Penjual Bunga Bersyal Merah
Yetti A. Ka.
INGATLAH aku sebagai Kae yang bertemu denganmu ratusan tahun lalu. Di masa itu, aku seorang penjual bunga kesedihan dan
selalu mengenakan syal merah di leher. Seperti apakah bunga
kesedihan? Kelopaknya mirip mawar warna darah. Dan bunga itu
memikat orang-orang yang terluka.
Setiap orang yang terluka pasti mencariku. Sepanjang hari
aku berdiri di pinggir jalan, tepatnya di sebuah simpang, tengah
kota, menunggui keranjang bungaku yang terbuat dari jalinan ro-
tan sekecil kelingking berbentuk segi empat. Kadang-kadang aku
cuma berhasil menjual dua atau tiga tangkai bunga kesedihan saja
dalam sehari. Namun, di hari lain, aku pulang dengan keranjang
kosong.
Bagaimanapun aku tak berharap seluruh orang di kota patah
hati setiap harinya. Hal macam apa yang bisa kita rasakan di kota
yang penuh kesedihan selain kegelapan?
Tentang bunga kesedihan itu—tentang kenapa bunga dalam
keranjangku bernama sedemikian kelam—suatu kali, menjelang
siang, belum setangkai pun bungaku terjual, ketika seorang lelaki
bertanya, apakah kau menjual bunga kesedihan? Sebelumnya, aku
sama sekali tak memikirkan bahwa bunga dalam keranjangku juga
harus punya nama seperti kembang lainnya.
Kukatakan, tidak. Aku bahkan tidak tahu jenis bunga itu.
Ia mengaku benar-benar menginginkan bunga kesedihan.
Tubuh lelaki itu sangat kurus. Tulang-tulangnya menonjol da-
lam balutan kulit tipisnya yang tampak transparan. Matanya ceku-
ng. Aku menduga bahwa ia tengah menderita suatu penyakit yang
pelan-pelan menggerogotinya. Mungkin karena itulah ia meng-
inginkan bunga kesedihan. Barangkali ia tengah menyiapkan kema
tiannya.
“Kau bisa menanyakannya kepada orang lain,” kataku tiba-ti-
ba haru, “Ada banyak orang yang tahu soal bunga di kota ini.” Aku
menyesal sekali tidak bisa membantunya. Ah, aku ingat orang-ora-
ng yang suka menaburkan bunga di hari pemakaman. Dulu aku se-
lalu suka membantu orang-orang mencari bunga pada tiap kemati-
an. Bukan semua kematian, melainkan hanya kematian seorang ga-
dis atau lelaki muda yang ditaburi bunga sedemikian rupa sebagai
luapan kecintaan orang-orang. Tapi, lelaki itu mencari sendiri bu-
nga kematian untuk dirinya.
“Bukan. Bukan itu.” Ia mengembuskan napas berat, “Bunga
yang kucari benar-benar bernama bunga kesedihan. Bunga yang
menggenapkan luka.”
Aku tetap saja tidak mengerti. Aku penjual bunga di pinggir
jalan, orang singgah untuk membelinya, setangkai atau dua, dan
tak pernah bertanya apa nama bunga itu. Orang-orang yang data-
ng padaku memang jarang sekali berwajah semburat merah, tidak
berwajah jatuh cinta. Kebanyakan pucat atau murung. Saat datang
padaku mereka seakan langsung menemukan bunga yang tepat
dan cepat saja berlalu. Baru kali itu aku bertemu pembeli yang
mencari bunga khusus, dan sayang sekali aku tak bisa membantu-
nya.
Karena merasa bersalah, kuambilkan satu tangkai bunga da-
lam keranjangku. Kuberikan pada seseorang itu. Bunga paling me-
rah darah dari yang lainnya. Aku harap bunga pemberianku itu da-
pat menghiburnya.
Ia menerima bunga dari tanganku. Memperhatikannya lama-
lama, dan lirih berkata, “Bukankah ini bunga kesedihan itu?”
Lelaki itu menggenggam kuat-kuat setangkai bunga merah
darah. Ia terus bicara. Bersamaan dengan itu, air matanya mene-
tes, jatuh ke kelopak bunga di tangannya. Aku menyaksikan sendiri warna bunga itu makin hidup, makin menjelma darah. Warna darah itu lalu mencair, mengalir dari sela-sela kelopak bunga, jatuh dan membasahi jemarinya.
Tak lama, lelaki itu mengangkat wajah. Aku melihat kehidup-
an baru sudah tumbuh di sana. Sejak itu aku setuju, setiap luka me-
mang harus dituntaskan dalam bentuk kesedihan paling dalam, pa-
ling deras.
Barangkali orang itulah yang menyebarkan pada orang-orang
kota tentang gadis bersyal merah yang menjual bunga kesedihan.
Sebab setiap kali orang datang padaku, mereka memastikan kalau
aku benar-benar mengenakan syal merah sebelum membeli bunga-
ku. Sebelum mereka meratap. Sebelum air mata mereka meng-
ubah warna bunga sehidup darah. Sebelum bunga itu mencair dan
membasahi jemarinya.
KAU pasti tahu kalau sesungguhnya bunga yang kelopaknya
mirip mawar itu—bunga yang awalnya tak bernama—kupotong di
halaman rumah. Aku tidak tahu siapa yang menanam bunga itu
pertama kali. Atau mungkin saja bunga itu tumbuh sendiri. Tuhan
yang melakukannya agar aku sampai pada takdirku terlahir sebagai
penjual bunga kesedihan.
Apakah kau ingat, kau bahkan yang menganjurkan padaku
untuk menjual bunga-bunga itu sebagaimana kau yang memberiku
syal merah—bukan sebagai hadiah, katamu, kau memintaku untuk
memakainya agar aku tidak berdiri dengan leher kedinginan di tepi
jalan, terutama musim hujan.
Kita tinggal dalam satu kota. Aku tidak pernah tahu rumah-
mu. Lebih tepatnya aku tidak terlalu peduli kau tinggal di mana. Ba
giku, kau cukup sebagai seseorang yang suatu hari kutemukan ber-
diri di halaman, memperhatikan bunga merah darah. Setelah hari
itu kau sering datang dan berbincang denganku. Kau bilang senang
melukis. Kau pernah menunjukkan lukisan bunga raksasa. Katamu,
bunga itu tumbuh di hutan. Kau juga melukis jenis pakis. Juga tum
buhan hutan lainnya. Tapi, kau tidak pernah menunjukkan lukisan
bunga yang hidup di halaman rumahku. Padahal aku tahu kau pasti
telah melukisnya diam-diam.
CELAKANYA, aku jatuh cinta padamu. Barangkali bukan jatuh cinta yang tiba-tiba. Seperti biasa, setiap hari, aku membawa keranjangku ke tepi jalan. Seperti biasa kau menolongku membawa keranjang itu. Kau berjalan di sisiku. Bicara sesekali. Sejak pagi— tepatnya setiap pagi—kau memang sudah berada di halaman rumahku demi memandangi bunga-bunga merah darah. Katamu setiap kali kau melihat bunga itu, warnanya semakin merah. Aku tidak memperhatikannya. Bagiku warna bunga itu sama saja. Dan aku segera pula memotongnya dan memasukkannya dalam keranjang.
“Bunga-bunga ini seperti mengisap kesedihan dan luka di da-
da seseorang,” kau berkata.
Aku mendeham tanpa menoleh. Kueratkan syal merah di le-
her. Udara pagi lebih dingin. Semalam badai. Kota kita memang se-
ring diserang badai dari laut. Badai yang banyak memakan kor-
ban—kebanyakan menggulung kapal-kapal yang sedang berla-
yar—selain serangan malaria.
Kita terus berjalan. Kau bicara dua tiga kalimat. Aku sibuk de-
ngan pikiran sendiri. Menunduk, menatapi jalan. Aku selalu suka ja
lan. Di jalan itu seakan aku melihat kehidupan yang panjang. Di mana akhir dari sebuah jalan? Beberapa jalan akan mengantarkan pada ujung yang buntu, tapi selalu ada jalan lain yang membentang, mengantar orang-orang ke tempat-tempat tujuan.
Aku belum pernah menyusuri jalan selain dalam kota.
“Sudah sampai,” bisikmu dekat sekali ke telingaku. Aku bisa
merasakan udara dari mulutmu yang dingin. Lembap. Menempel di daun telingaku. Kuambil keranjang bunga dari tanganmu.
“Besok kau harus mulai lagi membawa keranjang bungamu
sendiri,” katamu.
Untuk kali pertama aku menatap matamu dengan sungguh-
sungguh. Untuk pertama kali aku tahu kalau kau memiliki mata de
ngan jaring-jaring merah tipis di sekitar pupil.
“Kau pasti tahu aku menyukai Landra,” katamu lagi.
Tentu saja aku tidak tahu. Perempuan itu tinggal bersama
suaminya di kompleks permukiman Inggris. Sepasang guru musik
dari kota Worcester. Mereka mengajar anak-anak Eropa di sekolah.
Aku jarang sekali bertegur sapa dengan mereka. Aku hanya sering
melihatnya saat aku berangkat membawa bunga. Perempuan itu
suka berada di depan rumahnya, pada pagi hari.
Dan kau jatuh cinta pada perempuan itu?
“Landra pindah ke kota lain besok. Aku akan terus meng-
ikutinya.”
Aku akan terus mengikutinya. Kalimat itu sudah menerang-
kan sesuatu yang panjang padaku. Kau berada di kota ini demi pe-
rempuan itu. Setiap pagi kau berada di halaman rumahku, memba-
wakan keranjang bungaku, juga demi dia. Lalu kau pun akan pergi
untuk terus mengikuti di mana pun perempuan itu berada nanti.
Pada detik itulah aku tahu kalau aku jatuh cinta padamu. Te-
pat saat kau tidak akan lagi kutemukan berdiri di depan rumahku
untuk melihat bunga merah darah (atau melihat Landra saat kita
lewat di depan rumahnya?). Saat aku tahu kau meninggalkan aku
demi perempuan yang kaucintai. Apa sesungguhnya cinta itu? Apa
mungkin semacam letupan rasa marah atau harga diri yang sedikit
robek, meninggalkan bekas, menjelma candu atas sesuatu yang
sakit?
Kupandangi bagian belakang tubuhmu yang bergerak meni-
nggalkanku, berganti-ganti dengan bunga merah dalam keranjang.
Bunga-bunga itu perlahan menjelma darah. Kuntum-kuntumnya
juga membesar. Kemudian aku disambar kelopak-kelopaknya.
Setelah hari itu, di kota kita tak pernah ada lagi seorang pen-
jual bunga bersyal merah berdiri di tepi jalan. Setelah hari itu aku ti
dak tahu bagaimana cara orang-orang kota menggenapkan luka,
lalu meluruhkannya, agar kehidupan baru tumbuh di wajah mere-
ka. Setelah hari itu, aku tahu, aku sedang menyusuri sebuah jalan
lain.
KINI aku telah terlahir kembali, untuk kesekian kali, bukan se-
bagai penjual bunga, melainkan penulis yang banyak bercerita ten-
tang bunga dan warna merah. Sementara itu, kau terlahir lagi seba-
gai pelukis botani yang dunianya tak pernah bisa kumasuki.
Kau tergelak. Dasar pengarang, ujarmu sambil membuka ker-
tas pembungkus lukisanmu.
Kita duduk saling berhadapan. Kita bertemu karena kau ingin
memberikan satu lukisanmu: Bunga Kesedihan. Lukisan itu kulihat
di pameran satu bulan lalu di mana untuk pertama kali aku meng-
enalimu lagi. Aku mencari tahu tentangmu. Dari sanalah kita sering berbincang lewat telepon atau Blackberry sampai membuat janji ketemu hari ini.
“Kae, itu namaku di masa lalu,” bisikku sambil melepas syal
merah di leher, “Dan di masa lalu itu pula kau mencintai perempu-
an bernama Landra. Ingat?”
Kau nyaris tertawa lagi, tapi urung. Wajahmu berubah serius.
Kau melihat ke dalam mataku, sedikit meringis, “Satu minggu lalu,
tepat saat kau meneleponku, aku baru saja bertemu seorang pe-
rempuan yang suka duduk di kafe. Namanya Landra.”
Hening. Tak ada suara kendaraan. Tak ada suara orang ber-
bincang atau berjalan. Tak ada suara apa pun. Kita masih saling
pandang. Kemudian mata kita beralih pada lukisan Bunga Kese-
dihan. Kelopak-kelopak bunga merah darah itu meleleh. Merah
sekali. [*]
sponsored by
0 comments:
Post a Comment