Kisah Sang Penulis [2]
Penulis: Barokah Ruziati
Dea menarik diri saat dilihatnya sang penulis berbalik menghadap ke
arahnya, sambil berbicara di telepon. Bagaimana aku tahu aku bisa mengikuti
jalan pikirannya atau tidak? Dalam seminggu, kata-kata yang diucapkan wanita
tua itu bisa dihitung dengan jari. ‘Pagi, Dea.’, ‘Sudah sarapan?’, ‘Bagaimana
perjalananmu?’, ‘Oh, sudah mau pulang?’. Dan, tentu saja, ‘Dea, kopinya bisa
sekarang? Terima kasih.’
Hari pertama dan kedua, Dea masih menjawab dengan antusias, berharap bisa
membuka percakapan. Tapi, ternyata yang dibutuhkan sang penulis hanya jawaban:
‘Pagi’, ‘Sudah’, ‘Baik’, ‘Belum’, dan ‘Ya’ atau ‘Tidak’. Begitu Dea menjawab
sedikit lebih panjang, dia langsung mengalihkan perhatiannya pada buku yang
sedang dibacanya. Di hari keempat, Dea berhenti mencoba.
“Dea, sedang sibuk?”
Dea gelagapan dan tersentak dari lamunannya. Sang penulis sudah berdiri di
hadapannya. Kakinya yang terbalut sandal flat putih mengetuk-ngetuk lantai
dengan tidak sabar. “Enggak, Bu. Ada yang bisa saya bantu?” tanya Dea,
sekenanya.
“Tentu saja, memang itu tugasmu di sini, ‘kan?” sambar sang pe-nulis dengan
suara lembut, namun menusuk.
Dea mengangguk perlahan.
“Nah, Dea, tadi malam saya sudah menyimpan bagian awal cerita saya di alat
perekam ini. Sekarang tolong kau ketik. Buat file baru saja. Judulnya belum
ada, tulis saja novel baru. Lumayan panjang, mungkin bisa dapat 30 atau 40
halaman.”
Dia menerangkan dengan cepat sambil menyorongkan sebuah alat perekam mini
kepada Dea. “Saya capek, belum tidur dari semalam. Kamu kerjakan saja dan nanti
kalau sudah waktunya kamu pulang, tidak usah bangunkan saya. Tolong nyalakan
saja lampu dan tutup pintu dan gerbang yang rapi.” Setelah mengucapkan kalimat
terakhir itu dia langsung berlalu dari hadapan Dea dan masuk ke kamarnya.
Dea mengangkat bahu dan membuang jauh-jauh keinginan untuk sekadar
mengajukan satu-dua pertanyaan. “Sudahlah, aku di sini untuk bekerja, bukan
mencari teman, apalagi sahabat,” gumamnya, pasrah. Namun, dalam hati, masih
membuncah hasratnya untuk mendobrak kebekuan di antara mereka. Begitu banyak
yang ingin ditanyakannya pada penulis itu. Mungkin ada saatnya nanti, katanya kepada
diri sendiri, lebih seperti memanjatkan harapan.
Dea memasang earphone di telinga, menegakkan duduknya, menyalakan alat
perekam, dan membuka file baru di komputer. Ini tugas sungguhan pertamaku. Tak
boleh ada yang salah, tekadnya. Dan, suara lembut nan tegas milik sang penulis
mulai mengalun di telinganya.
Aku berlari di antara ilalang yang tingginya hampir menyamai kepalaku. Di
belakang, kudengar Lingga berseru-seru menyuruh aku me-nunggunya. Aku hanya
tertawa dan mempercepat lariku. “Ana! Aku tidak kuat lagi. Aku belum makan dari
pagi!”
Aku menghentikan lariku. Lingga menyusul, napasnya tersengal-sengal. “Huh,
alasan! Bilang saja kamu tak terima bahwa kau kalah dari aku.”
Aku mencibirnya saat dia sampai di depanku. Dia tidak menjawab, tapi kemudian
aku melihat wajahnya yang pucat dan keringat sebesar bulir-bulir jagung di
keningnya. Aku langsung mengubah nada bicaraku. “Maaf, Lingga, kenapa kamu
tidak bilang belum makan? Lebih baik sekarang kita segera ke istana. Juru masak
pasti sudah menyiapkan makanan lezat untuk kita.”
Lingga tersenyum cerah, menyinari ruang hatiku. Kami berjalan berdampingan
menuju istana kami. Jalan yang kami lalui kini berpagar bunga-bunga beraneka
warna dengan wangi memabukkan. Aku menghirup udara yang manis itu sepuasnya
lalu menoleh ke sampingku. “Lingga,” panggilku.
Lingga menatapku, di matanya aku melihat seribu gemintang. “Ya, Ana?”
“Aku tak mau jadi dewasa.”
“Aku juga.”
“Aku tak akan pernah jadi dewasa.”
“Kita tak akan pernah jadi dewasa, Ana. Istana dan kerajaan ini hanya akan
terbuka untuk kita, yang tak pernah dewasa,” Lingga berucap mantap, sambil
mengeratkan genggamannya.
Angin yang berembus perlahan seakan menjadi saksi janji kami berdua.
Dea tak menyadari hari yang beranjak sore. Dia lupa tugasnya membuatkan
kopi untuk sang penulis. Ketika perutnya berteriak minta diisi, dia melirik
arlojinya dan melihat saat itu sudah pukul 16.15. Dengan enggan Dea beranjak
dari kursinya dan melihat ke arah kamar yang tertutup. Mungkinkah dia tadi
memanggilku, tapi aku tidak mendengar? tanya Dea dalam hati.
Dia meragukannya. Pasti penulis tua itu lelah sekali dan tak akan bangun
hanya untuk sekadar minum kopi. Dea lalu ke dapur dan membuat teh manis untuk
dirinya sendiri.
Pukul lima lewat Dea menuntaskan pekerjaannya. Dia mematikan komputer dan
mencuci cangkir bekas teh manisnya. Sambil berjingkat-jingkat, dihampirinya
kamar yang masih tertutup rapat.
Dea lalu membuat catatan untuk sang penulis.
Bu, kalau nanti malam Ibu begadang lagi, besok tidak usah menunggu saya
datang. Tinggalkan saja alat perekamnya dan petunjuk apa saja yang harus saya
kerjakan. Selamat sore, Bu.
Dea sudah hendak menutup pulpen, tapi hati kecilnya melonjak-lonjak dan dia
pun cepat-cepat menambahkan: Ceritanya bagus, Bu! Ia menulis dengan kegairahan.
Setelah menyalakan lampu rumah dan halaman, Dea meninggalkan rumah itu, masih
sambil berjingkat-jingkat.
Pagi itu Dea berangkat dari kosnya dengan penuh semangat. Tak terkira
betapa kecewanya dia ketika tiba di rumah sang penulis, dia hanya disambut oleh
kesunyian. Dea mendorong pagar, ternyata tidak terkunci. Dia lanjutkan
langkahnya memasuki teras dan me-ngetuk pintu rumah. Tak ada jawaban. Dibukanya
pintu yang rupanya tidak terkunci. Saat berada di dalam rumah, mata Dea
langsung mengenali alat perekam mini di atas catatan yang ditulisnya
kemarin.
Dengan takut-takut Dea mendekat. Jangan-jangan dia menganggapku lancang,
pikirnya. Jangan-jangan aku keterlaluan menulis surat sok akrab seperti itu.
Dea menghampiri meja tamu, lalu menunduk membaca tulisan tangan yang rapi di
bawah tulisannya sendiri.
Terima kasih, Dea. Saya sudah lanjutkan ceritanya. Tolong diketik
lagi.
Sudah. Hanya itu. Tanpa sadar Dea mengembuskan napas lega, lalu menyeringai
lebar. Dia bisa melanjutkan pekerjaannya hari ini.
Aku melihat Lingga tadi pagi. Aku memanggilnya, tapi dia memalingkan muka.
Aku mencoba mengejarnya, tapi dia malah membentakku. “Jangan ikuti aku, Ana.
Pergilah bermain sendiri hari ini.”
Aku terkejut mendengar suaranya yang marah. Aku hanya ingin bertanya,
kenapa ada lebam di wajahnya. Dan memar di lengannya. Aku yakin dokter di
istana kami bisa mengobatinya. Badut-badut istana bisa menghiburnya. Dan
kuda-kuda kami yang gagah bisa mengusir mendung di wajahnya.
Tapi, dia menolak. Dia tak mau ke istana hari ini. Dia bilang, istana hanya
untuk anak-anak yang bahagia.
Pukul setengah lima Dea sudah bersiap-siap meninggalkan ru-mah sang
penulis. Ditatapnya pintu kamar yang tak pernah membuka sejak tadi pagi. Pasti
penulis tua itu sedang tertidur lelap di ranjangnya, membayar kelelahan,
setelah membuka mata semalaman. Tiba-tiba timbul rasa sayang di hati Dea. Dia
ingat ibunya. Dia senang memandangi wajah ibunya saat sedang tidur. Begitu
damai, begitu nyaman. Tak terlihat rongrongan penyakit yang menggerogoti
tubuhnya dari dalam. Dea menggelengkan kepala, mengusir sungai duka yang mulai
merambati sudut matanya. Dan dia pun tahu apa yang harus dilakukan.
Dea menaruh nasi panas di dalam rice cooker, menata gudeg lengkap di dalam
piring besar, menumpahkan kerupuk udang ke dalam stoples, dan memasukkan
sepiring besar mangga dan pepaya yang sudah dikupas dan dipotong-potong, ke
dalam kulkas. Dea tersenyum. Dia tidak tahu apakah sang penulis akan menyukai
makanan yang dibelinya. Tapi, ini makanan kesukaan ibunya. Dan, ibunya senang
sekali jika dia terbangun dari tidur dan mendapati ada gudeg dan kerupuk udang
di meja makan. Setelah menutup makanan dengan tudung saji, Dea menyalakan lampu
dan pergi.
Kami bertatapan dalam sunyi. Udara seakan menggantung diam setelah kisah
Lingga yang tersendat-sendat berakhir. Aku tak mampu berkata-kata. Tapi, aku
bisa merasakan kesakitannya, saat ayahnya memukuli dia. Kepedihannya saat
melihat ibunya hanya menatap tak berdaya dari sudut rumah. Kehancurannya
menyaksikan adik bayinya menjerit kelaparan, karena tak ada cukup uang untuk
membeli susu.
Aku tersenyum. Di istana, kami semua hanya bagian dari dunia luar. Tak
tersentuh, tak bisa menyentuh kami. Aku raih tangannya dan kugenggam erat-erat.
“Di sini kau tak pernah merasakan sakit itu, ‘kan, Lingga?”
Lingga menggeleng. “Berarti tempatmu memang di sini, Lingga. Bukan di
tempat lain,” kataku, meyakinkannya.
“Tapi, di sini tempat anak-anak yang bahagia, Ana. Seperti kau. Aku....”
“Apakah kau bahagia di sini, Lingga?” Aku memotongnya.
“Aku selalu bahagia jika bersamamu,” jawabnya, malu-malu.
Aku tersenyum lembut. “Istana ini milik kita, Lingga. Monster-monster jahat
di luar sana tak akan bisa masuk ke sini. Tak usah kau pikirkan mereka. Di sini
hanya ada kau dan kau, anak-anak bahagia di dalam istana yang indah.”
Lingga menatapku, seulas senyum tergambar di bibirnya. “Dan kita tak akan
pernah jadi dewasa,” gumamnya, perlahan.
Aku mengangguk, “Itu pasti.”
Sambil bersenandung pelan, Dea mendorong pintu pagar. Betapa terkejutnya
dia saat melihat sang penulis sedang duduk di teras, sambil memegang koran.
Dari balik kacamata mungilnya dia menatap Dea dengan pandangan aneh. Rantai
kacamatanya berkilauan tertimpa sinar matahari.
“Kenapa kamu kemari?” tanyanya.
Untuk sesaat Dea takut wanita tua itu sudah terjangkit penyakit pikun.
Tapi, seingatnya Rani tidak pernah memperingatkan dia soal ini. “Saya... saya
kan bekerja di sini, Bu,” jawabnya, ragu. “Saya mengetikkan cerita Ibu dan....”
Sang penulis mengibaskan tangannya tak sabar. “Ya, ya, ya, itu saya tahu.
Saya belum pikun, Dea,” ujarnya, kesal.
Lalu, dia diam sambil tetap memandangi Dea. “Ini hari Minggu, Dea. Apakah
kamu tidak punya kehidupan lain?” tanyanya, kini dengan nada lebih lunak. Dia
tersentuh juga melihat wajah Dea yang kebingungan.
sponsored by
0 comments:
Post a Comment