Sidoarjo,
28 September 2015
M.F.
Hazim
Hak
Dan Kewajiban Pengasuh Anak Yatim
“Dan
ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika
menurut pendapatmu mereka telah dewasa (pandai memelihara harta), maka
serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak
yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa
(membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara
itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu),
dan barang siapa miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut.
Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu
adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah
sebagai pengawas (atas persaksian itu).” (Qs. An-Nisa [4]:6)
Tema pembahasan mengenai apa saja hak dan
kewajiban dari pengasuh anak yatim ini sangat jarang dibahas dan dikaji, karena
seringkali yang menjadi fokus pembahasan hanya mengenai hak-hak dari anak yatim
saja. Sehingga saya berharap tulisan ini bisa memberikan banyak manfaat kepada
masyarakat umum dan pengasuh anak yatim khususnya.
Dalam surat An Nisa ayat 6, selain menjelaskan mengenai
apa-apa saja yang menjadi hak-hak dari anak yatim, dan Allah SWT juga menjelaskan
mengenai hak dan kewajiban dari si pengasuh anak yatim tersebut. Hal ini sangat
penting untuk dipahami karena seringkali ada pengasuh-pengasuh anak yatim yang
tidak mengetahui hak-haknya sehingga semisal pengasuh itu adalah orang fakir, ia
merasa berat dan menderita saat mengurus anak yatim tersebut. Dan juga ketika
si pengasuh tidak mengetahui apa saja kewajiban yang harus ia lakukan dalam
mengasuh anak yatim, maka bisa jadi anak yatim yang diasuhnya tidak mendapatkan
hak-haknya dengan baik.
Saya akan menjelaskan mengenai kewajiban pertama
pengasuh kepada anak yatim yang diasuh olehnya lewat penggalan pertama ayat di
atas.
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.
Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah dewasa (pandai memelihara harta),
maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.”
Dalam firman tersebut, Allah SWT memerintahkan
kepada pengasuh anak yatim untuk menguji anak-anak yatim asuhannya hingga ia
memasuki masa dewasa. Tujuan ujian tersebut adalah untuk mengetahui ketika ia
sudah baligh apakah ia sudah memiliki kemampuan dan pemahaman untuk mengelola
harta untuk dirinya sendiri dan kemaslahatan umat. Jika dia dianggap sudah
mampu, maka pengasuh harus memberikan harta yang diwarisi oleh anak yatim itu
dari orang tuanya. Oleh karenanya para pengasuh anak yatim hendaknya
berhati-hati dalam menjaga harta mereka dan harta anak yatim tersebut, jangan
sampai ia mengambil harta yang menjadi hak anak yatim dan tidak
mengembalikannya.
“Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan
dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa.
Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri
(dari memakan harta anak yatim itu), dan barang siapa miskin, maka bolehlah ia
makan harta itu menurut yang patut.”
Dari kelanjutan isi ayat tersebut, secara umum Allah
melarang kita untuk tidak memakan atau mengambil harta dari anak yatim,
terutama jika pengasuh itu adalah orang yang mampu maka ia tidak memiliki hak untuk
mengambil harta anak yatim. Tapi Allah yang maha pengertian kepada umat manusia
memberikan pengecualian kepada pengasuh anak yatim yang miskin. Seorang
pengasuh anak yatim yang miskin menurut ayat tersebut diperbolehkan oleh Allah
untuk mengambil harta anak yatim tersebut dalam bentuk upah, dengan kadar yang
sepatutnya atau sesuai yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan primer
hidupnya. Tidak terlalu banyak dan juga tidak terlalu sedikit.
“Kemudian
apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan
saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai pengawas
(atas persaksian itu).”
Lalu,
pada penggalan ayat yang terakhir di atas, kita bisa memperoleh pelajaran bahwa
ketika pengasuh anak yatim sudah menjalankan tugasnya untuk menguji akal,
pemahan dan kemampuan anak yatim dalam mengelola hartanya sendiri maka apabila
mereka telah baligh dan sudah lulus ujian, maka harta yang diwarisi dari orang
tuanya harus diserahkan kepada mereka. Dan dalam proses serah terima tersebut
hendaknya didatangkan saksi dan bukti, hal ini perlu dilakukan karena dua hal, yang
pertama, untuk menegaskan bahwa semenjak hari itu dan seterusnya bahwa pemilik
harta warisan orang tuanya adalah anak yatim itu sendiri dan sudah tidak ada
sangkut pautnya dengan pengasuhnya. Kedua, apabila suatu saat terdapat rumor
yang menjelekkan pengasuh perihal harta anak yatim yang pernah diasuhnya maka
ia memiliki dokumen untuk melakukan pembuktian dan pembelaan diri.
0 comments:
Post a Comment