perempuan itu. “Penghargaan itu toh hanya
semacam siasat industri.”
“Akan melegakan jika aku mendengarnya dari seseorang yang pernah
memenangkan penghargaan itu.”
Perempuan itu memberi tahu namanya: Kirie.
“Nama yang tak lazim,” ujar Junpei. “Terdengar seperti ‘Kyrie’ dari massa.”
Junpei menduga perempuan itu lebih tinggi satu inci darinya. Rambutnya
pendek, cokelat gelap, dan bentuknya enak dilihat. Ia mengenakan jaket linen
hijau pudar dan rok layang selutut. Lengan jaket itu digulungnya hingga sikut.
Di balik jaket itu ia mengenakan blus katun dengan peniti biru-hijau di bagian
kerah. Buah dadanya tak besar juga tak kecil. Ia tampil bergaya, dan ketika tak
sedang berpura-pura, tampilannya menunjukkan seorang individualis yang
berprinsip. Bibirnya penuh, dan mereka menandai akhir kalimat-kalimatnya dengan
menyebar atau mengerut. Ini membuat segala sesuatu darinya terasa hidup dan
segar. Tiga garis paralel akan muncul di keningnya saat ia berhenti bicara
untuk memikirkan sesuatu. Dan ketika selesai, garis-garis itu hilang.
Junpei menyadari bahwa ia tertarik kepada perempuan itu. Sesuatu yang tak
bisa dijelaskan namun nyata tentang perempuan itu membuatnya bergairah, memompa
adrenalinnya, mengirimkan ke hatinya sinyal-sinyal rahasia dalam bentuk
awan-awan kecil. Menyadari bahwa ia ternyata merasa haus, Junpei memesan
Perrier dari pelayan yang lewat, dan seperti biasa ia bertanya-tanya, Apakah
ia seseorang yang benar-benar berarti bagiku? Apakah ia salah satu dari yang
dua itu? Atau akankah ia menjadi kegagalanku yang kedua? Haruskah aku
membiarkannya pergi, atau tidak?
“Kau memang ingin menjadi seorang penulis?” tanya perempuan itu.
“Hmm… anggap saja aku tak pernah memikirkan hal lain selain itu.”
“Jadi, mimpimu terwujud.”
“Mungkin. Entahlah. Sejujurnya aku ingin menjadi seorang penulis
yang superior.” Junpei melebarkan tangannya kira-kira sepanjang satu kaki.
“Ada perbedaan yang sangat besar antara keduanya, kupikir.”
“Setiap orang harus memulai dari satu titik. Kau punya masa depan yang
jelas di depanmu. Kesempurnaan tak akan kau miliki begitu saja.” Kemudian ia
bertanya, “Berapa umurmu?”
Inilah ketika mereka berdua saling bertukar informasi mengenai umur mereka.
Fakta bahwa dirinya lebih tua tak membuat perempuan itu merasa terganggu. Tidak
juga Junpei. Ia memang lebih suka perempuan yang lebih tua ketimbang yang lebih
muda. Pada banyak kasus, lebih mudah berpisah dari seorang perempuan yang lebih
tua.
“Apa pekerjaanmu?” tanya Junpei.
Bibir perempuan itu membentuk sebuah garis lurus, dan raut mukanya tampak
serius untuk pertama kalinya.
“Menurutmu apa?”
Junpei memainkan gelasnya. “Boleh minta petunjuk?”
“Tak ada petunjuk. Sesulit itukah? Bukankah mengamati dan menilai adalah
apa yang kaulakukan sehari-hari?”
“Tidak juga,” jawabnya. “Yang dilakukan seorang penulis
adalah mengamati dan mengamati dan mengamati, dan menaruh penilaian pada
saat-saat terakhir yang memungkinkan.”
“Tentu saja,” kata perempuan itu. “Oke, kalau begitu, coba amati dan amati
dan amati, lalu gunakan imajinasimu. Itu tak akan bertentangan dengan kode
etikmu, kan?”
Junpei mengangkat alis dan mempelajari wajah Kirie dengan konsentrasi
penuh, berharap menemukan semacam petunjuk rahasia di sana. Kirie menatap tajam
kedua mata Junpei, begitu juga Junpei.
Setelah jeda yang pendek, Junpei berkata, “Baiklah, ini menurut apa yang
kubayangkan, berdasarkan pengamatan sekilas: kau seorang profesional dalam
suatu hal. Bukan sesuatu yang bisa dilakukan banyak orang. Dibutuhkan keahlian
khusus di sana.”
“Keren! Kau benar: tak banyak orang bisa melakukan apa yang kulakukan. Tapi
cobalah lebih spesifik.”
“Berhubungan dengan musik?”
“Tidak.”
“Fashion design?”
“Tidak.”
“Tenis?”
“Tidak.”
Junpei menggeleng. “Hmm… kulitmu cokelat, tubuhmu atletis, lenganmu
berotot. Mungkin kau melakukan olahraga-olahraga di luar ruangan. Rasanya tak
mungkin kau seorang buruh atau pekerja bangunan. Pekerjaan itu tak
cocok untukmu.”
Kirie mengangkat lengan bajunya, lantas menaruh lengannya yang telanjang di
meja bar, membolak-baliknya dan mengamatinya. “Kau hampir benar.”
“Tapi tetap saja aku tak bisa menjawab dengan tepat.”
“Sangat penting untuk membuat beberapa hal tetap rahasia,” ujar Kirie. “Aku
tak ingin menghilangkan kesenanganmu dalam mengamati dan membayangkan.
Tapi, akan kuberikan satu petunjuk. Apa yang aku kerjakan,
sama dengan apa yang kaukerjakan.”
“Sama bagaimana?”
“Maksudku, apa yang kulakukan saat ini adalah apa yang memang ingin
kulakukan sejak dulu, bahkan sejak aku masih kanak-kanak. Seperti kau. Tentu
saja, untuk bisa mendapatkan profesi ini, bukan hal mudah.”
“Baguslah,” cetus Junpei. “Itu penting. Apa yang kaulakukan haruslah sebuah
tindakan penuh cinta, bukan soal kenyamanan belaka.”
“Tindakan penuh cinta,” gumam Kirie. Kata-kata itu seperti telah membuatnya
terkesan. “Kata-kata yang bagus.”
“Ngomong-ngomong, menurutmu aku mungkin pernah mendengar namamu di suatu
tempat?” tanya Junpei.
“Mungkin tidak,” jawabnya, menggeleng. “Aku tak seterkenal itu.”
“Yah.. setiap orang harus memulai dari satu titik.”
“Tepat,” ujar Kirie, tersenyum. Lalu raut mukanya berubah serius. “Dalam
satu hal sebenarnya kasusku berbeda dengan kasusmu. Aku dituntut untuk mencapai
kesempurnaan sedari awal. Tak boleh ada kesalahan. Sempurna, atau tidak sama
sekali. Tak ada kompromi. Tak ada kesempatan kedua.”
“Sepertinya itu petunjuk kedua.”
“Mungkin.”
Seorang pelayan yang membawa champagne di atas baki menghampiri mereka.
Perempuan itu mengambil dua gelas darinya dan memberikan yang satu kepada
Junpei.
“Bersulang,” ujarnya.
“Untuk keahlian kita masing-masing,” sahut Junpei.
Mereka membenturkan gelas dengan pelan.
“Ngomong-ngomong,” cetus perempuan itu, “kau sedang berumah-tangga?”
Junpei menggeleng.
“Aku juga tidak,” ujar Kirie.
MALAM itu perempuan itu menghabiskan waktu di kamar Junpei. Mereka minum anggur—hadiah dari restoran, bersenggama, dan terlelap. Ketika Junpei terbangun jam sepuluh besok paginya, perempuan itu sudah tak ada, meninggalkan hanya sebentuk lekukan di bantal di hadapannya—seperti ingatan yang hilang—dan sebuah memo: “Aku harus kerja. Hubungi aku jika kau mau.” Di kertas itu ia cantumkan nomor ponselnya.
Hari Sabtu Junpei menghubungi perempuan itu, dan mereka makan malam di
sebuah restoran. Di sana mereka minum sedikit anggur, lalu di kamar Junpei
mereka bersenggama, lalu terlelap. Kembali besok paginya, perempuan itu sudah
tak ada. Itu adalah hari Minggu, tapi perempuan itu meninggalkan memo lainnya:
“Aku harus kerja. Aku pergi.” Junpei masih belum bisa menebak pekerjaan macam
apa yang dilakukan Kirie. Yang jelas, itu dilakukan pagi-pagi sekali. Dan,
dengan alasan tertentu, perempuan itu bekerja juga di hari Minggu.
Mereka berdua tak pernah kehabisan topik untuk diperbincangkan. Kirie orang
yang cerdas dan berpengetahuan luas. Ia suka membaca, meski lebih menyukai
buku-buku non-fiksi seperti biografi, sejarah, psikologi, dan popular
science. Ia juga sanggup menampung informasi dalam jumlah yang besar. Suatu
hari, Junpei dibuat terheran-heran menyaksikan perempuan itu memamerkan
pengetahuannya tentang sejarah perakitan rumah secara mendetail.
“Perakitan rumah? Pekerjaanmu pastilah berhubungan dengan arsitektur atau
konstruksi.”
“Tidak,” bantahnya. “Aku hanya cenderung tertarik pada hal-hal yang sangat
praktis. Itu saja.”
Meskipun begitu, ia membaca dua kumpulan cerita Junpei yang telah terbit,
dan menemukan bahwa cerita-cerita itu “bagus sekali—jauh lebih menyenangkan
daripada yang kupikirkan sebelumnya. Jujur saja, tadinya aku sempat cemas.
Bagaimana kalau ternyata aku tidak menyukai cerita-ceritamu? Apa yang harus
kukatakan nantinya? Tapi ternyata kecemasanku tak beralasan. Aku menikmati
cerita-ceritamu ini.”
“Aku senang mendengarnya,” ujar Junpei, merasa lega. Jujur saja ia pun
sempat merasakan cemas yang sama, pada saat mengabulkan permintaan Kirie untuk
membaca cerita-ceritanya.
“Aku tidak mengatakan semua itu hanya untuk membuatmu merasa senang,” ujar
Kirie, “tapi karena kau memang punya sesuatu yang spesial—sesuatu spesial yang
membuatmu jadi seorang penulis hebat. Cerita-ceritamu begitu menenangkan, tapi
beberapa diantaranya begitu hidup. Dan gaya bertuturmu indah sekali. Secara
keseluruhan, cerita-ceritamu begitu seimbang. Dan untukku, itu
sesuatu yang paling penting—dalam musik, fiksi, lukisan. Setiap kali aku
berhadapan dengan sebuah karya atau pertunjukan yang tidak seimbang—atau dalam
kata lain, setiap kali aku menemukan sebuah karya yang buruk dan belum
selesai—aku merasa muak. Rasanya seperti ingin muntah. Itulah mungkin yang
menyebabkan aku tidak menonton konser dan jarang sekali membaca fiksi.”
“Karena kau tak ingin berhadapan dengan hal-hal yang tak seimbang?”
“Tepat sekali.”
“Dan untuk menghindari itu, kau tidak membaca novel dan tidak menonton
konser?”
“Ya, begitulah.”
“Terkesan berlebihan bagiku.”
“Aku seorang Libra. Aku benar-benar tak bisa jika hal-hal di sekitarku tak
seimbang. Tapi tidak. Tidak berarti aku tak bisa jika—”
Ia menutup mulutnya seperti tengah berusaha mencari-cari kata-kata yang
tepat, tapi tak berhasil menemukannya, dan melampiaskannya lewat napas panjang.
“Oh, lupakan itu,” ujarnya. “Aku hanya mau bilang kalau kau suatu saat nanti
akan menulis sebuah novel yang panjang. Dan ketika kau melakukannya, kau akan
menjadi seorang penulis yang lebih penting lagi. Tentu butuh waktu, tapi kurasa
kau bisa.”
“Kurasa tidak. Aku ini terlahir sebagai penulis cerita pendek,” bantah
Junpei. “Aku tidak berbakat menulis novel.”
“Meskipun kau berpikir begitu.”
Junpei tak membahas lebih jauh tentang hal itu. Ia terdiam dan menyimak
bunyi hembusan angin dari air conditioner. Kenyataannya, ia telah
mencoba beberapa kali menulis novel, tapi selalu mandeg. Ia tak
bisa menjaga konsentrasi yang dibutuhkan untuk menulis sebuah cerita dalam
kurun waktu yang lama. Pada awalnya ia memang merasa yakin akan bisa membuat
sebuah cerita yang bagus; gaya tuturnya hidup, dan ia semakin optimis; cerita
itu sendiri akan mengalir nyaris dengan sendirinya. Tapi semakin lama, tenaga
dan intensitasnya seperti memudar—awalnya perlahan, lalu tanpa bisa dicegah lagi,
seperti mesin yang kehilangan kecepatan dan menuju perhentian, merosot drastis
hingga akhirnya lenyap.
Mereka berdua saat itu masih di tempat tidur. Musim gugur. Mereka masih
bertelanjang setelah persenggamaan yang panjang dan hangat. Bahu Kirie menekan
Junpei, sedangkan tangan Junpei merangkul Kirie. Dua gelas anggur putih tersisa
di meja di dekat mereka.
“Junpei?”
“Ya.”
“Kau jatuh cinta kepada perempuan lain. Iya, kan? Seseorang yang tak bisa
kaulupakan?”
“Ya,” jawab Junpei. “Kau bisa tahu itu?”
“Tentu saja,” ujarnya. “Perempuan itu sensitif terhadap hal-hal semacam
itu.”
“Tak semua perempuan, kupikir.”
“Aku tak bilang semua perempuan.”
“Iya, iya. Kau tak bilang itu,” ujar Junpei.
“Tapi kau tak bisa menemuinya?”
“Ada beberapa masalah.”
“Dan tak ada peluang ‘masalah-masalah’ itu terselesaikan?”
“Tak ada,” ujar Junpei sambil menggeleng cepat.
“Dalam sekali sepertinya perasaanmu padanya.”
“Aku tak tahu sedalam apa, tapi begitulah.”
Kirie meminum sedikit anggur itu. “Aku tak punya seseorang seperti itu,”
ujarnya, hampir seperti berbisik. “Aku menyukaimu, Junpei. Kau benar-benar
membuatku bergairah. Ketika kita bersama-sama seperti ini, aku merasa sangat
bahagia dan tenang. Tapi itu tak berarti aku menginginkan sebuah hubungan yang
serius denganmu. Bagaimana menurutmu? Kau merasa lega?”
Junpei menggerakkan jemarinya di rambut Kirie. Alih-alih menjawab
pertanyaan itu, ia malah balik bertanya, “Kenapa memangnya?”
“Kenapa aku tak mau bersamamu?”
“Ya.”
“Itu mengganggumu?”
“Sedikit.”
“Aku tak bisa punya suatu hubungan serius setiap harinya dengan seseorang.
Bukan hanya kau, tapi siapa pun,” ujarnya. “Aku ingin sepenuhnya berkonsentrasi
pada apa yang kulakukan saat ini. Jika aku hidup dengan seseorang—jika aku
punya ikatan emosional yang dalam dengan seseorang—aku mungkin tak akan bisa
melakukannya. Aku ingin menjaga segalanya tetap seperti ini.”
Junpei memikirkannya sejenak. “Maksudmu, kau tak mau terganggu?”
“Benar.”
“Jika kau terganggu, kau akan kehilangan keseimbanganmu, dan itu bisa jadi
hambatan dalam karirmu.”
“Tepat.”
“Dan karenanya untuk menghindari hal itu terjadi, kau tak mau hidup bersama
seseorang.”
Perempuan itu mengangguk. “Selama aku masih menjalani profesiku ini.”
“Tapi kau tak akan memberitahuku profesimu itu apa.”
“Begitulah.”
“Kau pasti pencuri.”
“Bukan,” bantah Kirie, dengan raut muka muram yang seketika berubah menjadi
cerah. “Tebakan yang seksi! Tapi seorang pencuri tidak bekerja di pagi buta.”
“Kau seorang hit man.”
“Hit person,” koreksinya. “Tapi bukan. Dari mana datangnya
tebakan-tebakan gila ini?”
“Jadi, apa yang kaulakukan itu sepenuhnya legal?”
“Sepenuhnya legal.”
“Agen rahasia?”
“Bukan. Oke oke. Kita sudahi dulu tentang hal ini. Lebih baik kita bicara
soal karya-karyamu saja. Katakan padaku apa yang sedang kau tulis sekarang. Kau
sedang menulis sesuatu saat ini?”
“Ya, sebuah cerita pendek.”
“Seperti apa ceritanya?”
“Belum kuselesaikan. Aku sedang mengambil jeda.”
“Ya sudah, beritahu aku apa yang akan terjadi setelah jedamu ini habis.”
Junpei terdiam. Ia punya semacam aturan untuk tidak mengutarakan kepada
siapa pun tentang karya-karyanya yang sedang dalam proses pengerjaan. Itu bisa
membuat cerita menjadi kacau. Jika ia merangkainya dalam sebuah kalimat dan
kalimat itu ia ucapkan, beberapa hal penting akan menguap seperti embun pagi.
Makna yang semula dalam akan berubah hambar dan hanya menempel di permukaan.
Rahasia tak akan lagi jadi rahasia. Tapi kini di tempat tidur ini, sementara
jari-jemarinya bergerak-gerak di rambut Kirie yang pendek, Junpei merasa bahwa
tak akan apa-apa jika ia mengutarakan karyanya yang belum selesai itu
kepadanya. Selain itu, bagaimanapun, ia memang sedang mandeg. Ia
sudah beberapa hari tak juga berhasil melanjutkan ceritanya itu.
“Cerita itu mengambil sudut pandang orang ketiga, dan si protagonis adalah
seorang perempuan,” ujarnya. “Perempuan itu di awal tiga puluhan; seorang
dokter penyakit dalam yang berpraktik di sebuah rumah sakit besar. Ia lajang,
tapi punya hubungan gelap dengan seorang dokter bedah di rumah sakit yang sama.
Lelaki itu di akhir empat puluhan dan punya seorang istri dan beberapa anak.”
Kirie terdiam beberapa saat membayangkan tokoh protagonis itu, lalu
bertanya, “Perempuan itu cantik?”
“Kurasa begitu. Sangat cantik,” jawab Junpei. “Tapi tak secantik dirimu.”
Kirie tersenyum dan mencium Junpei di leher. “Itu jawaban yang tepat,”
ujarnya.
“Aku cukup ahli memberikan jawaban yang tepat di saat dibutuhkan.”
“Terutama di tempat tidur, kurasa.”
“Terutama di tempat tidur,” sahutnya. “Jadi, begitulah, di suatu hari libur
ia melakukan perjalanan seorang diri. Saat itu musim gugur; sama seperti saat
ini. Ia menginap di sebuah pemandian air panas di pegunungan dan berjalan-jalan
di sepanjang sungai kecil di bukit. Ia seorang pengamat burung, dan ia suka
sekali mengamati burung pekakak. Ia berjalan menuju sungai yang kering dan
menemukan sebuah batu yang aneh. Warnanya hitam dengan sedikit warna merah.
Permukaannya halus. Dan bentuknya sangat familiar. Dalam sekejap ia menyadari
bahwa bentuk batu itu seperti ginjal. Maksudku, ia seorang dokter. Segala hal
tentang batu itu tampak seperti ginjal betulan—ukurannya, pewarnaannya,
ketebalannya.”
“Jadi ia mengambilnya dan membawanya ke rumah?”
“Ya,” jawab Junpei. “Ia membawanya ke kantornya di rumah sakit dan ia
gunakan batu itu sebagai penindih kertas. Kebetulan, berat dan ukurannya memang
sesuai.”
“Dan bentuknya pun teramat cocok untuk sebuah rumah sakit.”
“Ya, benar,” sahut Junpei. “Tapi beberapa hari kemudian, ia menyadari ada
sesuatu yang aneh.”
Kirie terdiam menunggu Junpei melanjutkan ceritanya. Junpei mengambil jeda
seakan-akan sedang berusaha mengerjai Kirie. Tapi faktanya, ia sama sekali tak
berusaha mengerjai Kirie. Ia memang belum merampungkan ceritanya itu. Titik ini
adalah titik di mana ia merasamandeg. Terjebak dalam keadaan seperti
ini, ia mengamati sekelilingnya dan memutar otaknya sebisa mungkin. Lalu,
sebuah ide muncul di benaknya.
“Setiap pagi, ia menemukan batu itu di tempat yang berbeda. Ia menaruhnya
di mejanya ketika ia pulang malam hari. Ia seseorang yang metodis; ia selalu
menaruh sesuatu di tempat yang sama. Tapi pagi harinya ia menemukan batu itu
berada di kursi putarnya, atau di dekat pot bunga, atau di lantai. Awalnya ia
menduga ia telah meletakkan batu itu di tempat yang salah. Lalu ia mulai
berpikir jangan-jangan ingatannya tengah mengerjainya. Pintu terkunci, sehingga
tak siapa pun bisa masuk. Tentu saja satpam yang bertugas malam hari punya
kunci cadangan tapi ia telah bekerja di rumah sakit itu bertahun-tahun dan tak
pernah menemukan satpam itu memasuki kantornya. Lagipula, apa maksudnya satpam
itu memasuki kantornya hanya untuk memindahkan sebuah batu yang ia gunakan
sebagai penindih kertas? Segala hal lainnya di kantornya itu tak berubah. Tak
juga ada yang hilang. Dan tak ada satu pun yang rusak. Posisi batu itu adalah
satu-satunya yang berubah. Ia benar-benar dibuat bingung. Menurutmu,
apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa batu itu berpindah ketika malam?”
“Batu berbentuk ginjal itu punya alasannya sendiri melakukan hal itu,” ujar
Kirie yakin.
“Alasan macam apa yang mungkin dimiliki sebuah batu berbentuk
ginjal?”
“Batu itu ingin menarik perhatiannya. Sedikit demi sedikit. Untuk waktu
yang lama.”
“Oke. Lalu, mengapa batu itu ingin menarik perhatiannya?”
“Entahlah,” ujarnya. Lalu sambil terkikih-kikih ia menambahkan, “Mungkin ia
hanya ingin mengguncang dunia.”
“Itu guyonan terkonyol yang pernah kudengar,” ujar Junpei.
“Ya… kau yang penulis. Kau yang harusnya
memutuskannya, kan? Aku hanya pendengar.”
Junpei memerengut. Ia merasakan denyut samar di balik kulitnya akibat
berpikir begitu keras. Mungkin ia meminum terlalu banyak anggur. “Ide-ide ini
tak muncul bersama-sama,” ujarnya. “Plotku tidak berjalan kecuali jika aku
duduk di kursiku dan menggerakkan tanganku, membuat kalimat demi kalimat. Kau
keberatan menunggu sejenak? Membicarakannya seperti ini, aku mulai merasa sisa
cerita itu akan bergerak dengan sendirinya.”
“Aku tak keberatan,” ujar Kirie. Ia mengambil gelasnya dan menenggak anggur
miliknya sedikit-sedikit. “Aku bisa menunggu. Ceritanya benar-benar menarik dan
aku ingin tahu apa yang terjadi dengan batu berbentuk ginjal itu.”
Beberapa lama kemudian, perempuan itu menoleh menatap Junpei dan menekankan
buah dadanya yang rupawan ke tubuhnya. Lalu dengan pelan, seakan-akan tengah
membagi sebuah rahasia, ia berkata, “Kau tahu, Junpei, segala sesuatu di dunia
ini punya alasannya sendiri melakukan sesuatu.” Namun Junpei telah terlelap dan
tak menjawab. Di udara malam, kata-katanya yang semula sebuah bangunan bahasa
itu kehilangan wujud, tercampur dengan sedikit aroma anggur sebelum akhirnya
meresap ke dalam alam bawah sadarnya. “Misalnya, angin punya alasannya sendiri.
Kita hanya tak menyadarinya. Tapi kemudian, pada satu titik, kita akan
menyadarinya. Angin menyelimuti pikiranmu dengan sebuah maksud, dan ia
‘menggerakkanmu’. Angin mengenal segala hal di dalam dirimu. Dan bukan hanya
angin. Segalanya, termasuk sebuah batu. Mereka mengenal kita dengan sangat
baik. Dari atas ke bawah. Itu terjadi di waktu-waktu tertentu. Dan yang bisa
kita lakukan hanyalah bergerak bersama mereka. Selama kita mengikuti mereka,
kita bertahan, dan bertahan.”
Selama lima hari berikutnya, Junpei hampir tak pernah keluar rumah; ia
duduk di kursinya, merampungkan cerita tentang batu berbentuk ginjal itu.
Seperti yang Kirie duga, batu itu terus menarik perhatian si dokter, terus
membuatnya terusik—sedikit demi sedikit, dari waktu ke waktu, dengan kentara.
Ia sedang dalam kencan singkat bersama kekasihnya di sebuah hotel suatu malam
ketika secara diam-diam ia meraba punggung lelaki itu dan merasakan sebentuk
ginjal. Ia tahu ginjal lelaki itu memang berada di sekitar sana. Ginjal itu
adalah informan rahasia yang ia sendiri telah menguburnya di tubuh kekasihnya.
Di bawah jemarinya, ginjal itu menggeliat seperti serangga, mengirim semacam
pesan kepadanya. Ia coba menafsirkan pesan tersebut. Bisa ia rasakan gerakan
ginjal itu di telapak tangannya.
Dokter itu akhirnya terbiasa dengan kehadiran batu berbentuk ginjal yang
berpindah-pindah posisi setiap malamnya itu. Ia mulai menerimanya sebagai
sesuatu yang natural, normal. Ia tak lagi terkejut ketika menemukan benda itu
telah bergerak sepanjang malam. Ketika ia tiba di kantornya setiap paginya, ia
temukan batu itu di suatu tempat di kantornya, mengambilnya, dan meletakkannya
di mejanya. Dengan sendirinya hal ini menjadi semacam rutinitas baginya. Selama
ia berada di kantornya itu, batu itu tak bergerak sama sekali. Ia tetap diam di
satu tempat, layaknya seekor kucing tengah berjemur di bawah matahari. Ia
terbangun dan mulai bergerak hanya setelah dokter itu meninggalkan kantornya
itu dan menguncinya.
Kapan pun ia punya waktu luang, ia mengambil batu itu dan menyentuh-nyentuh
permukaannya yang lembut, dan gelap. Setelah beberapa lama, jadi makin sulit
baginya untuk mengalihkan pandangannya dari batu itu, seolah-olah ia telah
terhipnotis. Ia jadi kehilangan minat terhadap hal-hal lain. Ia tak lagi
membaca buku. Ia berhenti pergi ke gym. Energi dan konsentrasinya ia curahkan
kepada para pasien, dan ia menghindarkan dirinya dari memikirkan hal-hal lain.
Ia bahkan kehilangan minat untuk bercakap-cakap dengan rekan-rekan kerjanya. Ia
jadi acuh tak acuh kepada kekasihnya. Nafsu makannya lenyap. Bahkan pelukan
dari kekasihnya mulai membuatnya kesal dan tak nyaman. Ketika tak ada seorang
pun di sekitarnya, ia bicara kepada batu itu dengan suara keras, dan ia
menyimak kata-kata yang diucapkan dalam diam oleh batu itu kepadanya,
sebagaimana orang-orang kesepian berinteraksi dengan seekor kucing atau seekor
anjing. Batu berbentuk ginjal itu, telah mengontrol hidupnya lebih kuat lagi.
Tentunya batu itu bukanlah benda yang muncul dalam hidupnya tanpa
sebab—Junpei memperhatikan hal ini selama ia melanjutkan ceritanya. Penyebabnya
itu, adalah sesuatu di dalam diri si dokter, sesuatu di dalam dirinya yang
membangkitkan batu berbentuk ginjal berwarna gelap itu dan mendesaknya untuk
melakukan semacam tindakan nyata. Batu itu terus mengiriminya sinyal semacam
itu—yakni dengan berpindah-pindahnya ia pada malam hari.
Ketika tengah menulis, Junpei teringat Kirie. Ia merasa perempuan itu
mendorong cerita yang ditulisnya itu; ia semula tak berniat menulis sebuah
cerita absurd. Yang tadinya ia bayangkan di benaknya adalah sebuah cerita yang
wajar. Dan di dalam sebuah cerita yang wajar, sebuah batu tak
berpindah-pindah dengan sendirinya.
Junpei membayangkan dokter itu akan mengakhiri hubungan gelapnya dengan
dokter bedah kekasihnya itu. Bisa jadi ia bahkan mulai membenci lelaki itu. Hal
inilah mungkin yang terus mengusiknya sepanjang waktu, tanpa ia sadari.
Sekali sisa cerita tampak jelas di benaknya, menuliskannya relatif mudah.
Menikmati berulang-ulang lagu-lagu dari Mahler dalam volume kecil, Junpei duduk
di kursinya dan menulis semacam kesimpulan dalam tempo yang, baginya, sangat
cepat. Dokter itu memutuskan untuk mengakhiri hubungan gelapnya dengan dokter
bedah kekasihnya itu. “Aku tak bisa bertemu denganmu lagi,” ujarnya. “Bisakah
setidaknya kita bicara dulu?” tanya lelaki itu. “Tak bisa,” jawabnya. “Itu tak
mungkin bisa,” sambungnya. Di hari libur berikutnya ia menaiki kapal ferry di
pelabuhan Tokyo, dan dari dek kapal itu ia lemparkan batu berbentuk ginjal itu
ke laut. Batu itu tenggelam ke dasar laut yang gelap. Ia pun mengatur ulang
hidupnya. Usai membuang batu itu, ia merasa seberkas cahaya mulai menyentuhnya.
Akan tetapi besok harinya, ketika ia berada di rumah sakit, ia menemukan
batu itu di sana, di mejanya, seperti tengah menunggunya. Batu itu terletak
tepat di tempat yang semestinya, sebuah tempat yang tepat bagi batu berbentuk
ginjal berwarna gelap.
Segera setelah menyelesaikan ceritanya itu, Junpei menelepon Kirie. Ia
menduga Kirie mungkin ingin membaca ceritanya itu—di mana perempuan itu punya
peran tertentu di sana. Namun panggilannya itu tak tersambung. “Nomor yang anda
hubungi tidak terdaftar,” ujar si operator. “Silakan periksa sekali lagi.”
Junpei mencobanya lagi dan lagi, tapi hasilnya sama saja. Ia menduga ponsel
perempuan itu bermasalah.
Junpei tetap di rumah, menunggu kabar dari Kirie. Tapi kabar itu tak juga
ada. Sebulan berlalu. Satu bulan menjadi dua, dan dua menjadi tiga. Musim
dingin tiba, dan tahun baru dimulai. Ceritanya itu tayang di sebuah majalah
sastra bulan Februari. Di sana tertera nama Junpei dan judul ceritanya, “Batu
Berbentuk Ginjal yang Berpindah-pindah Setiap Harinya.” Kirie mungkin saja
melihatnya, lalu membeli majalah itu, dan membacanya, dan menghubunginya untuk
mengutarakan pendapatnya—setidaknya itulah yang ia harapkan. Tapi selalu yang
menghampirinya hanyalah berlapis-lapis kesunyian. Hanya itu.
Rasa sakit yang dirasakan Junpei akibat lenyapnya Kirie rupanya lebih kuat
daripada yang pernah ia bayangkan sebelumnya. Perempuan itu meninggalkan ruang
kosong yang benar-benar mengusiknya. Di beberapa waktu ia menggumamkan di
benaknya beberapa kali, “Seandainya ia di sini! Seandainya ia di sini!” Ia
merindukan senyum perempuan itu. Ia merindukan kata-kata yang keluar dari bibir
perempuan itu. Ia merindukan kulit perempuan itu ketika mereka berdekapan dan
sangat dekat. Musik favorit dan kemunculan buku-buku dari penulis-penulis
kesayangannya tak mampu menghiburnya. Segala sesuatunya terasa berjarak, jauh.
Junpei berpikir Kirie mungkin si perempuan nomor dua.
PERTEMUAN Junpei dengan Kirie berikutnya terjadi di sebuah siang di awal musim semi. Bukan pertemuan, sebenarnya. Junpei hanya mendengar suara Kirie.
Junpei sedang terjebak macet di dalam taksi. Si sopir—yang tampaknya masih
muda—tengah menyimak siaran radio ketika suara Kirie tiba-tiba terdengar. Pada
awalnya Junpei tak yakin suara yang didengarnya itu adalah suara Kirie. Ia
hanya merasa suara itu mirip dengan suara Kirie. Tapi semakin ia menyimaknya,
semakin suara itu terdengar seperti suara Kirie; cara berbicara yang sama,
intonasi lembut yang sama, ketenangan yang sama, pengambilan jeda yang juga
sama.
Junpei meminta si sopir membesarkan volume radio.
“Siap,” ujar si sopir.
Itu adalah sebuah wawancara yang dilangsungkan di studio radio. Si penyiar
melontarkan pada si narasumber sebuah pertanyaan: “—jadi anda menyukai
tempat-tempat tinggi sejak anda kanak-kanak?”
“Ya, benar,” jawab Kirie—atau seseorang dengan suara yang persis sama
dengan suara Kirie. “Bahkan sejak aku bisa mengingat, aku suka memanjat.
Semakin tinggi, rasanya semakin menenangkan. Aku selalu cerewet meminta
orangtuaku untuk membawaku ke gedung-gedung tinggi. Aku seorang anak yang
aneh.” Terdengar tawa.
“Dan begitulah anda memulai kehidupan anda sekarang, sepertinya.”
“Awalnya aku bekerja sebagai seorang analis di perusahaan sekuritas. Tapi
kemudian aku menyadari bahwa itu tidaklah tepat untukku. Aku keluar dari
perusahaan setelah tiga tahun bekerja di sana, dan hal pertama yang kemudian
kudapatkan sebagai pekerjaan adalah membersihkan jendela-jendela di
gedung-gedung tinggi. Apa yang benar-benar kuinginkan adalah menjadi seorang
pemanjat menara, tapi itu agaknya terlalu laki-laki. Mereka tak akan begitu
saja membiarkan perempuan-perempuan melakukannya. Jadi untuk sementara waktu,
aku bekerja paruh waktu sebagai seorang pencuci jendela.”
“Dari seorang analis di perusahaan sekuritas ke seorang pencuci jendela.
Perubahan yang luar biasa!”
“Kalau mau jujur, membersihkan jendela sebenarnya tak begitu membuatku
stress seperti halnya analis. Jika ada yang terjatuh, itu hanya dirimu. Bukan
harga saham.” Kembali terdengar tawa.
“Yang anda maksud dengan ‘pencuci jendela’ di sini adalah seseorang yang
bekerja di sisi sebuah gedung?”
“Ya. Tentunya, mereka membekalimu tali pengaman. Tapi beberapa tempat
tertentu tak bisa kau jangkau jika mengenakan tali pengaman. Aku sendiri tak
terganggu dengan itu. Setinggi apa pun aku naik, aku tak pernah merasa takut.
Karena itulah aku jadi seorang pekerja yang berharga.”
“Saya rasa anda suka naik gunung. Benar?”
“Aku hampir tak tertarik untuk naik gunung. Aku pernah mencobanya beberapa
kali, tapi seperti tak ada artinya buatku. Naik gunung tak membuatku bergairah,
tak membuatku terpuaskan, setinggi apa pun aku naik. Satu-satunya yang
membuatku bergairah adalah bangunan buatan manusia yang berdiri tegak dari
permukaan bumi. Jangan tanya aku kenapa bisa seperti itu.”
“Jadi sekarang anda mengelola sebuah perusahaan pencucian jendela yang
mengkhususkan diri pada gedung-gedung tinggi di kawasan metropolitan Tokyo?”
“Benar,” jawabnya. “Aku memulai perusahaan kecilku ini sekitar enam bulan
yang lalu. Tentu aku melakukannya bersama teman-temanku, tapi secara hukum
akulah si pemilik. Aku tak perlu melaksanakan perintah dari siapa pun, dan aku
bisa menetapkan aturan-aturanku sendiri. Sangat menyenangkan.”
“Dengan kata lain, anda bisa melepas tali pengaman kapan pun anda mau?”
“Kira-kira begitu.” (suara tawa)
“Anda benar-benar tak suka mengenakannya, ya?”
“Ya, benar. Itu membuatku merasa bukan diriku sendiri. Rasanya seakan-akan
aku sedang memakai korset yang kaku.” (suara tawa)
“Anda benar-benar menyukai tempat-tempat tinggi, ya?”
“Iya. Rasanya aku memang terpanggil untuk berada di tempat-tempat tinggi.
Aku tak bisa membayangkan pekerjaan lain. Apa yang kaukerjakan haruslah sebuah
tindakan penuh cinta, bukan soal kenyamanan belaka.”
“Sekarang saatnya memutar lagu,” ujar si penyiar. “‘Up on the Roof’ dari
James Taylor. Kita akan membahas lebih banyak lagi tentang
berjalan-di-atas-tali setelah yang satu ini.”
Sementara musik diputar, Junpei bersandar ke jok depan dan menanyai si
sopir, “Apa yang dilakukan perempuan ini?”
“Ia bilang ia membentangkan tali di antara gedung-gedung tinggi dan
berjalan melintasinya,” jawab si sopir. “Dengan sebuah tongkat panjang di
tangannya, untuk keseimbangan. Ia sejenis penampil. Aku bahkan ketakutan saat
menaiki lift tembus-pandang. Kupikir ia sudah berhasil mengatasi rasa takutnya.
Ia pastilah agak aneh. Dan mungkin ia tidak muda juga.”
“Itukah pekerjaannya?” tanya Junpei. Baru disadarinya suaranya
begitu kering. Rasanya seperti suara seseorang lain seketika muncul dari atap
taksi.
“Ya. Menurutku ia mengumpulkan sejumlah sponsor untuk melakukan sebuah pertunjukan.
Ia baru saja melakukannyanya di sebuah katedral terkenal di Jerman. Ia bilang
tadinya ia ingin melakukannya di gedung yang lebih tinggi tapi tak mendapatkan
izin. Soalnya kalau kau naik setinggi itu, jaring pengaman tak akan bisa
menolongmu. Ia ingin menambah dan memperbaiki rekornya, sekaligus menantang
dirinya dengan gedung-gedung yang lebih tinggi dari waktu ke waktu. Tentu, ia
tak bisa menggantungkan hidupnya pada apa yang dilakukannya itu. Jadi, seperti
yang kau dengar tadi, ia mengelola sebuah perusahaan pencucian jendela. Ia tak
akan bekerja untuk sebuah sirkus bahkan jika di sana ia bisa berjalan di atas
tali. Satu-satunya yang membuatnya bergairah adalah gedung-gedung tinggi.
Perempuan yang aneh.”
“HAL paling menyenangkan tentangnya adalah, ketika kau di atas sana, kau berubah jadi seorang manusia,” ujar Kirie kepada si pewawancara. “Kau berubah, atau kau mengubah dirimu. Jika tidak, kau tak akan bertahan. Ketika aku berada di tempat tinggi, di sana hanya ada aku dan angin. Tak ada yang lain. Angin memelukku, menggerakkanku. Ia memahamiku. Di saat yang sama, aku memahaminya. Kami saling menerima satu sama lain dan memutuskan untuk hidup bersama. Hanya aku dan angin. Tak ada ruang lain untuk siapa pun. Momen itulah yang kusukai. Tidak, aku tidak takut. Sekali aku berada di tempat tinggi dan memasuki momen itu, segala rasa takut lenyap. Kami di sana, di dalam kekosongan yang hangat. Momen itulah yang paling aku sukai.”
Kirie bicara dengan penuh keyakinan. Junpei tak bisa tahu apakah si pewawancara
memahaminya. Ketika wawancara berakhir, Junpei menyetop taksi dan keluar,
berjalan di sisa perjalanannya ke tempat tujuan. Sekarang-sekarang ia kerap
memandangi gedung tinggi dan awan-awan yang bergerak cepat. Ia menyadari, tak
ada yang bisa menghampiri Kirie dan angin. Dan ia seketika merasa iri. Tapi iri
terhadap apa? Angin? Siapa yang mungkin iri terhadap angin?
Junpei menunggu kabar dari Kirie selama beberapa bulan sejak saat itu. Ia
ingin bertemu perempuan itu dan bicara dengannya tentang banyak hal, termasuk
batu berbentuk ginjal itu. Tapi kabar itu tak pernah datang. Dan panggilannya
tak pernah tersambung. Ketika musim panas tiba, ia menyerah. Perempuan itu
pastilah tak lagi tertarik menemui Junpei. Dan begitulah hubungan mereka
berakhir dengan tenang, tanpa perselisihan ataupun pertengkaran, persis seperti
berakhirnya hubungan-hubungannya dengan perempuan-perempuan yang lainnya
sebelumnya. Pada satu titik, ia pun tak lagi mencoba menghubungi perempuan itu.
Segalanya berakhir tenang, dan wajar.
Haruskah kumasukkan ia ke dalam hitungan? Apakah ia satu dari tiga
perempuan yang benar-benar berarti bagiku? Junpei memikirkan pertanyaan itu
beberapa lama tanpa berhasil membuat sebuah kesimpulan. Akan kutunggu
enam bulan lagi, pikirnya. Setelah itu baru aku akan memutuskan,
sambungnya.
Selama enam bulan itu, ia menulis dengan konsentrasi penuh dan menghasilkan
sejumlah cerita pendek. Sementara ia duduk di kursinya dan memperbaiki gaya
tuturnya, ia berpikir, Kirie saat ini mungkin sedang berada di sebuah tempat
tinggi bersama angin. Aku di sini, sendiri di kursiku dan menulis cerita,
ketika ia benar-benar sendiri di suatu tempat, lebih tinggi dari siapa
pun—tanpa tali pengaman. Sekali ia memasuki momen di mana ia berkonsentrasi
penuh, segala rasa takutnya lenyap: “Hanya aku dan angin.” Junpei
kerap mengulang kata-kata Kirie itu dan menyadari bahwa ia memiliki semacam
perasaan istimewa terhadap perempuan itu, sesuatu yang tak pernah ia rasakan
sebelumnya terhadap perempuan mana pun. Sebuah emosi yang dalam, dengan garis
yang jelas dan berat yang nyata di tangannya. Junpei masih belum yakin emosi
macam apa itu. Ia, paling tidak, adalah sebuah perasaan yang tak bisa
digantikan oleh sesuatu yang lain. Meskipun ia belum pernah bertemu perempuan
itu lagi, perasaan ini akan terus bersamanya selamanya. Di sebuah tempat di
tubuhnya—mungkin di sumsum tulangnya—ia senantiasa merasakan kehadiran
perempuan itu.
Dan ketika tahun hampir berakhir, Junpei membuat keputusan. Ia akan
memasukkan perempuan itu ke dalam hitungan, sebagai yang kedua. Ia adalah salah
satu dari perempuan-perempuan yang “benar-benar berarti” baginya. Ia adalah
yang nomor dua. Dan tersisa satu. Tapi Junpei tak lagi cemas. Jumlah
bukanlah hal yang penting. Hitungan itu tak ada artinya sama sekali. Sekarang
ia paham: Apa yang penting adalah kau memutuskan menerima sepenuhnya seseorang
yang lain di hatimu. Dan itu selalu jadi yang pertama sekaligus terakhir.
SUATU pagi, dokter itu menyadari bahwa batu berbentuk ginjal berwarna gelap itu telah lenyap dari mejanya. Dan ia pun tahu: batu itu tak akan kembali.(*)
Cerpen ini termaktub dalam kumpulan cerpen ketiga Haruki Murakami, Blind Willow, Sleeping Women (2006); diterjemahkan ke olehArdy Kresna Crenata dari terjemahan bahasa Inggris oleh Jay Rubin.
0 comments:
Post a Comment