Penyair yang Jatuh Cinta pada Telepon Genggamnya

by 10:24 PM 0 comments
Penyair yang Jatuh Cinta pada Telepon Genggamnya
Agus Noor 


KARENA tak ingin dianggap kampungan dan ketinggalan za- 
man, maka ia pun memutuskan untuk membeli telepon ge- 
nggam. Sebagai penyair, ia merasa perlu tampil bergaya. 
Apalagi saat ini penyair dekil dan miskin sudah tak lagi mendapat 
tempat dalam pergaulan. Maka penyair kita tercinta ini pun mulai 
rajin menabung duka, honor yang didapat dari puisi-puisi yang ditu
lisnya. Lumayan, setelah cukup banyak duka diperoleh, ditambah 
utang sana-sini pada teman-temannya, akhirnya penyair kita pun 
bisa membeli telepon genggam. 


      Telepon genggam bekas, tentu saja. Itu pun model lama. Su- 
dah rusak keypad-nya. Dan ngadat huruf-hurufnya. Kalau memen- 
cet huruf “a” yang muncul di layar huruf “k”. Bahkan kadang-kada
ng sama sekali tak muncul hurufnya. Tapi penyair kita tetap bang- 
ga. Maklum, telepon genggam itu barang mewah pertama yang sa- 
nggup dibeli dengan seluruh kepedihannya. 
     Dengan penuh gaya, segera ia menelepon ke sana-kemari. 
“Halo, kamu siapa? Ini handphone baru saya. Apa kamu bisa deng- 
ar suara saya?” Begitulah sepanjang hari ia menelepon siapa saja, 
ke nomor rumah sakit, nomor panji pijat, nomor yang serampang- 
an dicomotnya dari Yellow Pages, sampai ke nomor-nomor yang 
hanya ada dalam khayalannya. Meski telepon genggam itu tak ada 
pulsa. 
     “Tak apa tak ada pulsa,” batinnya, “yang penting kini aku su- 
dah bisa bergaya. Apa gunanya jadi penyair kalau tidak bergaya!” 
      Di depan cermin ia pandangi tubuhnya yang kerempeng, pan- 
tatnya yang tepos, dan celana jins yang kedodoran. Tapi tubuh itu 
kini kelihatan lebih gagah karena menenteng telepon genggam. Ia 
tak lagi minder dengan wajahnya yang penuh jerawat, juga mata- 
nya yang kelam oleh penderitaan. Ia yakin pacarnya kini pasti bang
ga karena ia telah punya telepon genggam. Setelah mandi, menyi- 
sir rambutnya dengan model klimis, menyemprotkan sedikit mi- 
nyak wangi agar bau balsem di tubuhnya hilang, maka penyair kita 
tercinta ini pun segera berkunjung ke rumah pacarnya. 

      “Lihat,” ia pamer pada pacarnya. “Sekarang aku punya tele- 
pon genggam. Betapa imut telepon genggam ini. Ia seperti memili- 
ki mata yang sendu, seperti sepasang matamu.” 
     Pacarnya yang hitam manis itu hanya diam saja. 
     “Aku yakin, ini telepon genggam paling cantik di dunia. Wa- 
jahnya seperti wajahmu yang memiliki senyum paling menawan di 
dunia.” 
  
     Mendengar itu, pacarnya malah cemberut. 
      “Menurutku, ini telepon genggam paling sexy. Kamu tak akan 
mungkin menemukan lagi telepon genggam seperti ini. Sungguh 
beruntung aku memiliki telepon genggam ini, sebagaimana kau 
juga begitu beruntung punya pacar seperti aku. Percayalah, aku 
akan merawat telepon genggam ini dengan baik, seperti aku akan 
merawat dan mencintai kamu.” Lalu dielusnya telepon genggam 
itu. Diciuminya pelan-pelan. 
   Tiba-tiba terdengar: braakkk!!! Pacarnya masuk rumah, sambil 
membanting pintu. 

      Semakin terlihat cantik saja telepon genggam itu. Setiap kali 
menatap berlama-lama, penyair kita merasakan ada yang berdesir 
lembut dalam hatinya. Kadang ia heran, bagaimana sebuah tele- 
pon genggang bisa membuat seseorang merasa begitu bahagia? 
Setiap zaman memang memiliki ukuran kebahagiaan yang berbe- 
da-beda, batinnya, saat merasakan kesedihannya perlahan-lahan 
menguap. Telepon genggam itu telah mengubah hidupnya. Ia ter- 
ingat hari-hari sedih ketika ia belum memiliki telepon genggam. Ia 
teringat tetangganya, seorang tukang becak, yang rela tak mem- 
beli beras karena uangnya habis untuk beli pulsa. Orang memang 
perlu bergaya untuk sekadar merasa bahagia. 
       Ketika telepon genggam itu bergetar, ia merasakan jantung- 
nya berdebar, sekan-akan telepon genggam itu telah menjadi jiwa- 
nya. Matanya berkaca-kaca. Tiba-tiba ia ingin menangis karena me
rasa begitu bahagia. Lalu ia ambil tisu bekas yang tergeletak di me
ja di sisi ranjangnya. Ah, kebahagiaan memang seperti tisu, yang ki
ta butuhkan saat sedih. Hanya saja: kita tak tahu di mana mesti 
membelinya. 
     Tak apa aku diputus pacar, batinnya, karena kini aku punya 
telepon genggam yang lebih pengertian dari seorang pacar. Kini ia 
mengerti, kenapa banyak orang merasa perlu memiliki lebih dari 
 satu telepon genggam. Punya banyak telepon genggam memang 
lebih menyenangkan ketimbang punya banyak pacar. Ia tersenyum 
memikirkan itu. Tak usah larut dalam kesedihan, batinnya. Sebab 
kesedihan punya waktunya sendiri-sendiri, yang mengerti kapan 
saatnya mesti pergi. Lagi pula, kesedihan hanyalah cara kita mem- 
beri nama pada sesuatu yang sebelumnya tak bernama. 
     Kemudian ia tiduran di ranjang. Dibaringkan telepon geng- 
gam itu di sisinya. Malam itu ia tidur ditemani telepon genggamnya dengan perasaan yang ganjil ketika melihat sepasang cicak berkejaran di dinding, sementara suara angin pelan-pelan menggesek jendela kayu yang sudah reyot engselnya, dan ia merasakan bagai ada seseorang yang bernapas dengan tenang di sampingnya. Dipeluknya dengan penuh gairah telepon genggam itu, sembari memejam dan berbisik pelan, “Aku kangen kamu….” 
      Ia berharap ada suara penuh kerinduan menjawab dari tele- 
pon genggam itu. Tapi ia hanya mendengar suara pilu seekor an- 
jing melolong dalam telepon genggam itu. 

       Ia semakin jatuh cinta pada telepon genggamnya. Kian hari 
telepon genggam itu kian terlihat sexy. Ia suka memandangi tele- 
pon genggam itu: membaca pesan-pesan gelap yang dikirim entah 
siapa, mengintip foto porno dan video mesum, sembari membaya- 
ngkan tubuh pacarnya. Ada saat-saat telepon genggam itu mem- 
buatnya berahi. Dengan gemetar ia menyentuh telepon genggam 
itu. Rasanya sintal dan kenyal, seperti payudara. Kadang-kadang 
telepon genggam itu menjadi basah, seperti tubuh perempuan 
yang berkeringat, ketika ia memeluknya. 
      Disebabkan perasaan bangga dan bahagia, ia sering 
memamerkan telepon genggam itu pada kawan-kawannya. “Aku 
yakin telepon genggam ini juga mencintaiku. Ketika aku merasa se
dih, ia menghiburku. Ia suka bernyanyi. Bukan, itu bukan bunyi 
 ringtones. Tapi ia memang benar-benar bernyanyi. Ia paling suka 
nyanyi lagu dangdut.” 
      “Cukuplah kamu menjadi penyair gagal,” kata kawan-kawan- 
nya. “Jangan memperburuk nasibmu dengan menjadi gila.” 
      Bagi kawan-kawannya, telepon genggam itu hanyalah tele- 
pon genggam rusak, tapi bagi penyair kita tercinta, telepon geng- 
gam itu selalu memberinya ilham yang menakjubkan. Ketika ia 
ingin menulis puisi, ia mendengar telepon itu berbicara dengan ka- 
ta-kata yang tak akan pernah mampu ia terjemahkan menjadi puisi. 
Ah, kata-kata abadi memang kata-kata yang tak akan mungkin bisa 
dituliskan ke dalam puisi, batinnya. Mungkin suatu kali ia akan me
nulis puisi seperti ini: aku ingin mencintaimu dengan sederhana, 
dengan suara yang tak sempat diucapkan telepon genggam kepa- 
da kata, yang membuatnya bahagia. Telepon genggam itu membe- 
rinya cinta, kenangan, dan hal-hal yang tak pernah tepermanai. Ba- 
rangkali, ia membatin, seperti dalam puisi, telepon genggam ini ha
nya melankoli. Telepon genggang ini hanyalah sesuatu yang kelak 
retak, tapi ia ingin membuatnya abadi. Itulah yang membuatnya se
makin mencintai telepon genggamnya. Apalagi dengan telepon ge- 
nggam itu ia bisa menelepon ibunya. Bila kesepian tengah malam, 
sering ia iseng menelepon ibunya, di surga. 
      “Apa kabar, Ibu? Pasti Ibu bahagia, sudah ketemu Tuhan. Ja- 
ngan khawatirkan nasibku. Sebagai penyair aku memang miskin, 
tapi bahagia. Seperti dulu sering kau nasihatkan padaku, Ibu, keba- 
hagiaan, secuil apa pun selalu lebih nikmat bila dibagikan. Karena 
itulah, Ibu, kalau Ibu kesepian di surga, teleponlah aku.” Lalu ditu- 
tupnya telepon genggam itu, dengan mata berkaca-kaca. Kerindu- 
an pada ibu adalah kerinduan pada kata. Karena ibu adalah muasal 
segala kata. 
      Malam itu, menjelang tidur, ia melihat bayangan ibunya ke- 
luar dari telepon genggam. Ia mendengar suara orang cuci muka di 
kamar mandi. Ia teringat pada ibunya yang selalu bangun tengah 
malam untuk menunaikan shalat. Bila doa tak menolong hidupmu, 
setidaknya doa bisa membuatmu tenang, begitu kata ibunya saat 
 ia masih berusia 10 tahun. Ia ingat, seminggu sebelum Lebaran, ibu membelikannya baju dan celana baru, dan dua hari kemudian meninggal dunia. Nasib buruk adalah karib penyair. Sejak itu ia ingin selalu menulis puisi untuk ibunya. Dan itulah yang membuatnya tersesat menjadi penyair. Meski hanya menjadi penyair gagal, seperti kata teman-temannya. Tapi ia kerap menghibur diri: jauh lebih beruntung menjadi penyair gagal ketimbang menjadi presiden gagal. 

       Ia mendekam dalam kamarnya karena tak mungkin pulang 
kampung Lebaran ini. Tak ada ongkos. Harga tiket kereta api jauh 
lebih tinggi dari honor puisi. Ia sudah berusaha menjual telepon ge
nggamnya, tetapi pedagang loakan itu malah tertawa, “Telepon 
genggam rusak begini, dikasih gratis pun saya enggak mau!” 
      Dari dalam kamarnya yang sumpek, ia mendengar gema tak- 
bir malam Lebaran yang bagai meledeknya. Perutnya keroncong- 
an. Terbayang makam ibunya yang penuh semak belukar. Ia men- 
coba memejam. Lebaran yang semakin mahal memang bukan un- 
tuk orang-orang miskin seperti dirinya. Lagi pula ia malu bila pula
ng kampung bertemu kawan-kawan semasa kecilnya yang pasti 
sudah sukses dan menenteng gadget terbaru yang mewah. Ia terti- 
dur sembari memimpikan telepon genggam yang bisa menyela- 
matkannya dari kesedihan. Sementara matanya terkantuk-kantuk, 
tiba-tiba melintas ide sebuah puisi: Malam Lebaran. Bulan di dalam telepon genggam. 

       Tengah malam, penyair kita tercinta tergeragap bangun—se- 
perti ada suara memanggil-manggilnya—dan dilihatnya telepon 
genggam itu berkedip-kedip, seperti isyarat yang tak ia pahami 
maknanya. 
     Barangkali, Tuhan mencoba meneleponnya. [*] 

        











sponsored by
  

 

Pak Lurah

Developer

apa saja selain hidup

0 comments:

Post a Comment