Kisah Sang Penulis [4]
Penulis: Barokah Ruziati
Dea tertawa lagi. Penulis tua ini memang penuh imajinasi. Dea juga tak
luput menyadari bahwa sekarang sang penulis sudah menggunakan kata ‘aku’ dan
bukan ‘saya’, untuk menyebut dirinya. Itu suatu kemajuan besar.
Mereka menghabiskan sore itu dengan makan kue dan mengobrol. Obrolan santai
pertama sejak mereka bertemu hampir 2 bulan yang lalu. Sang penulis bertanya
tentang keluarga, teman dan kota asal Dea. Lalu, menggodanya saat Dea dengan
jujur berkata bahwa dia tak punya kekasih.
Dea mendengarkan dengan tekun saat sang penulis bercerita tentang awal mula
dia menjadi penulis, buku-buku yang pernah dia tulis, dan berbagai pengalaman
seru yang mengiringi perjalanan kariernya. Dea menyadari dia sama sekali tak
pernah menyinggung kehidupan pribadinya. Seakan-akan dia adalah pribadi yang
tak pernah punya ikatan dengan sebuah kelompok bernama keluarga. Hanya kerja
dan karya yang membuat dia ada. Dan, Dea berusaha keras menahan diri untuk
tidak bertanya. Dia tak mau keingintahuannya merusak suasana akrab sore itu.
Berjam-jam kemudian, ketika Dea sudah bersiap terbang ke alam mimpi, dia
baru teringat USB-nya masih menempel di komputer sang penulis. Dan, komputernya
belum dia matikan. Dengan sepenuh jiwa Dea berharap, penulis itu tidak
melakukan hal-hal yang aneh malam ini. Seperti... ya, seperti membuka-buka
komputernya sendiri mungkin. Dea tahu itu pengharapan yang sangat tinggi. Tapi,
tidak ada lagi yang bisa dia lakukan. Dea pun tertidur dalam cemas.
“Rupanya kamu ingin jadi penulis? tanya wanita tua itu yang hari ini
berkemeja longgar putih berhias bordiran bunga.
Dea tak langsung menjawab. Tadi pagi saat dia datang, komputer sudah
dimatikan dan USB-nya tergeletak rapi di atas meja. Dia tahu harapannya tadi
malam tidak terkabul. Dea akhirnya mengangguk. Dia merasa bodoh jika menganggap
peristiwa tertinggalnya USB kemarin adalah suatu kesalahan. Semestinya dia
bersyukur karena pertanyaan itulah yang telah dia tunggu-tunggu, sejak pertama
kali mendapatkan pekerjaan ini. Dia ingin mendapat bimbingan dan pelajaran. Dia
berhasrat menjadi murid yang baik. Tapi, selama ini tak pernah ada kesempatan
untuk mengutarakan hal itu. Karena, hubungan di antara mereka hanya sebatas
pekerja dan pemberi kerja.
Sang penulis mengangguk-angguk dengan pandangan menerawang. Mereka baru
selesai makan siang, kegiatan yang sepertinya akan menjadi ritual mereka berdua
sejak saat ini. “Kamu tahu kamu tidak bisa kaya dengan jadi penulis, ujarnya,
pelan.
“Saya tahu. Tapi, kadang-kadang harta tak bisa membeli kebahagiaan. Semua
orang ingin mengejar kebahagiaan, termasuk saya.
“Apakah menurutmu saya bahagia? tukas sang penulis, tajam.
“Kenapa tidak? balas Dea.
“Lihat sekelilingmu. Dari semua hal yang menjadi ukuran kebahagiaan
seseorang, satu pun aku tidak punya. Suami, anak, rumah mewah, mobil mahal.
Apakah kau pernah melihatnya di sini? ujarnya.
“Ibu bebas. Itu kan juga ukuran kebahagiaan. Dan saya bisa melihatnya
setiap hari di rumah ini. Apakah Ibu akan lebih bahagia kalau punya suami yang
penuntut dan cemburuan? Anak yang manja dan menyusahkan? Rumah mewah yang
dingin dan kosong? Atau mobil mahal yang hanya menyumbang polusi di bumi yang
sudah terlalu panas ini? Menurutku, itu semua cuma status. Ibu tidak perlu
menyeret-nyeret status ke mana-mana dan itu yang membuat Ibu bebas.
Sang penulis menatap Dea tajam tanpa bersuara. Lalu tiba-tiba dia tertawa
terbahak-bahak. Tawa yang lepas dan renyah. Dea menatapnya keheranan. Setiap
hari selalu ada hal yang baru, batinnya. Dan hari ini untuk pertama kalinya Dea
bisa melihat sang penulis tertawa sebebas itu. Sulit dipercaya, tapi saat itu
dia tampak begitu muda dan tanpa beban. Dea terkesima melihatnya.
“Jawaban yang bagus, Dea, ucapnya susah payah, setelah tawanya mereda. Dia
mengusap air mata yang menitik di sudut matanya. “Kamu lucu, sambungnya, masih
sambil terkekeh.
Dea mau tak mau ikut tertawa, karena menurutnya penulis itulah yang lucu.
Menakjubkan betapa tawa sesaat bisa menyembunyikan jejak sang waktu pada diri
wanita tua itu.
“Lagi pula, Bu, kata Dea serius, setelah tawa mereka habis, “kalau saya
butuh uang, saya kan bisa nyambi jadi penulis sinetron. Saya de-ngar mereka
dibayar mahal sekali, apalagi kalau sinetronnya laris.
“Jadi penulis naskah sinetron? sergah sang penulis, tak percaya.
Dea sudah menduga reaksinya pasti seperti itu. “Memangnya kenapa? tanyanya
menantang.
“Sinetron ABG, religi, atau misteri? tanya sang penulis dengan geli. “Atau
kamu mau menulis sinetron berjudul Si Dea dan Centong Ajaib? Pasti rating-nya
jeblok, dia berkata, sembari menunjuk tangan Dea yang sedang sibuk memainkan
centong nasi.
Dea berhenti memainkan centong. Tawa mereka meledak lagi.
Aku tak mengerti kenapa Lingga sudah membuatku marah pagi-pagi begini.
Seharusnya ini menjadi hari yang menyenangkan. Hari ini aku berulang tahun.
Kata orang-orang usiaku kini 18 tahun. Tapi, usia sebanyak itu hanya berlaku di
luar sana. Di istana kami, usiaku tak pernah beranjak dari angka delapan.
Aku sudah menyiapkan kue dan minuman untuk kami berdua. Kue cokelat dengan
lilin angka 8 terpasang tegak di atasnya. Setiap tahun, Lingga selalu tertawa
geli melihat lilin itu. Tapi, dia tak pernah menegurku. Dia tidak menganggapku
aneh. Dia selalu memelukku dengan hangat dan berbisik di telingaku, “Selamat
ulang tahun kedelapan, Putri Ana.
Sejak dua tahun lalu, dia menambah ritual ucapan selamat itu dengan kecupan
lembut di keningku. Dan sentuhan baru itu membuat hari ulang tahunku makin
berkesan.
Namun, entah apa yang berubah kali ini. Kali ini Lingga tidak tertawa
melihat lilin di atas kue cokelatku. Dia malah mengerutkan kening dan
memandangku dengan tatapan kecewa.
“Kenapa Lingga? Kamu tidak mau mengucapkan selamat ulang tahun padaku?
tanyaku merajuk.
Lingga menghela napas. “Ana, kapan sandiwara ini akan berakhir?
“Apa maksudmu? tanyaku tak mengerti.
Lingga menarikku berdiri. Aku kira dia akan memelukku seperti biasa. Tapi
dia malah memutar tubuhku dan memaksaku melihat ke luar jendela. “Lihat, Ana,
tanah luas itu dulu tempat kita bermain dan berlarian dengan bebas. Sekarang
lihat, hampir tidak ada lagi tanah yang tersisa. Semua sudah habis untuk
perumahan. Dan pohon ini, pohon ini mungkin sebentar lagi akan ditebang dan
dijadikan kayu bakar. Akar-akarnya dicabut dan dibersihkan. Dan di atas tanah
yang sudah kosong itu mungkin akan dibangun sebuah rumah mungil yang akan
dihuni oleh sepasang suami-istri dan anak-anak mereka yang lucu-lucu.
Aku tidak mengerti apa yang dia ocehkan. Rumah mungil, suami, istri,
anak-anak? Aku menatapnya dengan pandangan penuh tanya.
Lingga mendesah. “Mengertikah kau, Ana, Dunia sudah berubah. Kita juga
berubah. Berubah, kau tahu arti kata itu, ‘kan? tanyanya, tak sabar.
Setelah terdiam beberapa saat, Lingga membulatkan tekad dan berbicara lagi
padaku. “Kau sudah bukan 8 tahun lagi. Usiamu 18 tahun. Hadapilah itu. Aku tahu
kau bisa. Kau tak perlu berpura-pura lagi. Aku akan tetap menyayangimu,
walaupun usiamu 18, 20, bahkan 50 tahun. Kau tahu itu.
Aku tak pernah berpura-pura, Lingga, ujarku dalam hati. Inilah diriku yang
sebenarnya. Ana yang kau lihat di luar sana, ah... aku tak tahu siapa dia.
Kenapa harus meributkannya? Tak bisakah kita bicara tentang sungai jernih yang
mengalirkan air semanis madu di belakang istana kita? Atau burung-burung cantik
berwarna hijau, biru, dan merah muda, yang tak pernah lalai bernyanyi di
jendela istana setiap hari?
Aku menatap gambar gadis kecil di padang rumput yang kami pasang di dinding
istana. Kertasnya mulai kusam, tapi aku bisa mengenali wajahku di situ. Kita
sudah berjanji tak akan pernah dewasa, gumamku.
Lingga mengikuti pandangan mataku dan kudengar helaan napasnya. “Banyak
yang harus kulakukan, Ana. Hidupku terlalu sederhana untuk semua omong kosong
ini. Adikku perlu sekolah dan makan, sementara aku tak bisa berharap banyak
dari ibuku. Sejak bapak pergi entah ke mana, kerjanya hanya melamun dan
menangis, katanya dengan suara tercekat.
Aku meraih tangannya dan memaksanya untuk menatapku. “Aku tahu, Lingga. Aku
tahu kau harus bekerja keras. Aku sangat mengerti, kataku dengan nada membujuk.
Lingga melepaskan genggaman tanganku. Dia menggelengkan kepala dan berkata
sedih, “Tidak, Ana, kau tidak mengerti.
Setelah mengatakan itu dia pergi. Aku memanggilnya. Berulang-ulang. Hingga
suaraku serak, mataku basah. Lingga yang dulu pasti langsung kembali, meminta
maaf, dan menggodaku sampai tangisku reda berganti tawa.
Tapi, kali ini tidak. Lingga yang ini tidak berusaha menghiburku.
0 comments:
Post a Comment