Kisah Sang Penulis [1]
Penulis: Barokah Ruziati
Sepotong iklan baris di harian itu berbunyi: Dicari asisten penulis.
Bersedia bekerja keras, tidak mudah menyerah, siap bekerja di bawah tekanan,
dan siap bertugas kapan saja dibutuhkan. Diutamakan wanita usia 25 - 35 tahun.
Pendidikan D-3. Peminat silakan menghubungi nomor di bawah ini. Tidak melayani
pertanyaan melalui SMS.
Kening Dea berkerut. Kalimat pertama, sih, menarik: dicari asisten penulis.
Tapi, penulis apa? Lalu, kenapa persyaratannya hanya meminta kesediaan untuk
jadi budak? Pekerja keras, bekerja di bawah tekanan, bertugas kapan saja.
Kenapa tidak ada syarat kreatif, punya pengalaman menulis, berwawasan luas, dan
sebagainya, yang lazim ada di iklan lowongan pekerjaan?
Dea menimbang-nimbang beberapa saat. Tidak ada ruginya, sih, menelepon. Dia
hanya perlu meminta penjelasan yang lebih detail tentang pekerjaan itu. Kalau
ternyata tidak cocok, ya, tinggal tutup telepon. Tapi, aku harus berhati-hati,
Dea mengingatkan dirinya sendiri. Banyak iklan baris yang dijadikan kedok
penipuan. Karena biayanya murah, siapa pun bisa memasang iklan baris di surat
kabar berskala nasional. Sebagai seorang pencari kerja yang rajin memelototi
iklan lowongan pekerjaan setiap hari, Dea sudah hafal praktik semacam itu.
Dia menekan nomor yang tertera di iklan itu. Satu kali, dua kali, pada
deringan ketiga teleponnya diangkat.
“Halo, selamat pagi,” suara ramah seorang wanita menyapanya.
“Eh... mmm... selamat pagi. Saya melihat iklan lowongan pekerjaan Anda di
koran hari ini. Boleh saya tahu lebih banyak tentang pekerjaan yang
diiklankan?” sahut Dea, tak kalah ramah.
“Oh, boleh. Bagian mana yang belum jelas?”
Bagian mana yang belum jelas? Semuanya! Dea berseru dalam hati. Tapi,
dengan sopan dia menjawab, “Yang dicari penulis apa, ya? Maksud saya, penulis
di bidang apa? Lalu, apakah harus sudah punya pengalaman menulis?”
“Anda sudah punya pengalaman menulis?” suara di seberang sana balas
bertanya.
“Sedikit. Beberapa cerpen saya pernah dimuat di majalah. Dan....”
“Oh, itu sudah cukup,” potong lawan bicaranya. “Memang yang dicari asisten
penulis fiksi. Tepatnya, yang mencari asisten adalah seorang penulis fiksi,”
jelasnya lagi.
“Baiklah, bagian itu sudah jelas. Lalu, lingkup tugas saya apa dan jam
kerjanya bagaimana?” Dea memancing penjelasan yang lebih lengkap.
“Begini saja, siapa tadi namanya?”
“Dea. Saya memang belum menyebutkan nama tadi.”
“Begini, Dea, sebaiknya kita bertemu langsung saja, supaya mengobrolnya
lebih bebas dan Dea bisa bertanya sepuasnya tentang pekerjaan ini. Bagaimana?”
wanita itu meminta persetujuan Dea.
“Oh, begitu, ya? Boleh, deh. Di mana dan kapan?” sambut Dea, dengan
antusias, walaupun beribu pertanyaan masih berkeliaran di kepalanya.
Begitulah awalnya. Dan, saat ini Dea sudah duduk di ruang kerja sang
penulis. Sebuah ruangan kecil di dalam rumah mungil yang asri. Ruangan itu
dipadati oleh meja tulis dengan seperangkat komputer di atasnya, dua buah
lemari kayu besar berisi ratusan bahkan mungkin ribuan judul buku, sebuah sofa
empuk yang nyaman dan sebuah meja kopi.
Setelah seminggu mendekam di ruangan ini, yang dilakukan Dea baru sebatas
merapikan kertas-kertas yang berserakan di meja tulis (coretan konsep naskah,
sketsa-sketsa, surat pembaca, surat dari penerbit), dan menempatkannya dalam
map-map berbeda supaya mudah dicari. Dia juga sudah berhasil mengumpulkan
buku-buku yang bergeletakan di lantai, sofa, meja tulis, dan meja kopi,
kemudian menatanya kembali di rak buku. Dia membuka dan merapikan file-file di
komputer dan mencatat pesan jika sang penulis enggan menerima telepon. Tugas
rutin lainnya adalah membuatkan kopi setiap pagi dan sore hari. Kopinya harus
hitam, kental, dengan sedikit gula, tanpa tambahan apa pun.
Dea mengintip ke ruang tamu yang terletak di samping ruang kerja. Berbeda
dari ruang kerja, ruangan lainnya di rumah itu selalu rapi dan bersih.
Dilihatnya sang penulis sedang sibuk berbicara di telepon, seraya tangannya
mencorat-coret sesuatu di sebuah buku kecil.
Untuk ukuran seorang wanita berusia 68 tahun, dia tampak segar dan cantik.
Tubuhnya yang selalu dibalut busana berwarna putih terlihat langsing, kulit
putihnya masih tampak bersinar. Dia tak pernah lupa mengulaskan lipstik merah
di bibir, dan menyelipkan sekuntum bunga di rambutnya yang memutih. Tak pernah
sekali pun Dea melihatnya dalam keadaan berantakan, meski setiap hari Dea tiba
di rumahnya sebelum pukul 8 pagi dan pulang pukul 5 atau 6 sore.
“Dia masih kuat bekerja, ingatannya masih bagus, ide-idenya masih
mengagumkan, dan semangatnya masih menyala.”
Dea masih ingat ucapan Rani seminggu yang lalu. Rani adalah editor yang
dimintai tolong oleh sang penulis untuk mencarikan asisten untuknya. Rani yang
memasang iklan di koran dan memilih Dea di antara beberapa kandidat lain yang
diwawancarainya. Usia Rani menginjak pertengahan 40 tahun, tapi dia menolak
dipanggil dengan sebutan Mbak, apalagi Ibu. Saat menjabat tangannya, Dea
langsung yakin dia bisa berteman baik dengan wanita energik ini.
“Dia hanya sudah tidak telaten mengetik di komputer. Matanya sakit jika
berlama-lama menatap layar. Dia juga enggan mengetik di mesin tik, terlalu lama
dan menyakitkan, katanya. Dia bilang, saat ini baginya pekerjaan mengetik itu
sangat membosankan. Dia hanya ingin bercerita dan membiarkan orang lain yang memindahkan
ceritanya ke dalam tulisan.” Rani menjelaskan panjang lebar.
“Intinya, dia hanya ingin ada orang yang selalu siap menuliskan kisahnya
setiap kali ide cerita muncul di kepalanya. Itu saja. Yah, mungkin kau juga
perlu menemaninya mengobrol sekali waktu dan membantu menyiapkan keperluannya.
Tidak macam-macam, hanya sekadar membuatkan kopi, atau membelikan majalah dan
koran. Hal-hal semacam itulah. Apakah kau keberatan?” tanya Rani.
Mana mungkin keberatan, sergah Dea dalam hati waktu itu. Menjadi asisten
penulis kenamaan, yang karya-karyanya sudah menghiasi rak buku Dea sejak
remaja, adalah impian yang menjadi kenyataan. Sekadar membuatkan kopi atau
membelikan majalah tak ada artinya dibandingkan kesempatan berguru langsung dan
menjadi orang pertama yang tahu kisah-kisah yang akan ditulisnya. Setelah
beberapa bulan menganggur, tawaran ini tampak begitu mewah di matanya.
Sebelum mereka berpisah, Dea mengajukan satu pertanyaan penting pada Rani.
“Kenapa aku yang terpilih?”
“Bukan sombong, tapi pengalamanku membuktikan, aku tak pernah salah menilai
orang. Menurutku, kau tepat untuk pekerjaan ini. Kau menyukai
tulisan-tulisannya, kau cerdas, tidak sok tahu. Kau sabar dan bisa menjadi
teman yang menyenangkan,” jawab Rani.
Lalu, dia menambahkan, “Kau akan menyukainya. Percayalah, hatinya sangat
baik, walaupun terkadang kau mungkin tak bisa mengikuti jalan pikirannya.
Dan...,” sambung Rani lagi, “aku yakin, kau tidak akan mengecewakan dia. Dia
aset penting bagi kami. Buku-bukunya selalu laris. Termasuk buku berikutnya
yang akan kaubantu tuliskan. Waktu membaca sinopsisnya, aku langsung tahu ini
akan jadi karya yang hebat.”
0 comments:
Post a Comment