Kisah Sang Penulis [5]
Penulis: Barokah Ruziati
Ketika membuka pintu rumah, Dea sedikit kaget melihat penampilan sang
penulis hari ini. Kaus turtleneck putih lengan panjang, rok lebar motif retro
hitam putih, sabuk merah, dan sandal merah. Rambutnya disanggul di tengkuk dan
seperti biasa sekuntum bunga terselip di sanggulnya.
“Wah, cantik sekali Ibu hari ini. Mau ke mana?” tanya Dea ingin tahu.
Sang penulis yang tidak menyadari kedatangan Dea, langsung membalikkan
badan. Ketika melihat gadis itu, senyumnya pun mengembang. “Hari ini kita
libur, Dea,” katanya, ceria.
“Tapi, ini kan hari Sabtu, Bu,” kata Dea, mengingatkan.
“Aku tahu ini hari Sabtu, anak bandel, aku belum pikun,” sergahnya, kesal.
Dea tertawa. “Maksudku, hari ini aku mau mengajakmu jalan-jalan. Kamu pasti
bosan kan berbulan-bulan terkurung di rumah ini? Aku juga bosan. Makanya, hari
ini aku umumkan sebagai hari libur dan kita pergi jalan-jalan. Aku yang
traktir!”
Ajakannya lebih seperti perintah yang tak boleh ditolak. Tapi, Dea memang
tidak ingin menolaknya. Entah sudah berapa lama dia tidak bersenang-senang.
Selain karena harus menghemat uang, dia juga belum hafal betul kota ini. Malas
rasanya kalau setiap saat mesti bertanya pada orang lewat. Sudah beberapa kali
dia mendapat pengalaman tidak menyenangkan, ketika terpaksa harus bertanya pada
orang-orang di jalan. Ada yang memandang curiga, ada yang menggeleng tak acuh, bahkan
ada yang malah menggodanya. Ada juga yang baik, sih, tapi....
“Aduh, kamu itu terlalu banyak pikiran, ya. Diajak jalan-jalan, kok, malah
melamun,” kata sang penulis gemas, sambil mencubit pipi Dea.
Dea tersenyum malu. Dia ingin sekali jalan-jalan. Tapi, melihat sang
penulis berdandan dengan begitu modisnya, dia jadi tidak percaya diri. Dia
hanya memakai celana jeans lamanya dan kaus hijau tua polos.
“Tapi, Bu, pakaian saya seadanya begini. Ibu tidak bilang kalau mau
jalan-jalan,” katanya, setengah memprotes.
Sang penulis mengamatinya sejenak, lalu berkata, “Hei, pakaian itu kan cuma
status. Kamu sendiri yang bilang begitu. Jadi, sebenarnya apa bedanya kamu
pakai jeans kumal atau gaun sutra?” tanyanya, menggoda.
Dea hanya bisa tertawa. Lalu, dengan langkah ringan mengikuti sang penulis
yang sudah berjalan ke luar rumah. Tepat saat itu taksi yang dipesan sang
penulis tiba.
Siang itu mereka menonton film di bioskop, dilanjutkan dengan makan sore,
belanja buku, dan diakhiri dengan minum kopi di sebuah kafe. Seperti biasa,
sang penulis memesan kopi tubruk dengan sedikit gula. Dea yang tidak terlalu
suka kopi, memesan secangkir cokelat panas.
Obrolan mereka terhenti, ketika mereka merasa perlu mengomentari sepasang
anak muda di meja sudut kafe, yang kelihatannya sedang bertengkar. Tak lama
kemudian si wanita berdiri, lalu langsung berlari ke luar kafe. Kekasihnya
terbirit-birit mengejar dengan wajah memelas.
“Ah, anak-anak. Hidup ini dianggap seperti sinetron saja bagi mereka. Kalau
tidak suka, bisa take ulang atau diganti pemerannya. Mereka yakin banyak aktor
lain yang dengan senang hati mengisi tempat yang ditinggalkan pemeran
sebelumnya,” kata sang penulis, setengah melamun.
“Mungkin, itu gara-gara mereka kebanyakan nonton sinetron, Bu,” sahut Dea,
yang sedang tak ingin bicara serius.
“Ya, dan kamu malah mau menyumbang jadi penulis naskahnya!” sang penulis
membalas Dea dengan ledekannya yang mengena.
Mereka pun larut dalam tawa.
“Aku terkena kanker, Dea,” kata sang penulis tiba-tiba, tanpa mengubah nada
suaranya.
Dea mematung. Dia takut salah dengar. Wajah sang penulis tidak berubah,
semburat senyum masih tertinggal di bibirnya. Benarkah yang dia dengar tadi?
“Kamu tidak salah dengar,” ujarnya lembut, seakan membaca pikiran Dea.
“Kanker paru-paru.” Dia menambahkan keterangan itu, seolah Dea
membutuhkannya.
“Aku....” Dea tak tahu harus berkata apa.
Sang penulis mengangkat tangannya seraya tersenyum. “Kamu tidak perlu
mengatakan apa-apa. Aku tidak minta dihibur, kok. Aku sudah tahu apa yang ingin
kamu katakan dan aku tidak membutuhkannya. Aku hanya ingin kamu tahu saja,
supaya tidak kaget. Aku tidak mau jika suatu hari nanti kamu masuk ke rumahku
dan mendapati aku sudah tidak bernyawa, kamu malah kabur karena takut dituduh
membunuh. Padahal, aku memang sakit,” katanya, sambil terkekeh.
Dea merengut. Dia tidak menganggap ini sesuatu yang pantas ditertawakan.
Tega sekali dia mengumumkan sesuatu seperti itu, ketika Dea sedang tidak siap
sama sekali. Dea tak bisa mencegah ingatannya yang kembali melayang ke
almarhumah ibunya. Sungai duka itu mulai merambat lagi di sudut matanya.
“Hei,” panggil sang penulis seraya mengangkat dagu Dea. “Maaf, kalau
pemberitahuan ini begitu tiba-tiba. Tapi, percayalah, untuk hal-hal seperti
ini, kamu tak akan pernah siap,” katanya, bijak.
Dea tidak menjawab. Dia masih kesal.
“Sudahlah, Dea, jangan kamu rusak hari ini. Kita kan sedang
bersenang-senang,” bujuk sang penulis.
Dea masih diam.
“Inilah yang namanya hidup. Kamu seharusnya tahu, hidup tidak selalu berisi
kisah bahagia.” Melihat Dea bergeming, sang penulis tak melanjutkan
kata-katanya.
Dea ingin marah, tapi dia tahu tidak pada tempatnya dia berbuat begitu. Dia
sadar, bagi penderita kanker paru-paru, waktu adalah benda paling berharga,
karena usia mereka sudah digariskan tidak akan bertahan lama. Dan, jika sang
penulis ingin dia melupakan penyakitnya, Dea tidak punya hak untuk
menghancurkan keinginan itu. Biarlah pemberitahuan mengejutkan itu dia simpan
di laci terbawah dari lemari ingatannya, dia kunci rapat, lalu dia buang
kuncinya.
Setelah beberapa saat, Dea menghela napas panjang dan terlihat mulai
tenang.
Sang penulis mengangkat wajah dan pandangan mereka berserobok. “Kau sudah
tidak apa-apa, Dea?” tanyanya, hati-hati.
Dea mengangguk. “Tapi, lain kali, Ibu harus memberi peringatan dulu sebelum
mengatakan sesuatu yang mengejutkan seperti tadi. Bagaimanapun, hidup ini perlu
persiapan, Bu,” kata Dea, dengan nada merajuk.
0 comments:
Post a Comment