Noriyu

by 10:18 PM 0 comments
Noriyu
Kurnia Effendi 
    Sumber: Koran Tempo, Edisi 10/02/2005 



    AKU membuka pintu sebelum ia mendaki tangga teras 
dan mengetuk bidang kayu warna coklat tua. Ia terpana di 
tanah berumput, memandangku dengan mata tak berkedip. 
Celana krem dengan blus-kaus warna putih yang memiliki 
bordir di bagian belahan dada terlampau kontras dengan 
langit kelabu yang melatarinya. 

    Lalu turunlah hujan. 
    Air yang tumpah dari langit tidak membuatnya beranjak 
dari tempat semula. Tidak tampak mengejutkannya, seperti 
telah diperkirakan dengan akurasi detik, bahwa mendung 
di atas kepalanya akan berubah menjadi hujan. Wajahnya 
sebentar tengadah dan berjuta titik air menyiramnya. 
Rambutnya seketika basah. Juga pakaiannya. 
    "Ayo, naiklah!" kataku. Aku berdiri di tengah sepasang 
pintu yang terbuka lebar. Ada hembusan angin basah yang 
bertemperasan menempuh tubuhku. 
    "Kamu ingin aku naik ke beranda?" Ia bertanya seperti 
tak yakin. 
    "Salah. Kamu yang ingin naik, dan aku 
mengingatkanmu." 
    Kedua alisnya hampir bertaut. Wajahnya yang diguyur 
hujan tampak lucu. Menggemaskan. 
    Ia tidak mencoba bertahan dengan berbagai alasan. 
Kakinya, mulai dari yang kanan, sebagaimana diajarkan 
oleh orang tuanya sejak masa kanak-kanak, menginjak 
tangga pertama. (Oh ya, sekarang dia berusia dua puluh 
tujuh tahun. Tapi buah dadanya cukup memprihatinkan: tak 
 melampui besar buah apel). Kaki kirinya menginjak tangga 
kedua. Dan seterusnya. Sampai ia berdiri hanya beberapa 
sentimeter di depanku. Selain aroma hujan, ada wangi 
yang kuhirup dari parfum yang mungkin tetap lekat di serat 
pakaiannya. 
    "Namaku Noriyu," ia memperkenalkan diri. 
    "Aku sudah tahu." 
    "Maksudmu?" 
    "Aku sudah tahu namamu Noriyu." 
    Kembali sepasang alisnya hendak bertaut tanda 
sejumlah pertanyaan terhimpun di keningnya. Tapi 
kemudian ia tersenyum. Kurasa, ia termasuk perempuan 
yang tak terlalu memikirkan muslihat lawan bicaranya. Ia 
bisa saja menganggapku seorang Picasso, yang selalu 
berucap, "Hai, aku sudah mengenalmu sejak sebelum 
kamu dilahirkan…" kepada setiap perempuan cantik yang 
menarik minatnya untuk jatuh cinta. 
    "Bagaimana kini rupaku?" Dia, Noriyu, mengangkat 
wajahnya menatapku lurus, memperlihatkan seluruh paras 
yang kuyup oleh hujan. 
    "Ternyata kamu tak berhasil menjadi buruk," kataku 
sejujurnya. 
    "Maksudmu?" 
    "Ternyata kamu tetap cantik. Bahkan lebih 
menggemaskan dalam keadaan seperti itu. Jika tidak ingin 
disebut menggairahkan." 
    Ia mengumpat perlahan. Seperti seseorang yang 
kecewa. Tapi aku tidak menyesal telah mengucapkan 
pendapatku itu. Aku tak pernah berdusta. Bahkan dalam 
 keadaan terpaksa sekalipun. 
     "Sebaiknya kamu menangis seperti orang lain 
menangis ketika berduka. Lakukan seperti seseorang 
yang baru saja kehilangan sesuatu." Saranku. "Kenapa 
mesti ditahan dalam dadamu yang rapuh?" 
     "Kenapa kamu mengejekku?" Ia mendorong dadaku 
dengan tangannya yang juga basah. Lalu ia masuk ke 
dalam rumah. Lantai ruang tamu segera dihiasi genangan 
oleh tetes-tetes air dari tubuhnya. 
     "Kamu tak ingin melepas sepatumu? Kamu pasti 
merasa sayang jika sepatu itu rusak. Ada kenangan 
tersimpan di sana, yang akan mengingatkanmu pada 
Bandung. Dan…" 
     "Diaaaam!" Noriyu menjerit dan matanya menyorot 
tajam kepadaku. "Dari mana kamu tahu semua itu?" 
     Aku diam saja. Dengan cara itu, aku tahu, Noriyu tidak 
akan melanjutkan kegeramannya. Dan seperti yang 
kusarankan, ia melangkah ke sebuah sofa. Duduk tanpa 
perduli pada air yang akan rembes ke bahan berpori yang 
membungkus busa kualitas tinggi itu. Benar, dia menangis. 
Kulihat dadanya naik-turun, bagai ada pompa yang bekerja 
di dalamnya, berusaha meniup sepasang balon yang 
terbalut blus-kaus itu, tapi tak pernah berhasil membuat 
mereka menggelembung. 
     Tumit kirinya mencoba melepas sepatu di kaki kanan, 
lalu ujung ibu jari kaki kanannya melepaskan sepatu yang 
kiri. Kini sepasang kakinya telanjang. Bagian bawah setiap 
jarinya mulai keriput oleh dingin air yang sempat 
merendamnya beberapa saat. 
     Hujan masih membuat lukisan garis pada bingkai 
jendela. Kadang-kadang berhias petir. Tapi tentu ledakan 
perasaan sedih jauh lebih kuat di dada Noriyu. Yang kini 
dialirkan melalui air mata. Meski sulit dibedakan, mana 
yang terbit dari sudut mata, dan mana yang bersumber dari 
ujung-ujung rambut basahnya di pelipis. 
    "Sebaiknya kamu tulis seluruh perasaanmu. Selain 
akan membuatmu menjadi lega, kamu melahirkan satu 
kisah lagi yang dapat dibagikan kepada teman- 
temanmu…" 
    Kata-kataku terhenti oleh pandangan matanya yang 
tajam. Tangannya menyeka pipi dengan kasar. "Kamu 
ingin aku menulis sebuah kekecewaan yang mendalam?" 
    Aku menggeleng. "Aku hanya mengingatkan. Sejak 
kamu berjalan dari plaza itu, sudah tumbuh keinginanmu 
untuk menulis. Dengan segera melakukannya, gumpalan 
yang menyesaki rongga dadamu itu akan mencair, bahkan 
mungkin menguap." 
    Sepasang tangannya tiba-tiba menutupi wajahnya. Dan 
aku tahu, dari sela-sela jemari kurus itu mengalir air mata. 
Aku membiarkan kemarahan yang memadat itu terurai. 
Dengan cara itu, senyumnya akan lekas kembali. 
    Beberapa menit kemudian Noriyu berdiri. Ia tahu, 
dengan membiarkan tidak mengganti pakaian, tentu akan 
masuk angin. Urusan bakal memanjang dan lebih tidak 
nyaman. Tapi ia masih cukup perduli dengan daya tahan 
tubuhnya yang terlukis melalui semua ukuran minimum. 
    Sebelum ia melangkah, ia memandangku. "Apa lagi 
yang hendak kamu katakan?" 
     Aku tersenyum. "Mandilah dengan air hangat. Lalu 
menyeduh segelas susu. Itu akan…" 
    "… memulihkan tenaga dan menghindari penyakit yang 
tidak perlu terjadi." Noriyu melanjutkan. "Itu aku tahu, 
karena aku dokter!" 
    Aku tidak membantah. Percuma. Aku hanya ingin 
menjadi sahabatnya. Yang hadir di saat dia membutuhkan. 
Untuk melipur perasaannya yang terluka. Menjahit hatinya 
yang robek. Tapi, entahlah. Apakah kali ini berhasil? 
Walaupun ia seorang dokter, bukan berarti hatinya terbuat 
dari aluminium. 
    Sehabis mandi dan meneguk kopi hangat (ternyata 
bukan susu hangat) dari cangkir keramik, yang tampak 
terlalu pekat, Noriyu menyalakan komputer. Ia membiarkan 
cahaya lampu hanya menyala untuk keyboard yang mulai 
diraba oleh jari-jari kurusnya. Ah, kenapa ia tidak mencoba 
sedikit rakus saat makan siang, agar lengannya lebih 
berisi? Rasanya sangat sulit. Jika kubujuk, tentu akan 
pecah pertengkaran yang ujungnya justru tidak mau makan 
sama sekali, kecuali mengunyah mangga muda atau 
sebutir buah pir. 
    "Mulailah dengan umpatan, agar perasaanmu puas. 
Setelah amarahmu reda, kata-kata awal itu boleh kamu 
ganti…" 
    "Kenapa kamu mengajariku?" Noriyu meradang. "Aku 
tahu bagaimana aku harus menulis. Kamu pikir aku 
siapa?" 
    "Siapa yang mengajarimu? Aku hanya mengingatkan." 
    Tangan Noriyu terangkat dari keyboard. Merajuk. 
 "Mungkin sebaiknya kamu saja yang menulis. Bukankah itu 
lebih meringankan bebanku?" 
    "Apakah benar kamu setuju? Apakah kamu ingin aku 
menceritakan semuanya tanpa satu adegan pun 
terlewatkan?" Aku memancing. 
    "Terserah apa maumu!" 
    "Sejak kamu duduk di kafe itu menunggu 
kedatangannya? Atau langsung dari setiap jalan pikirannya 
yang mulai tidak kamu pahami dan menerbitkan 
perdebatan sengit?" 
    Air mata perlahan-lahan meleleh ke pipinya. Ke pipi 
Noriyu yang mulai cekung, padahal pagi tadi masih tampak 
bulat. 
    "Atau diawali dengan selera makanmu yang hilang? 
Atau agar lebih menarik, justru dibuka dengan kejadian 
ketika kamu meletakkan bingkisan yang sedianya kamu 
serahkan secara manis, tapi berubah dengan - bahkan - 
melepas cincinmu? Ya, persis sebelum kemudian kamu 
dengan setengah berlari meninggalkan kafe…" 
    Sepasang tangan Noriyu kini menutup telinganya. 
Matanya terpejam, seperti yakin pelupuk yang terkatup itu 
sanggup menahan gempuran luar biasa yang datang dari 
dalam hatinya. Lalu ia berteriak: "Diaaaaam!" 
    Aku pun terdiam. Namun suasana tidak sungguh- 
sungguh sepi, karena masih terdengar desis gerimis di 
luar rumah. Warna langit putih tua. Pada warna serupa itu, 
waktu tak dapat dibaca dengan cermat: masih siang atau 
sudah sorekah? 
    "Siapa sebenarnya kamu?" tanya Noriyu lantang. "Dan 
 apa maumu?" 
   Aku tersenyum sabar. "Aku hanya ingin menjadi 
sahabatmu. Aku akan menghalau seluruh temperamenmu 
yang hanya akan membuatmu putus asa. Aku akan 
menjaga perasaanmu yang paling rapuh." 
   Noriyu menggeleng. "Aku tidak mengerti…" 
   "Sesungguhnya kamu mengerti. Kamu tahu. Seperti 
aku tahu siapa kamu sesungguhnya." 
   "Siapa namamu?" 
   "Kamu bisa memberi nama siapa pun untukku." 
   Noriyu terdiam. Ia memandangku demikian cermat. 
Lalu terdengar suaranya perlahan, pertanda emosinya 
reda. "Kamu laki-laki atau perempuan?" 
   Aku tidak menjawab. Karena aku tahu, Noriyu pasti 
tahu, aku laki-laki atau perempuan. Dia sangat tahu, aku 
adalah bagian dirinya yang memisahkan diri saat 
perasaan kecewa, sedih, marah, atau kehilangan sedang 
meremas hatinya. Aku yakin dia tahu. 
   *** 
   (untuk Nova Riyanti Yusuf) 
   Jakarta, 23 September 2005, 22.00 -23.54 
   Keterangan Sriti.com : Cerpen dikirim melalui surat 
elektronik dari pengarang bersangkutan 

Pak Lurah

Developer

apa saja selain hidup

0 comments:

Post a Comment