Kisah Sang Penulis [3]
Penulis: Barokah Ruziati
Dea menghela napas lega.
“Saya...,” dia terdiam sesaat, lalu dengan mantap melanjutkan, “tidak
punya, Bu.”
Sang penulis kembali memandang Dea dengan tatapan aneh. “Kamu lucu, Dea.
Wanita muda seusia kamu tidak mungkin tak punya kehidupan,” katanya. Tapi, tak
ada tawa dalam suaranya. “Ya, sudah, kasihan kamu sudah jauh-jauh kemari,”
sambungnya, sebelum Dea sempat menjawab lagi. “Sana masuk, tuang sendiri teh
manismu. Setelah itu kau boleh duduk di sini menemani saya.”
Kata-katanya adalah perintah dan Dea harus mematuhinya. Sesaat kemudian,
dia sudah duduk di samping sang penulis yang masih asyik membaca koran. Satu
menit, dua menit, Dea mengira keadaan ini akan berlangsung selamanya, ketika
tiba-tiba wanita itu bersuara. “Jauhkah rumahmu dari sini?”
Dea menatapnya bimbang. Dia tak yakin apakah ini pertanyaan basa-basi yang
harus ditanggapi dengan jawaban singkat, atau pertanyaan sungguhan yang
membutuhkan jawaban serius. Sang penulis mengangkat wajah dari koran yang
sedang dibacanya dan menatap Dea. Salah satu alisnya terangkat.
“Cukup jauh, Bu,” jawabnya, menunggu reaksi sang penulis. Dea lalu
melanjutkan, setelah melihat mata lawan bicaranya itu tetap tertuju padanya.
“Tapi, untungnya, hanya perlu naik bus satu kali dan angkot satu kali. Jadi
tidak melelahkan.”
Sang penulis mengangguk singkat, lalu kembali ke korannya.
Dea membulatkan tekad. “Saya kemari karena hari Minggu, lalu saya juga
kemari dan Ibu tidak bilang apa-apa,” katanya, seakan menuntut penjelasan.
Sang penulis melipat korannya perlahan kemudian menatapnya. “Ya, itu minggu
pertama kamu. Wajar kalau kamu datang terus, karena mungkin masih banyak yang
ingin kamu pelajari. Tapi... walaupun saya sangat terbantu oleh kamu, saya juga
tidak mau melihat kamu setiap hari di sini,” katanya.
Dea takjub. Baru kali ini sang penulis bicara lebih dari dua kalimat
padanya, dan tanpa nada perintah pula. Dia sama sekali tidak merasa tersinggung
dengan apa yang dikatakan penulis itu.
“Jadi, saya libur setiap hari Minggu?” tanyanya, memastikan.
Sang penulis mengangguk. “Saya rasa begitu. Kecuali kalau tiba-tiba saya
membutuhkanmu.”
Ganti Dea yang mengangguk. “Baiklah, Bu, kalau begitu saya pulang dulu.
Besok pagi saya datang lagi.”
Dea beranjak dari tempat duduknya dan berjalan ke arah pagar.
“Dea,” panggil penulis itu lagi. Dea membalikkan badan. “Saya senang Rani
memilih kamu,” katanya singkat, sambil membuka kembali korannya.
Dea tersenyum dan melanjutkan langkahnya. Saat menutup pin-tu pagar,
dipandanginya sosok tua yang tampak tegar sekaligus rapuh itu. Dia
bertanya-tanya dalam hati, apakah penulis terkenal itu pernah merasa kesepian.
Suara SMS masuk memecah keheningan kamar kos Dea. Dengan enggan dia meraih
ponselnya, sudah menduga siapa yang mengiriminya SMS malam-malam begini. Benar
saja. Dari Heni, adiknya semata wayang.
Bagaimana, Mbak, sudah lebih senang dengan pekerjaanmu?
Dea menjawab: Lumayan. Aku, sih, nggak mengeluh. Kamu masih rajin ke makam
Ibu, ‘kan?
Jawab Heni: Masih, Kak, sebisanya tiap minggu.
Dea merebahkan badan di kasur. Dia memikirkan adiknya yang kini hanya
berdua dengan ayahnya.
“Di sini ternyata nggak mudah cari kerja, Hen. Tapi, aku senang sudah ada
kesibukan. Memang gajinya tidak seberapa, tapi aku beruntung bisa mendapatkan
pekerjaan ini. Siapa tahu cita-citaku dulu bisa tercapai.”
Dea bicara seolah-olah adiknya sedang tidur-tiduran juga di sampingnya.
Sejujurnya, dia rindu mengobrol panjang lebar dengan adiknya, tanpa perlu takut
kehabisan pulsa. Dan, untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan di Jakarta,
Dea merasa kesepian.
Aku cepat-cepat berlari ke kamar. Tadi di sekolah Lingga mem-berikan
gulungan kertas padaku. Tapi, dia berpesan kalau aku harus membukanya di rumah,
jangan di hadapannya. Ah, Lingga, masih saja suka berahasia. Tak sabar kubuka
gulungan kertas tadi. Dan apa yang aku lihat membuatku terpana.
Seorang gadis berbaju putih, dengan rambut tergerai sebahu, sedang duduk di
tengah padang rumput berbunga. Wajahnya terlihat begitu lembut dan manis.
Matanya berbinar indah. Sekuntum bunga terselip di telinganya. Di kejauhan,
tampak istana berbentuk kastil yang megah.
Aku tak pernah menyangka Lingga bisa menggambar seindah ini. Dan apakah
gadis itu aku?
“Cantik sekali,” gumamku memuji diri sendiri. Di bawah gambar itu tertulis
‘Putri Ana’. Rasanya aku ingin menangis karena bahagia.
Aku akan memasang gambar ini di istana kita, Lingga. Ini gambar terindah
yang pernah aku lihat. Aku ingin diriku selamanya terlihat seperti gadis kecil
di dalam gambar itu. Tak sedetik pun pernah bertambah dewasa.
Beberapa hari ini Rani sering datang, mendiskusikan bab-bab yang sudah
selesai dikerjakan. Sering kali Rani terlibat perdebatan seru dengan sang
penulis tentang apa yang sebaiknya ditambahkan atau dikurangi dari ceritanya.
Dan Rani lebih sering mengalah, tentu saja. Karena, di tengah perdebatan, sang
penulis selalu mengingatkan bahwa dia sudah jauh lebih lama berkutat di dunia
penulisan dibandingkan Rani. Dia menghargai pendapat Rani, tapi jauh lebih
menghargai intuisinya sendiri.
Dea mengikuti perdebatan mereka dengan antusias. Dia merasa sangat terlibat
dalam penulisan buku ini. Dia terkekeh melihat Rani terdiam kesal setiap kali
sang penulis mengeluarkan jurus ‘aku lebih senior’-nya. Dan dia menahan senyum,
jika Rani berhasil menangkis jurus maut sang penulis dengan menunjukkan bahwa
buku-buku yang mendapat sentuhan tangan Rani terbukti menjadi lebih enak
dibaca. Dan sang penulis sudah mengakuinya sendiri lewat ucapan terima kasih di
bagian awal bukunya. Dea mengagumi semangat mereka. Dan ingin belajar banyak
dari mereka.
Hari ini tidak banyak yang harus diketiknya. Sang penulis tidak bercerita
sepanjang biasanya. Mungkin sedang lelah. Atau jenuh. Atau ingin santai
sejenak, pikir Dea mencoba memahami proses kreatif seorang penulis profesional.
Dea melongok ke luar ruang kerja. Sang penulis, tidak seperti biasanya,
sedang sibuk di dapur. Dan yang lebih tidak biasa lagi, dia bersenandung! Dea
tersenyum geli. Wah, sedang senang, nih, pikirnya. Tumben. Ya, sudah, biar
sajalah dia menikmati hari ini. Sebaiknya aku tak usah menanyakan apa lagi yang
harus dikerjakan. Nanti dia malah ngambek.
Dea kembali ke balik komputer. Dia mengeluarkan USB yang selalu dibawanya
ke mana pun dia pergi. Ditancapkannya benda mungil itu ke CPU komputer, lalu
dibukanya file-file tulisannya. Ada beberapa cerpen. Dan sebuah novel yang
sedang berusaha diselesaikannya. Setiap kali melihat novel belum jadi itu,
gairah Dea langsung tersulut. Tak lama kemudian, Dea pun sudah tenggelam dalam
kisah karangannya sendiri.
Entah sudah berapa lama berlalu, ketika tepukan pelan di bahunya membuat
Dea terlonjak kaget. Sang penulis sudah berdiri di belakangnya. Dea berusaha
setengah mati menutupi tulisan yang terpampang di layar komputer. Tapi,
sepertinya penulis itu tidak menaruh perhatian, karena matanya hanya terarah
pada Dea.
“Ayo, istirahat dulu. Aku baru selesai bikin kue. Kamu harus coba,”
katanya, sambil berjalan kembali ke dapur.
Dea baru menyadari aroma wangi yang menguar di seantero rumah.
“Hmm, kok, bisa-bisanya aku tidak sadar ada aroma sesedap ini, ya?”
tanyanya, pelan.
Dia langsung menutup pekerjaannya dan beringsut ke dapur.
Di meja makan terpajang tart bundar berwarna cokelat gelap, berhias krim
kocok putih yang dibentuk menjadi bunga-bunga kecil.
“Wow!” seru Dea, takjub. “Cantik sekali. Kue apa ini, Bu?”
“Kue Puspa Hati,” sahutnya, gembira melihat ekspresi di wajah Dea.
Dea tertawa. “Bagus sekali namanya. Memang mirip seperti bunga-bunga yang
Ibu pakai di rambut Ibu setiap hari,” balas Dea.
“Wah, betul juga kamu.”
“Ibu pakai bahan apa saja? Wanginya sedap sekali?” tanya Dea.
“Buah blueberry dari kebun Peri Berry, susu segar dari sapi yang
berkeliaran di padang rumputku, dan cokelat lezat dari pabrik Willy Wonka.”
sponsored by
0 comments:
Post a Comment