Mass in B Minor
Deasy Tirayoh
NAZ menyusuri koridor rumah sakit dengan sebuket laven-
der.
“Saat aku marah pada masa lalu apakah ada harga yang harus kubayar?” tanya Pay.
Naz tak lantas menimpali. Lavender dimasukkannya ke vas.
“Kau marah pada masa lalu?” Naz bertanya balik. Pay berge-
ming menerjemah kepahitannya sendiri.
“Kau pernah mendengar musik yang menghisapmu jadi nada-
nada?”
“Aku mendengar lagu sambil menyeduh kopi, apa itu tidak
sama?”
“Kita membicarakan musik dan kenangan Naz, tapi kau boleh
saja menyelipkan kopi sebagai pemanis.” Mereka bertukar kerling
untuk selera humor masing-masing.
Di Avignon, sebelah selatan Perancis. Pay kecil yang yatim ke-
rap tertidur sendirian diiring musik terputar berulang sampai derit
pintu berbunyi kemudian telunjuk ibunya memencet tombol off di
kisaran jam dua pagi. Pay fasih bercerita dengan mata sesekali ter-
tunduk. Naz menyimak dengan tekun.
“Mau aku putarkan sebuah instrumen klasik Pay? Aku punya
di i-pod.” Pay menggeleng malas.
“Berapa umurmu saat kita pertama bertemu Naz?”
“16 sepertinya.”
“Kau gadis periang yang tersenyum bahkan saat kau telah sa-
ngat terlambat.”
“Aku suka tersenyum.”
Dan senyummu mengingatkanku padanya. Benak Pay.
“Kau ingat apa yang kita bicarakan saat itu?”
“Tentang kematian, kau menyebut kota hujan sebagai pela-
buhan jasadmu.”
“Ya aku mengingatnya, aku masih segemuk labu saat itu.”
“Ayo tersenyumlah.”
“Nanti kau harus pergi ke Avignon Naz. Aku akan memasak
ratattuille spesial untukmu di sana.”
“Dan aku harus membayar mahal untuk itu.”
Pay berseringai. Pada wajahnya bermunculan kenangan Avig-
non manakala mewartakannya pada Naz yang menyimak. Satu jam
lekas berlalu.
“Kuharap kau tak lagi membenci masa lalu, aku ingin mende-
ngarmu menceritakan hal lain besok, kisah cinta misalnya.” Naz
melambai dengan senyuman.
Senyumanmu persis dengannya. Pay membatin lantas berpa-
ling pada bunga lavender pemberian Naz. Jauh sebelum Indonesia
mengenalkannya pada sosok periang itu, lavender telah tumbuh
apik di taman Avignon. Pay juga mengenali lavender dari wangi
ibunya sebagai feromon yang hidup di ingatan. Begitu pula tenta-
ng wangi tubuh Luna yang pertama kali ditemuinya di jembatan
Pont d’Avignon nan jaya. Pay berdiri menunggu teman sedang Lu-
na terpisah dari rombongan wisata. Tetapi mereka lupa bertukar
nama.
Lalu, festival seni tahunan di pertengahan Juli mempertemu-
kan kembali. Luna, penari tamu yang punya senyuman indah mun-
cul di Avignon. Pay seorang chef di restoran La Cuisine du Dimance, restoran tersohor di kalangan turis. Siang itu, seakan takdir meluangkan kesempatan, Luna memasuki restoran dan duduk menghadap jendela. Pay bergegas menyapa.
“Kami punya menu istimewa untuk perempuan cantik dari
kota hujan.” Luna terkejut.
“Kau? Akhirnya aku menemukanmu di sini.”
“Aku chef di sini, kau mencariku?”
“Salah satu alasanku ke Avignon adalah menagih sesuatu pa-
damu.”
“Apa itu?”
“Namamu, karena kita berpisah begitu saja di tepi sungai La
Rhoene.”
Pertemuan kedua namun perkenalan pertama, dan harus di-
rayakan dengan gemilang. Maka Pay memasak khusus, Noix de St
Jacques tersaji dengan sayur sesuai musim adalah sajian paling wahid di Avignon.
“Tulislah tentang Palais des Papes, sebagai salah satu yang
megah dan penting dalam sejarah kekristenan di Eropa,” tegur
Pay. Luna tersentak hingga menjatuhkan buku diary dari pangku-
an. Ditengoknya jam lalu melirik pada Pay yang masih berseragam
chef.
“Siang ini, aku ingin menghabiskan waktu denganmu.”
“Pekerjaanmu? Apa kau meninggalkan banyak menu di atas
nyala kompor?”
“Nyaris seluruh waktuku disita oleh onion soup dan beef
bourbignon, kau tak ingin aku mati kesepian di dapur dengan pa-
kaian ini kan?”
“Jangan, kau harus ke kota hujan dan mati di sisiku.”
Mereka tertawa. Nampak mata Pay menikmati cara Luna ter-
tawa, keseluruhan dari perempuan itu adalah keindahan dan Pay
rela mati di sisinya. Di kota hujan yang jauh sekalipun.
“Kau menulis?”
“Apa kau ingin ada dalam tulisanku Pay?” Lengkung alis Luna
menanti jawaban.
“Tentu, tulislah tentang lelaki Avignon bermata biru.”
“Menarik.”
“Jam berapa pertunjukanmu sebentar malam?”
“Delapan.”
“Apa aku boleh ada di studio ini?”
“Asalkan kau tak keberatan dengan aroma keringatku Pay.”
“Kecuali kau memprotes aroma rosemery dan tarragon di se-
kujur tubuhku.”
KEMUDIAN, pada pukul delapan malam Pay ada di antara pe-
nonton yang terpukau. Seusai acara mereka berjalan kaki menik-
mati angin laut mediteran yang mengepung Avignon, udara malam
menginisiatif Pay membuka jasnya, menyelimuti pundak Luna yang terbuka. Pundak sekal dengan ulir elok, memukau, serupa sinar bulan di langit Perancis. Di depan museum Lee Muse Calvet nan megah, kokoh temboknya jadi saksi bisu, saat pertama kali Pay mencium Luna dengan mesra.
UNTUK sampai ke Jakarta, Naz naik kereta dari Bogor. Biasa-
nya di peron ini dia akan bertemu Pay, lelaki tua dengan roman Pe-
rancis. Mereka punya mata yang sama indahnya. Ibunya hanya per
nah bercerita bagaimana Naz bisa bermata biru, itu kau peroleh
dari Eropa. Tetapi ayah Naz pribumi. Ayah yang punggungnya dite
lan pintu ketika Naz masih kecil, kemudian dia tak menemukannya
lagi hingga ibunya bercerita tentang perceraian dengan air muka
yang dingin.
Suster baru saja mengantar sarapan saat suara langkah Naz
memecah suasana.
“Kupikir kau tak akan datang.”
Naz meletakkan bungkusan di sebelah bunga Lavender.
“Hari ini aku membawakanmu buku dan kaset.”
“Apa kau menyuruhku membaca dongeng?”
“Kau terlalu tua untuk itu, kubawakan buku tentang kota hu-
jan kau pasti akan tergila-gila membacanya.”
“Kau mengejekku dengan sangat sopan Naz.”
“Aku ingin megajakmu ke suatu tempat jika kau sembuh.”
“Kemana?”
“Pastinya bukan ke Perancis”
“Lalu?”
“Mengunjungi ibuku.”
Pay tertegun, karena Naz menerimanya sebagai bagian dari
orang terdekat. Bersahabat dengan gadis periang adalah anugerah
terberi setelah bertahun nihil menemu jejak Luna.
“Kau punya ibu?”
“Aku tidak turun dari langit Pay!”
“Haha. Maksudku kau bahkan tak pernah bercerita tentang-
nya.”
Naz tak pernah bercerita tentang ibunya karena ia tak punya
alasan menceritakannya, kecuali Pay bertanya.
“Kau akan kuajak menemuinya yang berulang tahun.”
“Aku ingin segera sembuh karena itu.”
“Kau punya kisah apa hari ini? Bagaimana kalau tentang ibu-
mu Pay?”
“Tentu saja ada banyak hal yang bisa kuceritakan. Ibuku
meninggal dalam sebuah kecelakaan saat perjalanan ke gereja.”
“Kematian punya ragam cara, kurasa ibumu sudah lelap de-
ngan damai Pay.”
“Amin, betapapun dia menaklukkan luasnya hidup, dia selalu
ingin berakhir di jalan yang terberkati. Perjalanan ke gereja adalah
niat yang kurang lebih sama dengan harapannya.”
“Lantas kau sendiri, apa menariknya jika mati di kota hujan?”
“Karena seorang perempuan.”
“Istrimu? Anakmu?” Pay menggeleng dua kali.
“Ceritakan aku tentang dia.”
Bertahun silam, dia kutemui di Perancis, perempuan Indone-
sia yang membuatku datang ke sini. Dia memang tak menjanjikan
apa-apa saat kami berpisah, aku putuskan menunggunya kembali
ke festival tahunan. Bertahun-tahun, setiap Juli kumenunggu di
jembatan yang sama, namun dia tak datang. Kemudian kumenikah
dan gagal karena ketidakcocokan. Harusnya aku patah hati untuk
itu, tetapi tak seberapa nyeri ketimbang perpisahanku dengan pe-
rempuan dari kota hujan.
Kontrak kerja kuperoleh, sebuah hotel di Indonesia membu-
tuhkanku sebagai executive chef. Kukira itulah jalan menemukan
hatiku kembali. Tapi mungkin saja kekeliruanku adalah dalam ber
upaya bersikap rasional. Karena dalam perasaan sengit di bawah
sadar aku justru sedang membuka gerbang kekecewaanku pelan-
pelan. Awalnya kutinggal di Jakarta, dengan perasaan yang belum
tenteram karena jejak perempuan hujan nihil. Maka kupindah ke
Bogor, untuk alasan yang lagi-lagi tak logis. Bagaimana mungkin
aku rela menempuh jarak lebih jauh agar bisa tinggal di kota hujan?
Lalu kau ada di stasiun kereta itu Naz. Pada suatu pagi yang ti-
dak terlalu tergesa, kau membaca buku sambil bersandar di peron.
Kuingat hal itu dengan jelas sebab kau jadi replika dari sosok yang
kucari, hanya saja kau jauh lebih muda.
Naz terperangah, tidak bertanya apa-apa. Ada ngilu bersilang
sengkarut dalam pikiran. Selanjutnya, Naz cuma mengingatkan
soal bungkusan yang diletakkan dekat bunga.
Hal yang disukai Pay dari Bogor yaitu menghirup wangi sisa
hujan. Pay duduk di tepi ranjang. Bungkusan dari Naz masih rapi. Di bawah lampu meja, tangan Pay tekun membuka. Jembatan di Ba
wah Purnama di sampul bercorak malam yang menampilkan Pont
d’ Avignon sebagai latar, Pendar Bulan nama penulisnya. Pay terpa
ku dengan pundak kebas. Satu benda lain yang sejurus menguras
penasarannya, kaset dari Naz.
Ada rasa tercekat ketika kaset yang dibukanya adalah lagu
klasik yang membuatnya terhisap pada masa ibunya bekerja hing-
ga larut malam dan meninggalkannya bersama lantunan musik.
Musik yang sama saat tubuh indah Luna terbaring di pelukannya.
MASS IN B MINOR dari J SEBASTIAN BACH
“Tolong kau jelaskan apa artinya semua ini Naz?”
“Besok pagi kau kujemput, kita akan pergi mengunjunginya.”
Telepon ditutup dan menyisakan denyut panjang.
Untuk sesaat bahkan seabad, Pay hanya ingin mematung gu-
na merunut makna dari pola yang dibentuk waktu, seketika gigil
merambati pijakan kaki tanpa pilihan yang bisa mendorongnya un-
tuk tidak percaya. Sebuah epitaf mengukir nama itu: Luna Caha-
yani.
“Ibu menulis novel saat tidak menari lagi karena terserang
kanker tulang. Dan untuk hidupnya yang singkat diapun menulis.
Dia ingin bercerita bahwa Perancis telah menjadi catatan ter-
indah.” Naz menabur bunga ke pusara.
“Pendar Bulan?”
“Itu nama pena.”
“Kau sudah tahu sejak awal?”
“Tidak, sampai kau bercerita di rumah sakit. Sepanjang jalan
pulang aku memikirkan kisahmu yang punya benang merah de-
ngan novel ibu. Sekarang aku tahu darimana mata biru ini kuper-
oleh.”
“Ya tentu saja itu dari Perancis.”
Pay memeluk tubuh Naz, memeluk seluruh yang dihadiahkan
waktu.
“Saat aku marah pada masa lalu apa ada harga yang harus ku-
bayar Naz?”
“Ada.”
“Berapa?”
“Seumur sisa hidupmu akan kau habiskan di kota hujan seba-
gai ayahku.” [*]
sponsored by
0 comments:
Post a Comment