Theres No Terra Incognita
Mona Sylviana
SELAMAT malam, Mas.
Surat pengantar ini mungkin tidak seperti yang biasa
Mas terima maupun yang saya buat kalau mengirimkan
cerita pendek. Saya merasa harus sedikit menjelaskan me-
ngenai cerita pendek yang saya sertakan dalam file lampiran.
Cerita pendek itu tidak sengaja saya temukan dalam gudang
di sekitar tempat parkir di sisi Sungai Cikapundung. Tepat pada
Minggu, 15 Desember 2013. Saya ingat benar waktunya: bertepatan dengan pemakaman Nelson Mandela di Qunu yang kami peringati dalam sebuah pertunjukan. “Doa Sumber Mata Air Cikapundung untuk Mandela”.
Sebuah meja empat persegi panjang diletakkan di tengah
Sungai Cikapundung yang mengalir tidak jauh dari Gedung Mer-
deka. Ada lima buah kursi di sekitar meja. Sebuah kain putih
memanjang menutup meja dengan satu ujung, sekitar 10 meter,
dibiarkan menjuntai mengikuti aliran sungai. Jam 10 pagi tampah
berisi nasi tumpeng diletakkan di atas meja. Sambil meletakkan
piring dan gelas, Tisna Sanjaya, Deden Sambas, Diyanto, Isa Per-
kasa, dan saya, duduk di kursi-kursi itu.
Kami ngobrol di situ sampai jam 1 siang.
Seingat saya, banyak hal yang dibicarakan: Mandela, seni pertunjukan, seni memaafkan, Kota Bandung, korupsi, sastra, sampah yang lewat. Beberapa orang yang mengikuti gerak tubuh dan, mungkin, bibir kami bertahan lama di pinggir sungai. Selebihnya, datang dan pergi.
Selesai pertunjukan, selesai bicara dengan beberapa warta-
wan, Kang Tisna, Kang Deden, dan Kang Diyanto langsung pulang.
Langit digayuti awan hitam. Sebentar lagi hujan, yang di bulan itu kerap menyambangi Bandung, akan turun. Kang Isa dan Eni, istrinya, sudah juga saya minta untuk tidak menunggu karena anak bungsu mereka kelihatan sudah mengantuk. Makanya, tinggal saya sendiri di situ. Gerobak lontong kari tempat saya tadi pagi sarapan sudah dipindahkan ke bawah pohon beringin. Kedua rodanya dirantai. Kursi kayu diletakkan di atap gerobak.
Air sebesar butir jagung mulai jatuh.
Saya bergegas mengangkat travel bag dan ujung kain yang
basah menuju ruang di samping kantor distributor koran. Dalam ruang itu ada toilet, musala, dan gudang. Saya berdiri di pintu dekat musala. Dari toilet menguar gumam lagu dangdut dan wangi sabun batangan. Seseorang yang kemudian saya tahu penjaga toilet menyapa, “Mau ganti baju ya, Neng?”
Saya mengangguk.
Laki-laki tua itu memindahkan kotak sumbangan toilet dan
mandi lama.”
“Bapak sudah mau pulang? Tunggu sebentar ya, Pak. Saya hanya mau ganti baju.”
“Iya. Tapi Mang Atok juga masih lama. Bisa 1 jam, Neng. Kalau mau ganti baju di gudang situ saja biar cepat.”
Saya mengangguk, mengucapkan terima kasih, dan masuk.
Telapak kaki saya terasa kesat ditempeli debu. Setelah mengeluarkan sendal, saya membersihkan kaki di atas kardus yang tergeletak di lantai. Saya cepat-cepat mengganti kebaya dan kain panjang dengan jins dan kaos. Jaket saya keluarkan dari dalam tas.
Bingkai jendela berkeriut. Engsel bagian atasnya tampak ber-
karat. Aroma serupa kubis busuk melayang-layang masuk. Laba-
laba bergelantungan. Jaringnya terbelit di kabel lampu. Ruang
berukuran 3 x 3 meter itu kosong. Selain dua kardus di lantai,
hanya ada tumpukan majalah setinggi lutut dan sebuah karung
plastik di sudutnya.
“Neng…,” terdengar suara halus si bapak berbarengan deng-
an ketokan halus dari balik pintu.
“Ya, Pak.” Saya membuka slot besi. Jaket saya sampirkan di
bahu. “Punten lama. Oh, Pak, itu majalah punya siapa ya?”
“Gak ada yang punya. Pemulung sok simpen sembarangan.
Katanya mau diambil tapi udah lama ga diambil-ambil. Kalau mau
mah sok aja bawa Neng. Semuanya?”
“Gak, Pak. Satu saja. Yang ini. Boleh?”
Saya mengambil sebuah majalah dari tengah tumpukan.
“Mangga.”
“Nuhun ya, Pak. Berapa?”
“Sama saja dengan kamar mandi. Seribu.”
“Bukan. Majalahnya berapa?”
“Ah, itu mah gratis aja.”
“Oh. Terima kasih ya, Pak. Ini untuk kamar mandinya.”
“Nuhun, Neng.”
BARU keesokan harinya, ketika menunggu rendaman pakaian, saya
membuka-buka majalah yang halaman belakangnya rapat karena
lembap. Saya menemukan cerita pendek itu.
Sampul dan halaman depan majalah sudah tidak ada. Jejak
nama majalah saya perkirakan dari bagian bawah halaman, Nuit
Noire. Tahun terbit tidak berhasil saya temukan. Nama penulis pun
tidak bisa dibaca. Hanya ada inisial MK di akhir tulisan.
Selama Januari saya menebak-nebak bagian demi bagian
cerita pendek dari halaman rentan yang nyaris robek itu sebelum
kemudian menerjemahkannya.
Saya sengaja mengirimkannya ke Mas. Ceritanya menarik dan memuaskan rasa penasaran. Saya berharap Mas tahu mengenai
atau, mungkin, pernah membaca cerita pendek itu.
Saya ingat The Unberable Ligthness of Being.
Kundera seolah menjebak pembacanya ketika membuka
novel itu dengan kerumitan perulangan abadi Nietzsche, oposisi
biner Parmenides, dan kamus kesalahpahaman, “hanya” untuk
membicarakan cinta segitiga Tomas-Tereza-Sabina. Demikian pula
dengan kehadiran kisah sempalan tinja dan Dub ek yang sulit
bernapas.
There’s No Terra Incognita, demikianlah judul cerita pendek
itu, juga begitu. Sebelum menggambarkan Kota Praha semuram
tumpukan kue dalam kaleng, penulis berceramah panjang
mengenai Schopenhauer. Sebuah mata yang memandang dunia
dengan mencibir dan pesimistis. Tepatnya, kisah dibuka dengan
rentetan kalimat “All truth pass through three stage. First, it is
ridiculed. Second, it is violently opposed. Third, it is accepted as
being self-evident. Arthur Schopenhauer”.
Kemudian digambarkan benda menyerupai kotak. Seperti
lensa kamera yang menjauh, benda itu menjadi sebuah bingkai jendela. Dari jendela itu memantul sebuah bayangan. Menjelma sosokperempuan. Perempuan bermata coklat bundar bening. Umurnya 25 tahun dengan tinggi 155 sentimeter dan berat 40 kilogram.
Namanya Naina. Dan saya ingat Tereza.
Konon, Tereza lahir terutama dari ide—yang, menurut
Kundera, adalah sebuah situasi yang mendasar—mengenai tubuh.
Tereza adalah tubuh yang “merupakan perpanjangan dari hidup
ibunya”. Ibunya berhasil meyakinkan Tereza untuk meniadakan
tubuh, yang juga berarti mengembangkan mekanisme ketidakper-
cayaan pada tubuhnya. Saya ingat benar tekanan yang dirasakan
Tereza karena ia memiliki payudara dengan areola yang sangat
besar. Juga tubuh telanjang ibunya yang terus menggeliat dalam
hidup Tereza.
Dalam The Unbearable, Tereza dan tubuhnya terus terhubung
dalam kelindan kisah: aneka perselingkuhan Tomas, sentuhan si
Insinyur, sampai ketika ia membersihkan darah haid anjingnya,
Karenin.
Dialog pertama dalam There’s No adalah, “Proporsional.
Ideal.” Naina menoleh seolah menanggapi omongan si narator. Ke-
pala perempuan itu menggeleng sebagai bentuk pengelakan.
Sambil mengelap uap dengan telapak tangan di kaca jendela,
Naina bergumam, “Saya tidak nyaman dengan tubuh ini.”
Ya, kata narator lagi, kau memang terlihat mungil untuk
ukuran perempuan Eropa Timur. Tapi cukup proporsional.
“Tidak hanya itu.” Naina mengeras. Suaranya mulai terdengar
tegang.
Naina melihat ke arah payudaranya. “Ini terlalu besar.
Menempel seperti dua gundukan roti burger.”
Sejak bulu tumbuh di kemaluannya, menstruasinya mulai, dan
payudaranya membesar, Naina bermusuhan dengan tubuhnya. Tu-
buh itu masalah terbesar dalam hidupnya. Setiap mata yang me-
mandang dirasakannya hanya memperhatikan tubuhnya. Sejak itu
pula Naina malas berhubungan dengan orang. Ia jarang berkenalan
dengan orang, tidak suka berjalan di keramaian. Naina mendirikan
benteng tinggi untuk menyembunyikan diri.
Naina lebih suka sendiri. Mengurung diri dalam kamar sambil
membaca novel percintaan.
DIA membayangkan dirinya sebagai tokoh-tokoh perempuan
dalam novel. Berkulit lobak, rentan, menderita, seperti Cinderela
atau Juliet atau Sam Pek. Pemberontak dan cerdas seperti Emma
atau Elizabeth. Naina bisa menjadi siapa pun. Tapi dalam kalimat-
kalimat di semua novel selalu ada laki-laki, bahkan tidak hanya satu laki-laki, berkejaran memburu dan berkorban mempersembahkan cinta bagi si tokoh perempuan.
Januari 1969.
Hari itu hujan. Menara-menara tampak remang dalam abu.
Deretan patung sesak dikitari asap. Langkah tentara merah
gabungan berderap menyisir kota. Naina asyik membuka halaman-
halaman Garmen, novel cinta seorang penulis eksil. Terdengar
suara rentetan tembakan. Naina mengangkat muka. Dia berdiri
dekat jendela. Mengamati bayang-bayang tubuhnya di kaca.
Rentetan tembakan terdengar lagi.
Naina tersentak. Tapi bukan karena tembakan atau gemuruh
tank di kejauhan. Bukan. Ia tidak peduli dengan fasisme atau
komunisme atau Dub ek. Di kaca jendela yang memantulkan
bayangan dirinya, Naina melihat seorang perempuan dengan
tubuh pendek dan payudara besar. Tidak hanya itu, Naina juga
melihat dengan mata yang merindukan sesuatu. Matanya.
“Aku tahu… Selama ini, aku tidak pernah menemukan atau
ditemukan oleh laki-laki yang benar-benar mencintai.” Padahal,
katanya lagi, selalu dan pasti ada laki-laki yang mau mengorbankan diri untuk cinta. Selalu ada cinta yang membuat isi perutnya bergolak dikepak sayap kupu-kupu.
Naina melihat keluar jendela yang mulai gelap. Jalanan
senyap. Naina seperti terbangun dari mimpi. Saat itu juga ia berlari
keluar rumah.
Hujan mengerap. Naina berjalan menyusuri kota. Potongan-
potongan novel menyatu memenuhi kepalanya.
Naina membayangkan, dengan tidak sengaja, seorang laki-
laki melihatnya berjalan dalam hujan. Laki-laki itu berlari
menghampiri. Menariknya masuk ke sebuah apartemen. Laki-laki
itu menyalakan perapian, menyelimuti pundaknya, menyiapkan
kopi panas, dan menanyakan kenapa ia berjalan di tengah hujan.
Mata laki-laki itu berkilat ketika berbisik di telinga Naina, “Aku akan berbuat apa saja asal kau tidak lagi berjalan di tengah hujan.”
Ah, mungkin laki-laki itu ada di tikungan sana.
Naina mengejar tikungan demi tikungan. Dasar sepatuhnya
basah. Telapak kaki Naina mengerut.
Narator menggambarkan Naina yang menerabas jajaran
tentara berjaga di Alun-alun Wenceslas seperti dongeng Andersen.
Naina ada dalam teriakan para demonstran, derak tank, asap
mesiu, dan bau tubuh terbakar. Dan ia tak peduli. Ia bagai gadis
korek api di keriuhan malam Natal.
Bayangan yang berseliweran di kepala Naina sama sekali
berbeda.
Naina membayangkan hujan semakin deras. Dingin kian
menusuk. Tangannya membeku. Ia jatuh. Pingsan. Entah berapa
lama Naina tak sadar. Ketika matanya terbuka, ia berbaring di
kelembutan kasur bulu angsa. Selimut menutup hingga dada.
Hangat. Di meja kecil samping tempat tidur, cangkir minuman
mengepul. Tidak jauh dari situ, seorang laki-laki menatapnya. Mata itu seperti yang diharap Naina. Penuh cinta.
Naina terus berjalan. Hujan tidak juga reda. Tidak ada satu
pun bayangan di kepala Naina yang menjadi kenyataan. Tidak ada.
Tidak pernah ada. Tidak ada tangan laki-laki yang menariknya
nasuk apartemen. Naina juga tidak jatuh pingsan. Dan seterusnya.
Dan seterusnya.
Kota Praha semakin dingin.
Naina semakin jauh berjalan. Ia lelah.
“Kenapa tidak kembali saja?” tanya narator di tepi Sungai
Vltava.
Naina menggeleng. Dan masih tampak menggelengkan
kepala hingga menghilang di ujung jembatan.
Naina mungkin malu untuk kembali, kata narator.
Lalu, seperti di awal kisah, digambarkan benda menyerupai
kotak. Serupa lensa kamera menjauh, benda itu digambarkan
sebagai bingkai jendela. Di jendela itu memantul sebuah bayangan.
Menjelma sosok laki-laki. Badannya tinggi. Tulangnya terlihat
sekokoh patung para santo.
Sejak bertahun-tahun silam laki-laki itu selalu datang. Tidak
pernah satu senja pun dia tak mengetuk rumah Naina. Tidak jarang
dia berdiri berjam-jam sampai pintu dibuka. Lengannya selalu
mengepit sebuah novel. Dengan bibir lurus dan mata mengarah
jauh entah ke mana, Naina menerima novel itu dan masuk kamar.
Setelah si laki-laki menyalakan lampu dan menutup jendela, dia berjalan ke luar rumah perlahan.
Pada saat yang sama laki-laki itu melangkah saja menuju
rumah Naina. Dia memanggil dan mencoba mengejar Naina. Dan,
sampai saya mengakhiri cerita ini, laki-laki setampan Gatsby itu
masih berdiri di muka pintu. Masih menunggu Naina pulang.
Demikian pamungkas cerita pendek itu, Mas.
Salam, MS. ?
Mona Sylviana tinggal di Jatinangor, Sumedang. Buku cerita pendeknya adalah Wajah Terakhir (2011).
0 comments:
Post a Comment