Noriyu
Kurnia Effendi
Sumber: Koran Tempo, Edisi 10/02/2005 AKU membuka pintu sebelum ia mendaki tangga teras
dan mengetuk bidang kayu warna coklat tua. Ia terpana di
tanah berumput, memandangku dengan mata tak berkedip.
Celana krem dengan blus-kaus warna putih yang memiliki
bordir di bagian belahan dada terlampau kontras dengan
langit kelabu yang melatarinya.
Lalu turunlah hujan.
Air yang tumpah dari langit tidak membuatnya beranjak
dari tempat semula. Tidak tampak mengejutkannya, seperti
telah diperkirakan dengan akurasi detik, bahwa mendung
di atas kepalanya akan berubah menjadi hujan. Wajahnya
sebentar tengadah dan berjuta titik air menyiramnya.
Rambutnya seketika basah. Juga pakaiannya.
"Ayo, naiklah!" kataku. Aku berdiri di tengah sepasang
pintu yang terbuka lebar. Ada hembusan angin basah yang
bertemperasan menempuh tubuhku.
"Kamu ingin aku naik ke beranda?" Ia bertanya seperti
tak yakin.
"Salah. Kamu yang ingin naik, dan aku
mengingatkanmu."
Kedua alisnya hampir bertaut. Wajahnya yang diguyur
hujan tampak lucu. Menggemaskan.
Ia tidak mencoba bertahan dengan berbagai alasan.
Kakinya, mulai dari yang kanan, sebagaimana diajarkan
oleh orang tuanya sejak masa kanak-kanak, menginjak
tangga pertama. (Oh ya, sekarang dia berusia dua puluh
tujuh tahun. Tapi buah dadanya cukup memprihatinkan: tak
melampui besar buah apel). Kaki kirinya menginjak tangga
kedua. Dan seterusnya. Sampai ia berdiri hanya beberapa
sentimeter di depanku. Selain aroma hujan, ada wangi
yang kuhirup dari parfum yang mungkin tetap lekat di serat
pakaiannya.
"Namaku Noriyu," ia memperkenalkan diri.
"Aku sudah tahu."
"Maksudmu?"
"Aku sudah tahu namamu Noriyu."
Kembali sepasang alisnya hendak bertaut tanda
sejumlah pertanyaan terhimpun di keningnya. Tapi
kemudian ia tersenyum. Kurasa, ia termasuk perempuan
yang tak terlalu memikirkan muslihat lawan bicaranya. Ia
bisa saja menganggapku seorang Picasso, yang selalu
berucap, "Hai, aku sudah mengenalmu sejak sebelum
kamu dilahirkan…" kepada setiap perempuan cantik yang
menarik minatnya untuk jatuh cinta.
"Bagaimana kini rupaku?" Dia, Noriyu, mengangkat
wajahnya menatapku lurus, memperlihatkan seluruh paras
yang kuyup oleh hujan.
"Ternyata kamu tak berhasil menjadi buruk," kataku
sejujurnya.
"Maksudmu?"
"Ternyata kamu tetap cantik. Bahkan lebih
menggemaskan dalam keadaan seperti itu. Jika tidak ingin
disebut menggairahkan."
Ia mengumpat perlahan. Seperti seseorang yang
kecewa. Tapi aku tidak menyesal telah mengucapkan
pendapatku itu. Aku tak pernah berdusta. Bahkan dalam
keadaan terpaksa sekalipun.
"Sebaiknya kamu menangis seperti orang lain
menangis ketika berduka. Lakukan seperti seseorang
yang baru saja kehilangan sesuatu." Saranku. "Kenapa
mesti ditahan dalam dadamu yang rapuh?"
"Kenapa kamu mengejekku?" Ia mendorong dadaku
dengan tangannya yang juga basah. Lalu ia masuk ke
dalam rumah. Lantai ruang tamu segera dihiasi genangan
oleh tetes-tetes air dari tubuhnya.
"Kamu tak ingin melepas sepatumu? Kamu pasti
merasa sayang jika sepatu itu rusak. Ada kenangan
tersimpan di sana, yang akan mengingatkanmu pada
Bandung. Dan…"
"Diaaaam!" Noriyu menjerit dan matanya menyorot
tajam kepadaku. "Dari mana kamu tahu semua itu?"
Aku diam saja. Dengan cara itu, aku tahu, Noriyu tidak
akan melanjutkan kegeramannya. Dan seperti yang
kusarankan, ia melangkah ke sebuah sofa. Duduk tanpa
perduli pada air yang akan rembes ke bahan berpori yang
membungkus busa kualitas tinggi itu. Benar, dia menangis.
Kulihat dadanya naik-turun, bagai ada pompa yang bekerja
di dalamnya, berusaha meniup sepasang balon yang
terbalut blus-kaus itu, tapi tak pernah berhasil membuat
mereka menggelembung.
Tumit kirinya mencoba melepas sepatu di kaki kanan,
lalu ujung ibu jari kaki kanannya melepaskan sepatu yang
kiri. Kini sepasang kakinya telanjang. Bagian bawah setiap
jarinya mulai keriput oleh dingin air yang sempat
merendamnya beberapa saat.
Hujan masih membuat lukisan garis pada bingkai
jendela. Kadang-kadang berhias petir. Tapi tentu ledakan
perasaan sedih jauh lebih kuat di dada Noriyu. Yang kini
dialirkan melalui air mata. Meski sulit dibedakan, mana
yang terbit dari sudut mata, dan mana yang bersumber dari
ujung-ujung rambut basahnya di pelipis.
"Sebaiknya kamu tulis seluruh perasaanmu. Selain
akan membuatmu menjadi lega, kamu melahirkan satu
kisah lagi yang dapat dibagikan kepada teman-
temanmu…"
Kata-kataku terhenti oleh pandangan matanya yang
tajam. Tangannya menyeka pipi dengan kasar. "Kamu
ingin aku menulis sebuah kekecewaan yang mendalam?"
Aku menggeleng. "Aku hanya mengingatkan. Sejak
kamu berjalan dari plaza itu, sudah tumbuh keinginanmu
untuk menulis. Dengan segera melakukannya, gumpalan
yang menyesaki rongga dadamu itu akan mencair, bahkan
mungkin menguap."
Sepasang tangannya tiba-tiba menutupi wajahnya. Dan
aku tahu, dari sela-sela jemari kurus itu mengalir air mata.
Aku membiarkan kemarahan yang memadat itu terurai.
Dengan cara itu, senyumnya akan lekas kembali.
Beberapa menit kemudian Noriyu berdiri. Ia tahu,
dengan membiarkan tidak mengganti pakaian, tentu akan
masuk angin. Urusan bakal memanjang dan lebih tidak
nyaman. Tapi ia masih cukup perduli dengan daya tahan
tubuhnya yang terlukis melalui semua ukuran minimum.
Sebelum ia melangkah, ia memandangku. "Apa lagi
yang hendak kamu katakan?"
Aku tersenyum. "Mandilah dengan air hangat. Lalu
menyeduh segelas susu. Itu akan…"
"… memulihkan tenaga dan menghindari penyakit yang
tidak perlu terjadi." Noriyu melanjutkan. "Itu aku tahu,
karena aku dokter!"
Aku tidak membantah. Percuma. Aku hanya ingin
menjadi sahabatnya. Yang hadir di saat dia membutuhkan.
Untuk melipur perasaannya yang terluka. Menjahit hatinya
yang robek. Tapi, entahlah. Apakah kali ini berhasil?
Walaupun ia seorang dokter, bukan berarti hatinya terbuat
dari aluminium.
Sehabis mandi dan meneguk kopi hangat (ternyata
bukan susu hangat) dari cangkir keramik, yang tampak
terlalu pekat, Noriyu menyalakan komputer. Ia membiarkan
cahaya lampu hanya menyala untuk keyboard yang mulai
diraba oleh jari-jari kurusnya. Ah, kenapa ia tidak mencoba
sedikit rakus saat makan siang, agar lengannya lebih
berisi? Rasanya sangat sulit. Jika kubujuk, tentu akan
pecah pertengkaran yang ujungnya justru tidak mau makan
sama sekali, kecuali mengunyah mangga muda atau
sebutir buah pir.
"Mulailah dengan umpatan, agar perasaanmu puas.
Setelah amarahmu reda, kata-kata awal itu boleh kamu
ganti…"
"Kenapa kamu mengajariku?" Noriyu meradang. "Aku
tahu bagaimana aku harus menulis. Kamu pikir aku
siapa?"
"Siapa yang mengajarimu? Aku hanya mengingatkan."
Tangan Noriyu terangkat dari keyboard. Merajuk.
"Mungkin sebaiknya kamu saja yang menulis. Bukankah itu
lebih meringankan bebanku?"
"Apakah benar kamu setuju? Apakah kamu ingin aku
menceritakan semuanya tanpa satu adegan pun
terlewatkan?" Aku memancing.
"Terserah apa maumu!"
"Sejak kamu duduk di kafe itu menunggu
kedatangannya? Atau langsung dari setiap jalan pikirannya
yang mulai tidak kamu pahami dan menerbitkan
perdebatan sengit?"
Air mata perlahan-lahan meleleh ke pipinya. Ke pipi
Noriyu yang mulai cekung, padahal pagi tadi masih tampak
bulat.
"Atau diawali dengan selera makanmu yang hilang?
Atau agar lebih menarik, justru dibuka dengan kejadian
ketika kamu meletakkan bingkisan yang sedianya kamu
serahkan secara manis, tapi berubah dengan - bahkan -
melepas cincinmu? Ya, persis sebelum kemudian kamu
dengan setengah berlari meninggalkan kafe…"
Sepasang tangan Noriyu kini menutup telinganya.
Matanya terpejam, seperti yakin pelupuk yang terkatup itu
sanggup menahan gempuran luar biasa yang datang dari
dalam hatinya. Lalu ia berteriak: "Diaaaaam!"
Aku pun terdiam. Namun suasana tidak sungguh-
sungguh sepi, karena masih terdengar desis gerimis di
luar rumah. Warna langit putih tua. Pada warna serupa itu,
waktu tak dapat dibaca dengan cermat: masih siang atau
sudah sorekah?
"Siapa sebenarnya kamu?" tanya Noriyu lantang. "Dan
apa maumu?"
Aku tersenyum sabar. "Aku hanya ingin menjadi
sahabatmu. Aku akan menghalau seluruh temperamenmu
yang hanya akan membuatmu putus asa. Aku akan
menjaga perasaanmu yang paling rapuh."
Noriyu menggeleng. "Aku tidak mengerti…"
"Sesungguhnya kamu mengerti. Kamu tahu. Seperti
aku tahu siapa kamu sesungguhnya."
"Siapa namamu?"
"Kamu bisa memberi nama siapa pun untukku."
Noriyu terdiam. Ia memandangku demikian cermat.
Lalu terdengar suaranya perlahan, pertanda emosinya
reda. "Kamu laki-laki atau perempuan?"
Aku tidak menjawab. Karena aku tahu, Noriyu pasti
tahu, aku laki-laki atau perempuan. Dia sangat tahu, aku
adalah bagian dirinya yang memisahkan diri saat
perasaan kecewa, sedih, marah, atau kehilangan sedang
meremas hatinya. Aku yakin dia tahu.
***
(untuk Nova Riyanti Yusuf)
Jakarta, 23 September 2005, 22.00 -23.54
Keterangan Sriti.com : Cerpen dikirim melalui surat
elektronik dari pengarang bersangkutan
0 comments:
Post a Comment