Tenggat Waktu
Djenar Maesa Ayu
SEANTERO mal dibelai alunan lagu Natal nan syahdu. Di sana-
sini menjuntai kertas hias dan lampu-lampu. Beberapa sudut
plaza pun disulap menjadi taman salju. Lengkap dengan pa-
tung rusa yang tengah menarik kereta kayu. Pohon natal raksasa
menjulang tinggi seolah sedang berdiri mengerami kotak-kotak
kado berpita dan kartu-kartu.
“Ho..ho..ho.... Selamat Natal dan Tahun Baru!” teriak sese-
orang dari balik baju Santa. Para orangtua dengan sigap meng-
eluarkan kamera atau ponsel pintar dari dalam tas mereka. Anak-
anak dipaksa. Mendekat dan bergaya. Ada yang secara otomatis
menempelkan kedua telunjuk ke pipinya. Ada yang menaruh tang-
an di pinggangnya. Ada yang mengedipkan satu matanya. Lantas
hasil jepretan kamera itu dijamin langsung bisa disaksikan di sosial
media. Dengan segala judul yang mencerminkan kebahagiaan ke-
luarga mereka. Tak ketinggalan menyebutkan lokasi di mana mere
ka mengambil gambar itu, yang tak lebih untuk menunjukkan jika
mereka adalah keluarga berada.
Di kafe yang tepat berada di seberang taman salju itu, Nay
duduk menghadap ke laptopnya. Ditenggaknya dingin bir dari da-
lam kaleng yang keringatan lalu mengisap dalam-dalam rokok
putihnya sambil sesekali memerhatikan sosok Santa di seberang
kafenya. Sudah tiga kaleng bir habis selama satu jam berada di kafe itu. Sudah berkali-kali pula pelayan kafe menukar asbak yang dipenuhi bangkai puntung rokok dengan asbak yang baru. Tapi layar laptopnya tetap kosong. Dan dari layar kosong laptopnya itu terpantul wajahnya yang sedang bengong.
Sebenarnya Nayla tidak pernah suka pergi ke mal. Selalu me-
rasa jengah ia di tengah orang-orang yang dibungkus pakaian
mahal. Selalu merasa asing ia di tengah orang-orang yang menutu-
pi wajahnya dengan tata rias tebal. Sementara dirinya hanya me-
makai kaos oblong dengan sandal.
Tapi memang tidak ada yang lebih sialan ketimbang tenggat
waktu. Artikel tentang perilaku pengunjung mal masa kini harus di
selesaikan seminggu sebelum tahun baru. Ia sudah meminta kepa-
da editornya untuk menulis artikel lain. Cuma editornya bersikeras
jika Nay lah orang yang paling tepat untuk menuliskannya, tidak
ada yang lain!
“Kamu kan ga suka pergi ke mal, karena itulah justru kamu
yang paling cocok bikin artikel ini. Kamu pasti jauh lebih sensitif
melihat apa yang ada di depan matamu ketimbang orang yang bia-
sa ke mal.”
Nayla mengalihkan pandangannya dari layar laptop dan me-
nyapu seluruh penjuru kafe. Kafe itu dipenuhi orang-orang dengan
penampilan perlente. Dan meja pun berubah menjadi etalase. Ber-
jejer ponsel pintar keluaran terbaru. Tak ketinggalan tas maupun
dompet merk ternama yang harganya bisa mencapai puluhan hing-
ga ratusan juta rupiah meski entah benar-benar asli atau palsu. Se-
tiap kali pelayan datang membawa pesanan makanan, pasti maka-
nan itu difoto lebih dulu. Lantas mereka sibuk dengan ponselnya
masing-masing. Mereka bersama namun bagai orang asing.
Cukup bagi Nayla untuk merangkum semua yang terjadi di
mal hanya dengan duduk di satu kafe, sebenarnya, cukup bagi
Nayla untuk menyelesaikan artikelnya tak lebih dari dua jam tanpa
perlu terlebih dulu minum berkaleng-kaleng bir hingga terbeng-
ong-bengong di depan layar laptopnya. Tapi pikirannya sedang ti-
dak ada di sana. Pikirannya tertancap pada sosok Santa yang se-
dang berfoto dengan anak-anak di seberang kafenya.
“Ho...ho...ho.... Selamat Natal dan Tahun Baru!”
Nayla segera terbangun dari tidurnya. Matanya memicing aki-
bat silau sinar lampu yang dinyalakan tiba-tiba. Di depannya sudah
berdiri Santa. Berperut buncit, berjanggut putih, dengan baju dan
topi merah menyala. Tangan Santa memegang sebuah kotak kado
berpita merah menyala juga. Dengan tak sabar Nayla segera mene-
rima dan membukanya.
“Ho...ho...ho.... Selamat Natal dan Tahun Baru, Nayla!” teriak
Santa sebelum pergi. Nayla sudah tidak menggubrisnya lagi. Ia su-
dah benar-benar penasaran dengan apa yang ada di dalam kotak
kado berpita merah menyala di tangannya. Tapi alangkah kecewa-
nya Nayla saat kotak kado itu terbuka. Di dalamnya hanya ada se-
buah ponsel baru. Tidak ada apa yang ia mau.
Nayla menangis di atas tempat tidurnya. Tak lama kemudian
terdengar suara pintu pelan-pelan dibuka. Ayahnya muncul dengan
masih mengenakan piyama. Di matanya terpancar kekecewaan ya-
ng sama besarnya dengan kekecewaan yang Nayla rasa. Mereka
duduk berdampingan tanpa mengatakan sepatah kata pun. Sema-
laman seperti itu hingga tertidur dalam posisi duduk yang sama de-
ngan sebelumnya.
Nayla menutup laptopnya. Sudah tidak kuasa lagi ia memben-
dung sesak yang seakan ingin meledak di dalam dadanya. Ia pun
mencoba memanggil pelayan yang sedang sibuk melayani permin-
taan pengunjung yang ingin difoto bersama. Bukan cuma satu kali.
Namun berkali-kali. Jika hasilnya tidak memuaskan, mereka minta
diulang lagi. Itu pun tidak dengan satu kamera. Tapi setiap kamera
yang orang-orang bawa. Alhasil Nayla harus menunggu lebih lama.
Akhirnya Nayla menarik menu. Dicermatinya harga yang ter-
tera untuk membayar tiga kaleng bir yang dipesannya selama di ka
fe itu. Seratus lima puluh ribu kurang sedikit dengan total yang ha-
rus ia bayar di luar pajak dan service. Dikeluarkannya dua lembar
seratus ribuan dengan hati miris. Ditinggalkannya uang itu di atas
meja sebab para pelayan masih sibuk melayani permintaan foto
bersama tak ubahnya turis.
Nayla menyeret kakinya berjalan seantero mal yang dibelai
alunan lagu natal nan syahdu. Di sana-sini menjuntai kertas hias
dan lampu-lampu. Beberapa sudut Plaza pun disulap menjadi ta-
man salju. Lengkap dengan patung rusa yang tengah menarik kere-
ta kayu. Pohon natal raksasa menjulang tinggi seolah sedang ber-
diri mengerami kotak-kotak kado berpita dan kartu-kartu.
“Ho...ho...ho.... Selamat Natal dan Tahun Baru!” teriak sese-
orang dari balik baju Santa yang tiba-tiba sudah berdiri di depan-
nya. Mereka saling bertatapan sebentar saja. Mata yang ditatap-
nya itu, bukan mata yang bahagia. Mata yang letih meski bibirnya
harus senantiasa mengeluarkan suara tawa. Mata yang kecewa.
Mata ayahnya. Mata yang membuatnya merasa harus keluar dari
mal segera.
“Kalau kamu berkelakuan baik, kamu bisa minta apa pun ke
Santa, Nay. Pasti permintaanmu dikabulkan.”
“Bagaimana cara memintanya?”
“Tulis surat saja dan masukkan ke dalam kotak pos.”
“Alamatnya?”
“Tidak perlu alamat. Santa pasti menerimanya. Tapi kamu ta-
ruh dulu sehari di bawah bantalmu ya.”
Kalimat percakapan dengan ayahnya itu seolah diantar angin
yang menerpa wajahnya saat keluar dari pintu lobi. Mobil-mobil
mewah dengan sopir pribadi terlihat bagai antrian semut yang pan-
jang sekali. Dari setiap pintu mobil yang terbuka, muncul tubuh ya
ng keluar berjalan melenggak-lenggok bagai peragaan busana. De-
ngan rambut hasil salon yang tak akan berubah bentuk meski
angin mengguncangnya. Petugas keamanan yang bertugas meme-
riksa isi tas mereka tak digubrisnya. Mereka merasa cukup mem-
perlihatkan tas mahalnya tanpa sudi terlebih dulu dibuka.
Nayla terus melangkah menuju antrian taksi. Ia ingin secepat-
nya pergi meninggalkan Mal yang bising oleh suara sunyi. Kalau
bisa, ia pun ingin memutar waktu kembali. Tak lupa memasukkan
surat ke dalam kotak pos agar Santa menerimanya. Tak membiar-
kan surat itu lebih dari sehari di bawah bantal sehingga terbaca
ayahnya.
“Selamat Natal, Ayah.”
Nayla mengecup kedua pelupuk mata ayahnya yang terpe-
jam. Dicabutnya janggut putih yang masih menempel di dagu ayah
nya yang berbentuk runcing tajam. Dicopotnya topi warna merah
menyala yang masih menempel di kepala ayahnya yang tak lagi
berambut hitam. Dimatikannya lampu lalu memeluk tubuh ayahnya di dalam kelam.
Kenangan menjalar hangat di dalam tubuh mereka. Memijar
sejuta warna dan hiasan di seluruh sudut rumah yang sederhana.
Terekam abadi dalam pigura hati meski tak dijepret kamera.
“Saya mau Ibu.” Demikian surat untuk Santa yang Nayla tulis
dulu.
Saya mengetik kalimat terakhir artikel tentang Nayla yang su-
dah hampir di penghujung tenggat waktu. [*]
sponsored by
0 comments:
Post a Comment