Theres No Terra Incognita

by 10:33 PM 0 comments
Theres No Terra Incognita 
Mona Sylviana 




SELAMAT malam, Mas. 
        Surat pengantar ini mungkin tidak seperti yang biasa 
 Mas terima maupun yang saya buat kalau mengirimkan 
cerita pendek. Saya merasa harus sedikit menjelaskan me- 
ngenai cerita pendek yang saya sertakan dalam file lampiran. 

     Cerita pendek itu tidak sengaja saya temukan dalam gudang 
di sekitar tempat parkir di sisi Sungai Cikapundung. Tepat pada 
Minggu, 15 Desember 2013. Saya ingat benar waktunya: bertepatan dengan pemakaman Nelson Mandela di Qunu yang kami peringati dalam sebuah pertunjukan. “Doa Sumber Mata Air Cikapundung untuk Mandela”. 
      Sebuah meja empat persegi panjang diletakkan di tengah 
Sungai Cikapundung yang mengalir tidak jauh dari Gedung Mer- 
deka. Ada lima buah kursi di sekitar meja. Sebuah kain putih 
memanjang menutup meja dengan satu ujung, sekitar 10 meter, 
dibiarkan menjuntai mengikuti aliran sungai. Jam 10 pagi tampah 
berisi nasi tumpeng diletakkan di atas meja. Sambil meletakkan 
piring dan gelas, Tisna Sanjaya, Deden Sambas, Diyanto, Isa Per- 
kasa, dan saya, duduk di kursi-kursi itu. 
     Kami ngobrol di situ sampai jam 1 siang. 
         Seingat saya, banyak hal yang dibicarakan: Mandela, seni pertunjukan, seni memaafkan, Kota Bandung, korupsi, sastra, sampah  yang lewat. Beberapa orang yang mengikuti gerak tubuh dan, mungkin, bibir kami bertahan lama di pinggir sungai. Selebihnya, datang dan pergi. 
          Selesai pertunjukan, selesai bicara dengan beberapa warta- 
          wan, Kang Tisna, Kang Deden, dan Kang Diyanto langsung pulang. 
          Langit digayuti awan hitam. Sebentar lagi hujan, yang di bulan itu  kerap menyambangi Bandung, akan turun. Kang Isa dan Eni, istrinya, sudah juga saya minta untuk tidak menunggu karena anak bungsu mereka kelihatan sudah mengantuk. Makanya, tinggal saya sendiri di situ. Gerobak lontong kari tempat saya tadi pagi sarapan sudah dipindahkan ke bawah pohon beringin. Kedua rodanya dirantai. Kursi kayu diletakkan di atap gerobak. 
         Air sebesar butir jagung mulai jatuh. 
         Saya bergegas mengangkat travel bag dan ujung kain yang 
         basah menuju ruang di samping kantor distributor koran. Dalam ruang itu ada toilet, musala, dan gudang. Saya berdiri di pintu dekat musala. Dari toilet menguar gumam lagu dangdut dan wangi sabun batangan. Seseorang yang kemudian saya tahu penjaga toilet menyapa, “Mau ganti baju ya, Neng?” 
       Saya mengangguk. 
       Laki-laki tua itu memindahkan kotak sumbangan toilet dan 
mandi lama.” 
        “Bapak sudah mau pulang? Tunggu sebentar ya, Pak. Saya hanya mau ganti baju.” 
         “Iya. Tapi Mang Atok juga masih lama. Bisa 1 jam, Neng. Kalau mau ganti baju di gudang situ saja biar cepat.” 
Saya mengangguk, mengucapkan terima kasih, dan masuk. 
        Telapak kaki saya terasa kesat ditempeli debu. Setelah mengeluarkan sendal, saya membersihkan kaki di atas kardus yang tergeletak di lantai. Saya cepat-cepat mengganti kebaya dan kain panjang dengan jins dan kaos. Jaket saya keluarkan dari dalam tas. 
      Bingkai jendela berkeriut. Engsel bagian atasnya tampak ber- 
karat. Aroma serupa kubis busuk melayang-layang masuk. Laba- 
laba bergelantungan. Jaringnya terbelit di kabel lampu. Ruang 
berukuran 3 x 3 meter itu kosong. Selain dua kardus di lantai, 
hanya ada tumpukan majalah setinggi lutut dan sebuah karung 
plastik di sudutnya. 
     “Neng…,” terdengar suara halus si bapak berbarengan deng- 
an ketokan halus dari balik pintu. 
     “Ya, Pak.” Saya membuka slot besi. Jaket saya sampirkan di 
bahu. “Punten lama. Oh, Pak, itu majalah punya siapa ya?” 
     “Gak ada yang punya. Pemulung sok simpen sembarangan. 
Katanya mau diambil tapi udah lama ga diambil-ambil. Kalau mau 
mah sok aja bawa Neng. Semuanya?” 
     “Gak, Pak. Satu saja. Yang ini. Boleh?” 
     Saya mengambil sebuah majalah dari tengah tumpukan. 
     “Mangga.” 
     “Nuhun ya, Pak. Berapa?” 
     “Sama saja dengan kamar mandi. Seribu.” 
     “Bukan. Majalahnya berapa?” 
     “Ah, itu mah gratis aja.” 
     “Oh. Terima kasih ya, Pak. Ini untuk kamar mandinya.” 
     “Nuhun, Neng.” 
  
BARU keesokan harinya, ketika menunggu rendaman pakaian, saya 
membuka-buka majalah yang halaman belakangnya rapat karena 
lembap. Saya menemukan cerita pendek itu. 
    Sampul dan halaman depan majalah sudah tidak ada. Jejak 
nama majalah saya perkirakan dari bagian bawah halaman, Nuit 
Noire. Tahun terbit tidak berhasil saya temukan. Nama penulis pun 
tidak bisa dibaca. Hanya ada inisial MK di akhir tulisan. 
         Selama Januari saya menebak-nebak bagian demi bagian 
cerita pendek dari halaman rentan yang nyaris robek itu sebelum 
 kemudian menerjemahkannya. 
        Saya sengaja mengirimkannya ke Mas. Ceritanya menarik dan memuaskan rasa penasaran. Saya berharap Mas tahu mengenai 
atau, mungkin, pernah membaca cerita pendek itu. 
          Saya ingat The Unberable Ligthness of Being. 
          Kundera seolah menjebak pembacanya ketika membuka 
novel itu dengan kerumitan perulangan abadi Nietzsche, oposisi 
biner Parmenides, dan kamus kesalahpahaman, “hanya” untuk 
membicarakan cinta segitiga Tomas-Tereza-Sabina. Demikian pula 
dengan kehadiran kisah sempalan tinja dan Dub ek yang sulit 
bernapas. 
         There’s No Terra Incognita, demikianlah judul cerita pendek 
 itu, juga begitu. Sebelum menggambarkan Kota Praha semuram 
 tumpukan kue dalam kaleng, penulis berceramah panjang 
mengenai Schopenhauer. Sebuah mata yang memandang dunia 
dengan mencibir dan pesimistis. Tepatnya, kisah dibuka dengan 
rentetan kalimat “All truth pass through three stage. First, it is 
ridiculed. Second, it is violently opposed. Third, it is accepted as 
being self-evident. Arthur Schopenhauer”. 
       Kemudian digambarkan benda menyerupai kotak. Seperti 
 lensa kamera yang menjauh, benda itu menjadi sebuah bingkai jendela. Dari jendela itu memantul sebuah bayangan. Menjelma sosokperempuan. Perempuan bermata coklat bundar bening. Umurnya 25 tahun dengan tinggi 155 sentimeter dan berat 40 kilogram. 
        Namanya Naina. Dan saya ingat Tereza. 
Konon, Tereza lahir terutama dari ide—yang, menurut 
Kundera, adalah sebuah situasi yang mendasar—mengenai tubuh. 
Tereza adalah tubuh yang “merupakan perpanjangan dari hidup 
 ibunya”. Ibunya berhasil meyakinkan Tereza untuk meniadakan 
 tubuh, yang juga berarti mengembangkan mekanisme ketidakper- 
cayaan pada tubuhnya. Saya ingat benar tekanan yang dirasakan 
Tereza karena ia memiliki payudara dengan areola yang sangat 
besar. Juga tubuh telanjang ibunya yang terus menggeliat dalam 
hidup Tereza. 
      Dalam The Unbearable, Tereza dan tubuhnya terus terhubung 
dalam kelindan kisah: aneka perselingkuhan Tomas, sentuhan si 
Insinyur, sampai ketika ia membersihkan darah haid anjingnya, 
Karenin. 
      Dialog pertama dalam There’s No adalah, “Proporsional. 
Ideal.” Naina menoleh seolah menanggapi omongan si narator. Ke- 
pala perempuan itu menggeleng sebagai bentuk pengelakan. 
Sambil mengelap uap dengan telapak tangan di kaca jendela, 
Naina bergumam, “Saya tidak nyaman dengan tubuh ini.” 
     Ya, kata narator lagi, kau memang terlihat mungil untuk 
ukuran perempuan Eropa Timur. Tapi cukup proporsional. 
     “Tidak hanya itu.” Naina mengeras. Suaranya mulai terdengar 
tegang. 
    Naina melihat ke arah payudaranya. “Ini terlalu besar. 
Menempel seperti dua gundukan roti burger.” 
     Sejak bulu tumbuh di kemaluannya, menstruasinya mulai, dan 
payudaranya membesar, Naina bermusuhan dengan tubuhnya. Tu- 
buh itu masalah terbesar dalam hidupnya. Setiap mata yang me- 
mandang dirasakannya hanya memperhatikan tubuhnya. Sejak itu 
pula Naina malas berhubungan dengan orang. Ia jarang berkenalan 
dengan orang, tidak suka berjalan di keramaian. Naina mendirikan 
benteng tinggi untuk menyembunyikan diri. 
   Naina lebih suka sendiri. Mengurung diri dalam kamar sambil 
membaca novel percintaan. 


DIA membayangkan dirinya sebagai tokoh-tokoh perempuan 
dalam novel. Berkulit lobak, rentan, menderita, seperti Cinderela 
 atau Juliet atau Sam Pek. Pemberontak dan cerdas seperti Emma 
atau Elizabeth. Naina bisa menjadi siapa pun. Tapi dalam kalimat- 
kalimat di semua novel selalu ada laki-laki, bahkan tidak hanya satu laki-laki, berkejaran memburu dan berkorban mempersembahkan cinta bagi si tokoh perempuan. 
        Januari 1969. 
        Hari itu hujan. Menara-menara tampak remang dalam abu. 
Deretan patung sesak dikitari asap. Langkah tentara merah 
gabungan berderap menyisir kota. Naina asyik membuka halaman- 
halaman Garmen, novel cinta seorang penulis eksil. Terdengar 
suara rentetan tembakan. Naina mengangkat muka. Dia berdiri 
 dekat jendela. Mengamati bayang-bayang tubuhnya di kaca. 
Rentetan tembakan terdengar lagi. 
        Naina tersentak. Tapi bukan karena tembakan atau gemuruh 
tank di kejauhan. Bukan. Ia tidak peduli dengan fasisme atau 
komunisme atau Dub ek. Di kaca jendela yang memantulkan 
bayangan dirinya, Naina melihat seorang perempuan dengan 
tubuh pendek dan payudara besar. Tidak hanya itu, Naina juga 
melihat dengan mata yang merindukan sesuatu. Matanya. 
        “Aku tahu… Selama ini, aku tidak pernah menemukan atau 
ditemukan oleh laki-laki yang benar-benar mencintai.” Padahal, 
katanya lagi, selalu dan pasti ada laki-laki yang mau mengorbankan diri untuk cinta. Selalu ada cinta yang membuat isi perutnya  bergolak dikepak sayap kupu-kupu. 
         Naina melihat keluar jendela yang mulai gelap. Jalanan 
senyap. Naina seperti terbangun dari mimpi. Saat itu juga ia berlari 
 keluar rumah. 
         Hujan mengerap. Naina berjalan menyusuri kota. Potongan- 
potongan novel menyatu memenuhi kepalanya. 
         Naina membayangkan, dengan tidak sengaja, seorang laki- 
laki melihatnya berjalan dalam hujan. Laki-laki itu berlari 
menghampiri. Menariknya masuk ke sebuah apartemen. Laki-laki 
itu menyalakan perapian, menyelimuti pundaknya, menyiapkan 
 kopi panas, dan menanyakan kenapa ia berjalan di tengah hujan. 
Mata laki-laki itu berkilat ketika berbisik di telinga Naina, “Aku akan berbuat apa saja asal kau tidak lagi berjalan di tengah hujan.” 
     Ah, mungkin laki-laki itu ada di tikungan sana. 
     Naina mengejar tikungan demi tikungan. Dasar sepatuhnya 
basah. Telapak kaki Naina mengerut. 
     Narator menggambarkan Naina yang menerabas jajaran 
tentara berjaga di Alun-alun Wenceslas seperti dongeng Andersen. 
Naina ada dalam teriakan para demonstran, derak tank, asap 
mesiu, dan bau tubuh terbakar. Dan ia tak peduli. Ia bagai gadis 
korek api di keriuhan malam Natal. 
     Bayangan yang berseliweran di kepala Naina sama sekali 
berbeda. 
      Naina membayangkan hujan semakin deras. Dingin kian 
menusuk. Tangannya membeku. Ia jatuh. Pingsan. Entah berapa 
lama Naina tak sadar. Ketika matanya terbuka, ia berbaring di 
kelembutan kasur bulu angsa. Selimut menutup hingga dada. 
Hangat. Di meja kecil samping tempat tidur, cangkir minuman 
mengepul. Tidak jauh dari situ, seorang laki-laki menatapnya. Mata itu seperti yang diharap Naina. Penuh cinta. 
     Naina terus berjalan. Hujan tidak juga reda. Tidak ada satu 
pun bayangan di kepala Naina yang menjadi kenyataan. Tidak ada. 
Tidak pernah ada. Tidak ada tangan laki-laki yang menariknya 
nasuk apartemen. Naina juga tidak jatuh pingsan. Dan seterusnya. 
Dan seterusnya. 
     Kota Praha semakin dingin. 
     Naina semakin jauh berjalan. Ia lelah. 
     “Kenapa tidak kembali saja?” tanya narator di tepi Sungai 
Vltava. 
     Naina menggeleng. Dan masih tampak menggelengkan 
kepala hingga menghilang di ujung jembatan. 
     Naina mungkin malu untuk kembali, kata narator. 

      Lalu, seperti di awal kisah, digambarkan benda menyerupai 
kotak. Serupa lensa kamera menjauh, benda itu digambarkan 
sebagai bingkai jendela. Di jendela itu memantul sebuah bayangan. 
       Menjelma sosok laki-laki. Badannya tinggi. Tulangnya terlihat 
sekokoh patung para santo. 
        Sejak bertahun-tahun silam laki-laki itu selalu datang. Tidak 
pernah satu senja pun dia tak mengetuk rumah Naina. Tidak jarang 
dia berdiri berjam-jam sampai pintu dibuka. Lengannya selalu 
mengepit sebuah novel. Dengan bibir lurus dan mata mengarah 
jauh entah ke mana, Naina menerima novel itu dan masuk kamar. 
         Setelah si laki-laki menyalakan lampu dan menutup jendela, dia berjalan ke luar rumah perlahan. 
         Pada saat yang sama laki-laki itu melangkah saja menuju 
rumah Naina. Dia memanggil dan mencoba mengejar Naina. Dan, 
sampai saya mengakhiri cerita ini, laki-laki setampan Gatsby itu 
masih berdiri di muka pintu. Masih menunggu Naina pulang. 
          Demikian pamungkas cerita pendek itu, Mas. 
          Salam, MS. ? 




               Mona Sylviana tinggal di Jatinangor, Sumedang. Buku cerita pendeknya adalah Wajah Terakhir (2011). 

Pak Lurah

Developer

apa saja selain hidup

0 comments:

Post a Comment